Istirahatlah Kata-kata - Sebuah Ulasan

Istirahatlah, Kata-kata (Solo, Solitude)
Dir.Yosep Anggi Noen

Suka atau tidak, film tergolong sebagai sebuah karya seni. Namun berbeda dengan puisi atau musik dan lebih mendekati lukisan kanvas atau foto, film ‘berbicara’ melalui gabungan visual dan suara pada permukaan 2 dimensi dan cenderung dinamis. Film dapat mengambil bentuk imaginer apapun dan memproyeksikannya langsung ke penonton, merangsang pikiran dan menggugah hati mereka. Lalu, apa yang terjadi ketika media ini mencaplok karya seni lainnya seperti lukisan atau prosa puisi? “Istirahatlah, Kata-kata” mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan tingkat kesuksesan yang beragam.

 Sejarah film sebagai seni ‘serius’ telah lama ada dan berkembang pesat, bahkan diciptakan istilah art-house film untuk menggambarkan film-film yang lebih menonjolkan estetika dan simbolisme ketimbang plot atau jalan cerita konvensional. Film-film seperti 400 Blows karya Francois Truffaut atau Breathless karya Jean-Luc Goddard, hingga filmografi sutradara seperti Terence Malick dan David Lynch dapat digolongkan sebagai art-house film. Istirahatlah, Kata-kata memakai pendekatan yang serupa dan membuatnya tidak ditujukan untuk masyarakat luas.

Memasuki dunia film ini, pembuat film berasumsi bahwa penonton telah memahami atau minimal mengetahui garis besar sejarah Indonesia menjelang akhir zaman Orde Baru, termasuk mengenal subjek utamanya, Penyair dan Aktivis Wiji Thukul yang dikabarkan menghilang setelah Reformasi 1998. Film ini tidak menuturkan kisah hidup Wiji Thukul atau bagaimana dia bisa ‘lenyap’ sebagaimana film biografi tokoh pada umumnya. Penonton hanya disajikan potongan momen-momen pelariannya ke Kalimantan lalu diam-diam kembali ke Solo, kampung halamannya. Tidak banyak dramatisasi peristiwa-peristiwa kunci yang berujung pada klimaks atau payoff bagi penonton. Semua dibiarkan apa adanya tanpa ada interupsi.

Dapat dimaklumi bila sebagian penonton bakal merasa frustasi atau bosan dengan gaya penuturan dan sinematografi film ini. Tapi, mungkin itulah tujuan pembuat film. Penonton akan ikut merasakan kegundahan dan ketidakberdayaan Thukul menjalani hidup sendirian dalam pelarian. Meski bersembunyi dibantu teman-temannya, Thukul tetap merasakan kejenuhan terhadap hidupnya yang kini monoton tanpa perubahan berarti, jauh dari rumah dan keluarga. Ini ditunjukkan melalui sejumlah momen sunyi dan posisi kamera yang statis hingga membuat penonton tidak nyaman dan ikut merasakan ‘penderitaan’ Thukul.

Pada akhirnya film ini memilih berfokus pada karya puisi Wiji Thukul ketimbang kisah hidupnya. Memvisualisasikan puisi dan monolog tokoh dalam media film selalu menjadi tantangan tersendiri. Pembuat film dapat menempuh berbagai cara guna mewujudkannya. Dalam salah satu adegan ‘besar’ film ini, Thukul digambarkan membacakan salah satu puisinya dalam pikirannya dengan berkobar-kobar sembari menunggu sesi pemotretan. Sementara itu, dalam pembuka film yang memuat salah satu momen sunyi film Thukul dengan hati-hati memperdengarkan “Istirahatlah, Kata-kata” sembari menerawang jauh dalam kesendiriannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persidangan Meja Makan - Pengalaman Membuat Film Pendek

Dilema Pelukis Bernama “Kecerdasan Buatan”

PORTOFOLIO DESAIN GRAFIS