27 Steps of May - Sebuah Ulasan

27 Steps of May
Dir. Ravi Bharwani

Film dapat menjadi sangat puitis. Tony Zhou, seorang editor dan analis film, mencoba menjabarkan definisi ini melalui salah satu video essai di Youtube berjudul “Poetry of Details.” Pada dasarnya dia menganggap film dapat membuat orang menaruh perhatian besar bukan melalui plot, melainkan detail pada gambar dan suara sehingga menjadikannya puitis. Argumentasi ini cocok diterapkan pada film “27 Steps of May.”
Disutradarai oleh Ravi Bharwani, “27 Steps of May” bercerita tentang May, seorang gadis yang mengidap trauma berkepanjangan setelah diperkosa semasa di bangku sekolah. Film ini mencoba mengeksplorasi dampak yang ditimbulkan kepada gadis malang tersebut dan hubungannya yang berantakan dengan ayahnya, serta ketakutan May akan dunia luar – yang menjadi ekstensi semua ‘hal buruk’ yang menimpa May.
Sekilas membaca judulnya sebagian penonton mungkin akan mengira film ini memiliki kaitan dengan peristiwa Reformasi Mei 1998 – dan mereka tidak sepenuhnya salah. Film ini menjadi analogi dari peristiwa besar di Indonesia yang diwakili melalui tokoh May, bahkan terimplikasi bahwa pemerkosan berlangsung saat kerusuhan 1998. Namun, terlepas dari implikasi tersebut film ini memilih mengesampingkan topik politik yang berat dan memilih fokus pada karakter-karakternya.
Seperti yang sudah disinggung di atas, kekuatan terbesar film ini terletak pada detail-detail di dalamnya. Tidak banyak dialog yang disampaikan sepanjang film, bahkan seluruh karakter selain dari May tidak memiliki nama sehingga secara tidak langsung berdampak pada minimnya dialog. Film dengan lihai membuat penonton mengenal tokoh-tokoh kunci melalui penampilan fisik yang diikuti dengan aksi yang mewakili karakternya. Penonton diajak berkenalan dengan tokoh Ayah yang pasif namun memendam amarah melalui kuku jempol yang rusak dan bekas luka di pelipis yang diikuti dengan adegan-adegan aksinya sebagai petinju amatir. Penonton juga diajak mengenal lebih dalam tokoh May melalui cara berpakaiannya yang steril, kuno, dan kekanakan yang diikuti dengan rutinitasnya yang tidak berubah selama bertahun-tahun.
Tidak hanya penggambarkan karakter, detail-detail yang muncul sepanjang film juga penting untuk menggerakan cerita – dalam hal ini memajukan plot. Detail-detail seperti lubang di dinding, boneka, serbuk berkilau, peralatan berkebun, sarung tangan hingga meja makan dan trik-trik sulap digunakan oleh sutradara secara efektif untuk memicu atau menggambarkan perubahan yang dialami May dan Ayahnya.
Menonton “27 Steps of May” ibarat menyaksikan sebuah versi dari kisah dongeng klasik “Alice in Wonderland.” Kemiripan keduanya terletak pada tokoh utama perempuan yang ‘tersedot’ ke dalam pelarian fantasi akibat rasa ingin tahu yang lalu membawanya pada peristiwa-peristiwa magis nan spektakular. Peristiwa-peristiwa ini mengubah tokoh utama secara emosional dan akhirnya menjadikannya manusia yang berbeda di ujung perjalanan. Pada dasarnya, seperti itulah transformasi May – perwujudan Alice – dari gadis belia yang naif menjadi wanita dewasa yang bebas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persidangan Meja Makan - Pengalaman Membuat Film Pendek

Dilema Pelukis Bernama “Kecerdasan Buatan”

PORTOFOLIO DESAIN GRAFIS