Analisis Kemenangan "PARASITE" Dalam Academy Awards 2020


Pada tanggal 9 Februari 2020 bertempat di Dolby theatre, LA, Parasite - film dari Korea Selatan membawa pulang penghargaan tertinggi “Film Terbaik” dari ajang bergengsi yang seringkali dianggap sebagai pencapaian tertinggi untuk sebuah film – Piala Oscar. Kemenangan historik ini bukan tanpa sebab atau tidak membawa dampak yang dapat mengguncang dunia perfilman kedepannya[1]. Berikut analisa mendalam terkait kemenangan Parasite dan ajang penghargaan film secara umum.

Film-film Korea Selatan terus berkembang dan mendapat respon positif dari berbagai belahan dunia. Sejak Oldboy (2003), film thriller karya Park Chan-wook yang diangkat dari komik Jepang berjudul sama, meraih penghargaan Gran Prix dalam festival film Cannes, semakin banyak film-film Korea yang bersinar di kancah internasional, termasuk diantanya film-film seperti The Host (2006) dan Train To Busan (2016) yang tidak hanya meraih pujian kritikus namun juga oleh penonton di seluruh dunia. Pada tahun 2018, film Handmaiden yang juga disutradarai Park Chan-Wook meraih penghargaan “Film berbahasa Asing Terbaik” dalam ajang BAFTA di Inggris. Lalu pada tahun 2019, Burning karya Lee Chang-dong mewakili Korea Selatan masuk dalam daftar pendek calon nominasi “Film Berbahasa Asing” Oscar sebelum akhirnya tereliminasi dari nominasi akhir. Parasite akhirnya menembus nominasi ini dan menjadi film Korea Selatan pertama yang berasing di Academy Awards ke -92, nama resmi ajang piala Oscar, pada awal tahun 2020.  

Parasite merupakan film ketujuh dari sutradara Bong Joon-Ho. Sutradara kelahiran Daegu, Korea Selatan ini telah lama malang-melintang di jagat perfilman dan menarik perhatian pecinta film internasional sejak film keduanya, Memories of Murder (2003). Film ini bahkan dimasukkan oleh Sutradara Quentin Tarantino dalam daftar film-film favoritnya. Paparan dan publisitas dari sutradara ternama Hollywood yang kemudian menjadi sahabatnya ini memberi kesempatan bagi Bong untuk menembus kancah internasional. Bong bahkan sempat mengucapkan terima kasih atas kontribusi Tarantino dalam karirnya saat menerima piala Oscar untuk “Sutradara Terbaik”.

Di tahun 2013 Bong merilis film berbahasa inggris pertamanya, Snowpiercer. Diangkat dari komik science fiction Prancis, proyek ini menarik minat produser langganan Tarantino, Harvey Weinstein, yang saat itu masih mengepalai The Weinstein Company. Dalam sebuah wawancara dengan kanal berita Vulture[2], Bong sempat menjelaskan pengalamannya bekerja dengan produser yang terkenal “sadis” memotong film-film di bawah naungannya meski berarti mengubah alur cerita dan visi sutradara yang membuat film. Bong berusaha keras ‘menyelamatkan’ filmnya bahkan sampai harus berbohong ketika salah satu adegan tematik dalam film terancam dipotong karena “memperlambat action”. Bong berdalih bahwa adegan itu memiliki makna karena mengingatkannya dengan ayahnya.

Pada akhirnya, Weinstein mengalah dan mendelegasikan distribusi Snowpiercer kepada salah satu anak perusahaannya yang lebih kecil setelah hasil editnya meraih skor yang lebih buruk dalam tes penayangan ketimbang versi asli Bong. Film ini lalu dirilis secara terbatas di Amerika Serikat. Meski mendapat pujian, kurangnya promosi dan jumlah layar membuat film science-fiction masa depan tentang konflik strata sosial dalam kereta api yang dibintangi aktor-aktor ternama seperti Tilda Swinton, John Hurt, Ed Harris, hingga Chris Evans yang terkenal melalui peran Superhero Captain America ini belum menjadi hit bagi Bong di Hollywood. Sementara itu, karir Harvey Weinstein runtuh setelah sang produser terjebak dalam skandal pelecehan seksual terhadap puluhan wanita di pertengahan tahun 2017.

Bong sempat berada di tengah pusaran kontroversi terkait eligibilitas film layanan streaming bersaing di ajang film internasional semacam Cannes pada tahun 2017. Kala itu Bong merilis film berbahasa inggris keduanya, Okja, yang merupakan hasil kerja sama antara Korea dan Hollywood melalui layanan streaming Netflix. Kala itu, Bong memilih layanan streaming raksasa ini setelah dijanjikan kebebasan dan kendali proses syuting dan editing akhir. Netflix yang turut menggolontorkan uang membiayai pembuatannya mendaftarkan Okja di Festival Film Cannes. Keputusan ini sempat mengundang kritikan karena model bisnis Netflix yang mengharuskan film originalnya ditayangkan di bioskop dan layanan streaming ala TV di hari yang sama. Selain itu, Netflix juga memiliki klausa kerjasama unik dengan jaringan bioskop dimana Netflix dapat merahasiakan hasil penjualan tiketnya. Cara-cara ini berbeda jauh dengan aturan penayangan tradisional yang memberi waktu antara penayangan atau hak ekslusifitas sebuah film di bioskop sebelum berakhir di TV, yaitu antara 90-120 hari. Netflix akhirnya memilih tidak merilis filmnya di bioskop Prancis. Banyak yang kemudian mempertanyakan eligibilitas film-film Netflix seperti Okja dan Meyerowitz Stories tetap berkompetisi di Cannes[3].

Kontroversi ini mendorong panitia untuk memperketat aturan film yang berkompetisi di Cannes di tahun-tahun berikutnya. Netflix menanggapi dengan tidak mengirim filmnya ke salah satu festival film tertua di dunia ini. Selain itu, sutradara terkenal Steven Spielberg yang merupakan salah satu pemangku kepentingan di The Academy, wadah pekerja film Amerika Serikat dan penyelenggara piala Oscar, dikabarkan mencoba melobi untuk melarang film-film streaming bersaing dalam ajang piala Oscar. Menurut kanal Indiewire[4], Spielberg berpendapat bahwa film-film ini tergolong sebagai film TV dan selayaknya bersaing di piala Emmy, ajang penghargaan TV Amerika Serikat. Dampak dari kontroversi ini secara tidak langsung meredupkan kesempatan Okja menembus Oscar meski membahas isu menarik semacam konsumerisme dan perlindungan hewan.

Setelah Okja, sutradara Bong kembali berkompetisi di Festival Film Cannes pada 2019 melalui film yang sepenuhnya dibuat di Korea, Parasite. Hasilnya film yang kembali mengangkat isu konflik strata sosial ini berhasil memenangkan Palme D’or, penghargaan tertinggi Cannes dan menjadi film asia kedua yang memenangkan kategori ini secara beruntun setelah film Jepang Shoplifters di tahun 2018. Pesan yang universal dan cerita original membuat banyak pengamat mulai memperhitungkan film ini. Dibandingkan dua film sebelumnya, Bong kali ini diuntungkan oleh distributornya di Amerika Serikat, Neon, yang memberi dukungan penuh untuk perilisan filmnya. Dimulai dengan perilisan terbatas di bioskop Amerika Serikat pada Oktober 2019, sebelum akhirnya dirilis serentak di bioskop-bioskop selang beberapa minggu kemudian. Berkat strategi marketing yang efektif dan rekomendasi dari mulut ke mulut membawa Parasite menjadi film Korea Selatan terlaku sepanjang masa di Amerika Serikat.

Kesuksesan ini juga berbuah sederet penghargaan, dimulai dari piala Golden Globes, Spirit Independent Awards dan BAFTA untuk “Film Asing Terbaik” hingga penghargaan Writers Guild of America[5] untuk skenario original terbaik, dan puncaknya piala utama Screen Actor Guilds[6], penghargaan wadah perkumpulan aktor Hollywood, yang juga menyumbang anggota terbanyak dalam daftar pemilih Oscar tiap tahunnya. Penghargaan-penghargaan ini meningkatkan peluang Parasite untuk bersaing di Academy Awards ke-92, sesuatu yang belum berhasil dicapai film Korea Selatan manapun. Terbukti, Parasite berhasil meraih 6 nominasi berbeda dan memborong 4 piala Oscar, termasuk diantaranya Film Terbaik.

  Dalam pidato kemenangan Parasite di Academy Awards ke-92, salah seorang figur di balik kesuksesan film ini turut mendapat sorotan: Miky Lee – Konglomerat CJ Group yang menjadi Co-producer dalam sejumlah film Bong Joon-ho. Berbicara kepada BBC[7], Jason Bechervaise seorang pengamat film Korea dan profesor di Universitas Soongsil, mengatakan bahwa industri perfilman dan TV Korea Selatan tidak akan mencapai kesuksesannya saat ini tanpa kontribusi Miky Lee dan CJ. BBC menyoroti ironi film Parasite yang membahas perbedaan kelas dan strata sosial, namun didanai oleh salah satu perusahaan terbesar di Negeri ginseng itu. Meski demikian, Bong mengutarakan bahwa salah satu inspirasinya membuat film ini berasal dari pengalaman pribadinya menjadi tutor anak orang kaya selama dua bulan melalui rekomendasi pacarnya saat itu, yang kelak menjadi istrinya. Di tangan Bong pengalaman singkat ini menjelma menjadi film komedi satir dengan bumbu-bumbu ketegangan ala film thriller.

Meski memenangkan piala Oscar Bong Joon-ho tidak berbesar kepala. Beberapa bulan sebelum pengumuman nominasi, Bong menyampaikan kepada Vulture bahwa baginya Academy Awards dan Piala Oscar merupakan “acara lokal” dibandingkan “festival film internasional” seperti Cannes. Namun dirinya tidak memungkiri dampak kemenangan filmnya di Korea Selatan, dimana umumnya tidak banyak orang yang memedulikan festival film dan sebangsanya. Ketika Bong dan kolaborator setianya, aktor Song Kang-ho, pulang setelah memenangkan Palme D’or di Cannes 2019 mereka disambut fans dan wartawan yang telah menanti di bandara internasional Incheon layaknya atlit peraih medali emas atau grup K-Pop BTS. Bong bercanda bahwa dia masih kalah populer dari BTS, yang 3000 kali lebih berpengaruh dari dirinya. Sentimen ini nampaknya tidak jauh berbeda dengan kenyataan. Menurut survei Nielsen[8], prosesi Academy Awards ke-92 hanya disaksikan oleh 23,6 juta pemirsa. Ini merupakan rekor terendah sejak acara ini ditayangkan live oleh stasiun TV ABC. Rekor tertinggi sebesar 55.2 juta pemirsa dicapai pada tahun 1998 ketika Titanic karya James Cameron membawa pulang titel film terbaik.

Selain turunnya jumlah penonton, Academy Awards dan acara-acara penghargaan film sejenis terus mendapat kritikan dan hujatan beberapa tahun terakhir karena kurangnya representasi ras non-kulit putih dan perempuan dalam daftar nominasi utama maupun pemenangnya. Setelah beberapa tahun lalu populer tagar #OscarSoWhite, tahun ini giliran BAFTA disoroti karena tidak adanya nominator kulit hitam atau berwarna dalam daftar nominasi akting utamanya. Bos BAFTA, Amanda Berry[9], turut menyesali hal ini dan berjanji melakukan perubahan di tahun-tahun mendatang. Academy/ Oscar yang telah lebih dulu melakukan perubahan dengan merombak keanggotan dan mengundang calon anggota baru dari beragam latar etnis, bangsa dan negara, tetap mendapat sorotan karena hanya menominasikan satu perempuan kulit hitam dalam kategori akting, yaitu Cynthia Erivo melalui film Harriet.

Tidak masuknya sejumlah aktor non-kulit putih, terutama bercermin dari nominasi Golden Globes yang memasukkan nama seperti Jennifer Lopez (Hustlers) dan Awkafina (The Farewell), membuat Oscar tidak lepas dari hujatan yang sama. Ini juga tercermin dalam nominasi Sutradara dan penulis skenario terbaik, dimana tidak ada representasi perempuan seperti Greta Gerwig (Little Women), Alma Har’el (Honey Boy) atau bahkan Lulu Wang (The Farewell). Ini berbanding terbalik dengan penghargaan non-mainstream alias independen semacam Spirit Independent Awards yang tahun ini menobatkan film The Farewell karya Lulu Wang, yang diangkat dari pengalaman Wang menghabiskan momen-momen terakhir bersama neneknya yang didiagnosa menderita kanker di Tiongkok serta didominasi pemain film Tiongkok dan dialog mandarin, sebagai film terbaik[10].

  Dengan segala kekurangan ini, bukan berarti malam penganugerahan Academy Awards ke-92 tidak dapat diapresiasi sepenuhnya. Kemenangan Parasite menandai kebangkitan film-film asing, terutama film Asia, di kancah internasional. Kemenangan film ini juga menandai kali pertama dalam sejarah produser wanita non-kulit putih (Kwak Sin-Ae) meraih penghargaan film terbaik. Harapannya, semakin banyak film-film berbahasa asing, termasuk Asia, yang mendapat apresiasi dunia barat. Mengutip kalimat pidato dari sutradara Bong Joon-ho di Golden Globes 2020[11], “Setelah kau melewati hambatan subtitle setinggi satu inci, maka kau akan diperkenalkan pada lebih banyak lagi film-film memukau”.

(Artikel ini dimuat dalam halaman Opini surat kabar harian Tribun Sumsel pada tanggal 19 Februari 2020).



[3] https://www.vox.com/culture/2018/4/13/17229476/netflix-versus-cannes-ted-sarandos-thierry-fremaux-okja-meyerowitz-orson-welles-streaming-theater
[4] https://www.indiewire.com/2019/02/steven-spielberg-vs-netflix-oscar-academy-wars-1202047846/
[5] https://www.indiewire.com/2020/02/writers-guild-awards-wga-2020-winners-the-complete-list-1202207893/
[6] https://edition.cnn.com/2020/01/19/entertainment/sag-awards-2020-highlights/index.html
[10] https://www.hollywoodreporter.com/lists/spirit-award-winners-2020-updating-live-1275924
[11] https://www.nytimes.com/2020/02/12/movies/movies-subtitles-parasite.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persidangan Meja Makan - Pengalaman Membuat Film Pendek

Dilema Pelukis Bernama “Kecerdasan Buatan”

PORTOFOLIO DESAIN GRAFIS