Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2019

27 Steps of May - Sebuah Ulasan

27 Steps of May Dir. Ravi Bharwani Film dapat menjadi sangat puitis. Tony Zhou, seorang editor dan analis film, mencoba menjabarkan definisi ini melalui salah satu video essai di Youtube berjudul “Poetry of Details.” Pada dasarnya dia menganggap film dapat membuat orang menaruh perhatian besar bukan melalui plot, melainkan detail pada gambar dan suara sehingga menjadikannya puitis. Argumentasi ini cocok diterapkan pada film “27 Steps of May.” Disutradarai oleh Ravi Bharwani, “27 Steps of May” bercerita tentang May, seorang gadis yang mengidap trauma berkepanjangan setelah diperkosa semasa di bangku sekolah. Film ini mencoba mengeksplorasi dampak yang ditimbulkan kepada gadis malang tersebut dan hubungannya yang berantakan dengan ayahnya, serta ketakutan May akan dunia luar – yang menjadi ekstensi semua ‘hal buruk’ yang menimpa May. Sekilas membaca judulnya sebagian penonton mungkin akan mengira film ini memiliki kaitan dengan peristiwa Reformasi Mei 1998 – dan mereka tidak se...

Dua Garis Biru - Sebuah Ulasan

Dua Garis Biru Dir. Gina S. Noer Baru dirilis film ini telah menimbulkan kontroversi. Dengan judul yang cukup sugestif ditambah sensitivitas masyarakat terhadap isu yang coba diangkat film ini di era media sosial sekarang (seorang kritikus film pernah mensugestikan era modern sebagai serba hyper-sensitive ), “Dua Garis Biru” tak dapat dipungkiri telah mencatatkan namanya dalam sejarah perfilman Indonesia. Bila diingat kembali, kasus serupa pernah terjadi kepada film Hollywood, “Juno” (2007) yang dibintangi Ellen Page sebagai remaja yang hamil di usia muda. Isu tentang aborsi, seks bebas, hingga hamil di luar nikah masih dianggap sensitif dan berpotensi memunculkan kontroversi dalam masyarakat AS yang liberal. Naskah yang ditulis Diablo Cody terus mendapat penolakan dari studio-studio Hollywood dan kesulitan memperoleh investor atau pendanaan. Bahkan “Juno” sempat masuk dalam The Black List , sebuah daftar peringkat tahunan yang mengumpulkan naskah-naskah skenario film potensi...

Istirahatlah Kata-kata - Sebuah Ulasan

Istirahatlah, Kata-kata (Solo, Solitude) Dir.Yosep Anggi Noen Suka atau tidak, film tergolong sebagai sebuah karya seni. Namun berbeda dengan puisi atau musik dan lebih mendekati lukisan kanvas atau foto, film ‘berbicara’ melalui gabungan visual dan suara pada permukaan 2 dimensi dan cenderung dinamis. Film dapat mengambil bentuk imaginer apapun dan memproyeksikannya langsung ke penonton, merangsang pikiran dan menggugah hati mereka. Lalu, apa yang terjadi ketika media ini mencaplok karya seni lainnya seperti lukisan atau prosa puisi? “Istirahatlah, Kata-kata” mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan tingkat kesuksesan yang beragam.   Sejarah film sebagai seni ‘serius’ telah lama ada dan berkembang pesat, bahkan diciptakan istilah art-house film untuk menggambarkan film-film yang lebih menonjolkan estetika dan simbolisme ketimbang plot atau jalan cerita konvensional. Film-film seperti 400 Blows karya Francois Truffaut atau Breathless karya Jean-Luc Goddard, hingga fi...