Dua Garis Biru - Sebuah Ulasan
Dua Garis Biru
Dir. Gina S. Noer
Baru dirilis film ini telah
menimbulkan kontroversi. Dengan judul yang cukup sugestif ditambah sensitivitas
masyarakat terhadap isu yang coba diangkat film ini di era media sosial
sekarang (seorang kritikus film pernah mensugestikan era modern sebagai serba hyper-sensitive), “Dua Garis Biru” tak
dapat dipungkiri telah mencatatkan namanya dalam sejarah perfilman Indonesia.
Bila diingat kembali, kasus serupa
pernah terjadi kepada film Hollywood, “Juno” (2007) yang dibintangi Ellen Page
sebagai remaja yang hamil di usia muda. Isu tentang aborsi, seks bebas, hingga
hamil di luar nikah masih dianggap sensitif dan berpotensi memunculkan
kontroversi dalam masyarakat AS yang liberal. Naskah yang ditulis Diablo Cody
terus mendapat penolakan dari studio-studio Hollywood dan kesulitan memperoleh
investor atau pendanaan. Bahkan “Juno” sempat masuk dalam The Black List, sebuah daftar peringkat tahunan yang mengumpulkan
naskah-naskah skenario film potensial namun sulit atau bahkan hampir mustahil
untuk diproduksi di Hollywood. Masuknya “Juno” dalam daftar ini menjadi berkah
tersendiri karena membantu proyek ini mendapat perhatian dan lampu hijau dari
studio. Meski berada di belahan dunia berbeda, “Juno” dan “Dua Garis Biru”
menjadi contoh nyata bagaimana isu-isu semacam ini tetap dapat berakhir di
layar perak meski melalui jalan yang tidak mudah.
Berbicara tentang filmnya sendiri,
Gina S. Noer yang selama ini lebih dikenal sebagai penulis skenario kenamaan
memulai debutnya sebagai sutradara dalam film “Dua Garis Biru”. Gina sendiri
mengakui bahwa dirinya cukup ketakutan berada di kursi sutradara. Namun
beruntung baginya, Gina dibantu oleh tim yang handal serta beberapa trik atau
teknik komposisi yang berhasil diterapkannya dalam film, salah satunya: Frame within a frame.
Frame
within a frame pada dasarnya merujuk pada penggunaan
bentuk frame atau bingkai; baik persegi, lingkaran, oval, hingga segitiga dalam
bingkai film (persegi) itu sendiri. Trik komposisi ini dapat membantu sutradara
memusatkan perhatian penonton pada subjek atau objek tertentu dalam bingkai
yang sangat lebar dan berpotensi mengalihkan perhatian seperti yang dilakukan
oleh Quentin Tarantino dalam filmnya “Hateful Eight” yang disyuting menggunakan
kamera Panavision 70mm dan menghasilkan resolusi gambar yang sangat lebar (ultra-wide); atau memberi efek isolasi,
perasaan tidak nyaman, terkurung dan bahkan intimasi antara karakter seperti
yang dilakukan Wong Kar-wai dalam “In The Mood for Love” untuk menggambarkan
kegelisahan hati dua tokoh utama yang menjalin cinta terlarang di komplek
apartemen Hong Kong yang sempit dan sesak. Gina cenderung condong ke opsi
kedua.
Gina cukup sering
mengisolasi karakternya dalam bingkai persegi untuk menggambarkan ketidaknyaman
atau kegundahan mereka, seperti contohnya ketika Dara hendak melakukan tes
kehamilan di kamar mandi atau konfrontasi antara Dara dan ibunya yang mencoba
menghindar dari acara lamaran. Dalam adegan ini Dara ditempatkan pada frame yang lebih besar dan mendominasi
adegan, sedangkan ibunya ditempatkan pada frame
yang lebih kecil dan dalam posisi duduk yang membuatnya ‘kalah’ dan
terintimidasi sepanjang adegan. Contoh lain ditunjukkan dalam salah satu adegan
long-take dimana para pemain
ditempatkan di sekitar jendela UKS yang dengan sengaja tidak ditutup gorden. Melalui
penempatan jendela di tengah frame film menjadikan konflik antara pemain layaknya
‘sirkus’ yang tengah disaksikan oleh siswa-siswi di luar UKS. Contoh frame sebagai bentuk intimasi karakter
ditunjukkan melalui shot Dara dan
Bima di ujung lorong gelap menuju rumah Bima, dimana keduanya berhenti tepat
sebelum melangkah masuk ke dalam cahaya seolah ragu dengan langkah (dapat
disimbolkan sebagai keputusan hidup atau masa depan) yang akan mereka ambil
sebelum keduanya berbagi momen mesra untuk waktu yang singkat.
Komentar
Posting Komentar