Dilema Pelukis Bernama “Kecerdasan Buatan”
Di era modern saat ini kita mendengar jargon-jargon baru bermunculan seperti Industri 4.0, Web of Things, Blockchain, Metaverse, Machine Learning, dan sebangsanya. Salah satu jargon yang belakangan sering muncul dari mulut orang-orang adalah Artificial Intelligence (AI). AI atau yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai Kecerdasan Buatan bukanlah istilah baru. Kita sering mendengar istilah ini dalam film, novel, hingga berita TV selama bertahun-tahun. Bila ditelusuri maka kita akan menemukan bahwa AI telah banyak dibahas sejak komputer mulai diperkenalkan ke khalayak umum di penghujung abad ke-20.
AI dalam cerita fiksi ilmiah kerap kali digambarkan sebagai kemajuan atau ancaman bagi peradaban manusia. Namun, di dunia nyata AI ditempatkan sebagai terobosan yang secara teoritis bakal membantu manusia dalam mengerjakan banyak hal, mulai dari perhitungan dan pemodelan hingga operasional mesin dan teknologi baru. Hal-hal yang tergolong kompleks dapat dikerjakan lebih cepat dan mudah berkat bantuan AI. Teknologi AI yang ada saat ini masih tergolong primitif dibandingkan dengan yang ada di film fiksi ilmiah. Namun pemanfaatannya telah banyak dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal-hal semacam navigasi GPS, mesin pencarian, mesin industri, animasi 3D dan sebagainya banyak menggunakan teknologi serupa AI demi efisiensi tugas yang mungkin membutuhkan waktu lama bila dikerjakan secara manual. Banyak hal yang menjadi otomatis berkat hadirnya AI.
Beberapa tahun terakhir, pengembangan AI semakin maju. Salah satunya berkat kehadiran “asisten” AI semacam ChatGPT yang tersedia secara komersil untuk khalayak umum. Berbeda dengan AI kebanyakan yang memerlukan input kode tertentu atau wawasan tentang bahasa pemprograman, ChatGPT dapat langsung digunakan dengan memberikan instruksi sederhana via jendela obrolan serupa chatbot. ChatGPT dapat melakukan banyak hal seperti menulis esai atau puisi, menerjemahkan dan merangkum artikel ilmiah, hingga menjawab problematika rumit dalam hitungan detik. Ini dimungkinkan berkat AI ChatGPT yang “dilatih” untuk mempelajari berbagai database artikel dan sumberdaya di internet atau yang dikenal sebagai Machine Learning. Kesuksesan ChatGPT lantas menghadirkan program-program AI serupa.
AI Dalam Dunia Kreatif
Tidak hanya untuk menulis, AI juga mulai merambah bidang kreatif. Program AI semacam Stable Diffusion, MidJourney, dan Dall-E menggunakan kecerdasan buatan untuk menghasilkan karya gambar atau lukisan. Serupa dengan ChatGPT, pengguna tinggal memberikan instruksi sederhana yang selanjutnya “dikerjakan” oleh AI untuk menghasilkan gambar yang diminta dalam hitungan detik hingga menit. Di sini permasalahan mulai muncul.
MidJourney dan program AI lainnya menggunakan metode Machine Learning untuk menghasilkan gambar. AI “dilatih” untuk mempelajari database berupa gambar, foto, hingga lukisan dan video yang tersedia di Internet. Selanjutnya AI akan membuat gambar “baru” berdasarkan database tersebut. Hasilnya sekilas memang terlihat bagus, namun bila diperhatikan seksama terdapat banyak kekurangan dan kesalahan yang muncul. Selain itu, karena menggunakan database dari karya yang telah ada sebelumnya, maka akan jelas terlihat bahwa gambar yang dihasilkan AI kerap kali merupakan hasil penggabungan berbagai gambar yang “dijahit bersama” sehingga terkesan seperti potongan puzzle atau monster Frankenstein.
Detail-detail semacam jemari, anatomi, baju, batas garis, dan lain-lain belum dikuasai sepenuhnya oleh AI. Gambar AI cenderung aneh dan tidak mengikuti logika atau kaidah alam semestinya. Banyak keganjilan yang tidak mungkin dibuat pelukis sesungguhnya malah dibuat oleh AI. Ini membuktikan bahwa AI masih jauh dari sempurna. Sayangnya ini tidak menghentikan banyak orang menggunakan AI untuk menghasilkan “karya baru”.
Banyak database yang digunakan untuk “melatih” AI tidak memiliki perizinan semestinya atau malah melanggar hak cipta. Penggiat industri kreatif mulai dari penulis, pelukis dan sebangsanya memprotes fakta ini. Banyak yang kesal karena karya-karya yang mereka buat dengan mencurahkan waktu dan tenaganya selama ini malah digunakan tanpa izin untuk ditiru program AI. Parahnya banyak pengguna program AI mengklaim bahwa output karya yang dihasilkan melalui Dall-E atau Stable Diffusion merupakan karya orisinil mereka dan bukan hasil dari penggabungan atau pencomotan database karya yang telah ada selama ini. Baru-baru ini surat kabar New York Times menggugat pembuat ChatGPT, OpenAI dan Microsoft, terkait artikel berita dan tulisan yang digunakan “melatih” AI tanpa persetujuan mereka.
Dilema hukum hak cipta dan program AI tergolong baru dan belum memiliki aturan baku atau preseden kasus yang bisa dijadikan acuan. Bisa dibilang bahwa program AI merupakan area abu-abu di mata hukum saat ini. Gambar AI tidak dapat dikatakan secara gamblang menjiplak atau memplagiat langsung karya orang lain. AI “dilatih” untuk meniru gaya dan teknik seniman tertentu. Namun, database untuk melatih AI diperoleh secara masif melalui internet, tempat dimana banyak seniman dari berbagai belahan dunia mempertunjukkan karyanya. Mereka berasumsi bahwa karya mereka dilindungi oleh hak cipta atau sistem copyright saat mengunggahnya.
Sebagian besar seniman dan penggiat industri kreatif menyayangkan hal ini. Skill yang mereka bangun bertahun-tahun seolah dirampas begitu saja demi kemajuan teknologi. Perdebatan moral pun muncul antara seniman yang protektif dengan hasil karya mereka dengan pengguna teknologi yang merasa dunia kreatif terbatas bagi kalangan tertentu saja. Banyak pengguna atau kreator gambar AI mengklaim bahwa program Dall-E dan MidJourney memerdekakan seni dan kreativitas sehingga bisa digunakan siapa saja. Sementara seniman dan penggiat industri kreatif khawatir bahwa potensi karir dan sumber penghidupan mereka kelak akan hilang dan digantikan oleh AI.
Sebagai contoh, perusahaan besar seperti Wizards of The Coast (WoTC) dan Wacom dikritik karena memakai gambar AI dalam material iklan mereka. Padahal kedua perusahaan ini dikenal luas merekrut seniman-seniman hebat untuk menggambar produk mereka. WoTC terkenal membuat permainan kartu populer Magic: The Gathering yang bersetting di dunia fantasi. Sementara Wacom merupakan perusahaan pembuat peralatan gambar digital yang menjadi standar industri kreatif dan kerap mempertunjukkan hasil gambar digital pada bungkus kemasan drawing tablet mereka. Keduanya seharusnya mampu untuk mengkomisi gambar atau lukisan dari seniman asli yang menjadi inti bisnis mereka ketimbang beralih menggunakan gambar AI.
Contoh lain adalah ketika kartunis Korea Selatan, Kim Jung Gi, meninggal akibat serangan jantung pada tahun 2022. Tak lama berselang setelah kabar meninggalnya tersebar di dunia maya, pengguna AI ramai-ramai mencoba memasarkan program AI yang bisa menirukan gaya dan teknik gambar mendiang Kim Jung Gi. Ini dianggap sebagai hinaan dan ejekan kepada karya mendiang yang sering dipuji unik dan tak ada duanya.
Selain itu, banyak juga kasus dimana pengguna AI berbohong dengan mengklaim bahwa mereka merupakan seniman sungguhan dan tidak menggunakan AI untuk membuat gambar digital. Ini menimbulkan keresahan diantara warganet. Banyak yang mulai saling tuduh apakah gambar yang diunggah merupakan karya manusia atau buatan AI. Singkat kata, banyak seniman yang mengganggap penggunaan gambar AI tidak etis.
Indonesia dan Gambar AI
Di Indonesia sendiri program AI terkesan diterima dengan tangan terbuka. Mulai dari akademisi, perusahaan, hingga pemerintah dan khalayak umum bersemangat mencoba teknologi ini. Sentimen yang berkembang adalah Indonesia ingin dianggap maju dan terdepan dalam pemanfaatan teknologi AI dibandingkan negara lain. Belakangan bermunculan seminar dan workshop terkait penggunaan ChatGPT hingga pemprograman AI dan Machine Learning. Di saat bersamaan banyak juga yang menggunakan AI hanya untuk membuat tulisan dan gambar sekejap mata.
Seperti yang telah dijabarkan di atas, gambar AI tergolong problematik dan bahkan tidak etis. Sayangnya di Indonesia kini banyak penggunaan gambar AI yang merambah ke bidang komersil hingga politik. Perusahaan swasta berlomba-lomba menggunakan gambar AI dalam strategi marketing mereka. Indomie membuat iklan berupa video rekaman yang diolah menjadi animasi menggunakan gambar AI. Sementara Falcon Pictures membuat poster pengumuman adaptasi komik Webtoon lokal “Pasutri Gaje” yang dibintangi Reza Rahardian dan Bunga Citra Lestari menggunakan gambar AI.
Dalam kedua kasus ini perusahaan yang bersangkutan tidak langsung mengakui bahwa mereka menggunakan gambar AI. Namun warganet yang jeli menemukan banyak keganjilan dalam gambar-gambar tersebut. Untuk kasus Falcon Pictures sangat miris karena film yang mereka buat diangkat langsung dari komik webtoon berjudul sama. Ketimbang melibatkan komikus aslinya, Annisa Nisfihani, untuk membuat gambar teaser poster mereka malah memilih memakai AI untuk menghasilkan gambar yang bahkan tidak mencerminkan alur cerita romansa pasangan PNS ini.
Tidak hanya itu, baru-baru ini dalam kampanye nasional pemilihan presiden Republik Indonesia tahun 2024 sejumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden terang-terangan menggunakan gambar AI dalam atribut dan media kampanye mereka. Langkah ini terkesan diambil guna menarik perhatian generasi muda yang melek teknologi. Namun malah menimbulkan keresahan di kalangan seniman dan warganet Indonesia.
Sejumlah pihak mengeluhkan tren ini. Ketimbang menunjukkan dukungan terhadap industri kreatif dengan merekrut seniman lokal, calon-calon ini malah menggelontorkan dana kampanye mereka untuk gambar AI yang legalitas dan etika moralnya masih dipertanyakan. Terlebih dengan memanasnya dunia perpolitikan Indonesia menjelang pemilu akan berpengaruh terhadap arah dan pandangan negara kedepannya, termasuk penggunaan gambar AI dan teknologi baru lainnya.
Oleh karenanya, penting membangun kesadaran masyarakat Indonesia terhadap potensi dan bahaya gambar AI sebelum terjadi normalisasi. Masyarakat perlu diberi pemahaman terkait pentingnya perlindungan hak cipta dan program AI yang “mencuri” karya-karya manusia tanpa persetujuan pembuatnya. Memasuki tahun baru 2024, sejumlah seniman hingga penggiat seni Indonesia mencoba menginisiasi gerakan online #TolakGambarAI via media sosial. Mereka frustasi dengan situasi saat ini dan mengharapkan adanya upaya nyata untuk menolak penggunaan gambar-gambar AI yang kian ramai di ranah publik.
Tujuan aksi ini adalah untuk mengedukasi dan memberikan awareness tentang pelanggaran hak cipta oleh AI gen image serta menuntut adanya regulasi terhadap penggunaan mesin AI dan generative AI. Warganet diajak ramai-ramai berpartisipasi dengan membuat unggahan online menggunakan tagar #TolakGambarAI. Dalam kurun waktu sehari paska inisiasi, tagar #TolakGambarAI sempat menjadi trending di media sosial seperti Twitter. Momentum ini perlu dimanfaatkan untuk mendorong isu gambar AI ke ranah yang lebih besar dan prominen.
Akhir kata, menggambar atau melukis merupakan aktivitas yang dapat dilakukan siapa saja. Terlepas dari bagus atau tidaknya sebuah hasil karya, tidak ada yang membatasi seseorang untuk mengeksplorasi bidang ini. Dengan kegigihan dan semangat belajar hobi menggambar bisa dikembangkan menjadi skill yang berguna di dunia profesional. Alangkah menyedihkannya ketika orang-orang malas menggunakan program AI untuk meniru karya orang lain dan merenggut apresiasi yang seharusnya ditujukan kepada seniman sesungguhnya. Banyak karya lukisan dan gambar buatan manusia yang berpotensi hilang dan tenggelam dalam lautan gambar generative AI yang mulai membanjiri dunia maya dan dunia nyata saat ini.
Komentar
Posting Komentar