12 Menit - Sebuah Ulasan
Pengantar:
Untuk Post kali ini (dan beberapa post selanjutnya), penulis mencoba rehat dari rangkaian ulasan film-film Hollywood dan luar negeri yang sering menghiasi blog ini dan mencoba mengambil rute berbeda: Mengulas sejumlah film-film buatan Indonesia.
Bagi yang menantikan ulasan film luar negeri selanjutnya mohon untuk bersabar sedikit lagi. Penulis berjanji untuk kembali mengulas film-film yang sudah diimplikasikan di post-post sebelumnya. Akhir kata, selamat membaca.
---
Selain itu, ketiga tokoh utama juga sangat
jarang berinteraksi. Cerita ketiganya yang berdiri sendiri dan hanya
dihubungkan melalui peran pelatih utama Tere serta sikap profesionalisme di
lingkungan kerja, dalam hal ini adalah tim Marching Band. Ini membuat penonton
sulit bersimpati kepada ketiganya atau bahkan seluruh tim sebagai sebuah
kesatuan yang tak terpisahkan. Beberapa tracking
shot yang muncul sepanjang film berusaha sebisa mungkin menghubungkan
ketiganya, namun hanya berakhir sebagai sebuah teknik penyutradaraan yang ingin
memuat banyak momen-momen kecil cerita secara bersamaan. Tidak adanya dialog
atau momen intim antara Elaine, Tara, dan Lahang menjadikan mereka terkesan
dingin dan acuh di luar dunianya sendiri. Padahal seharusnya film ini menjadi
contoh nyata kerjasama dan persatuan, dan bukannya individualitas.
Untuk Post kali ini (dan beberapa post selanjutnya), penulis mencoba rehat dari rangkaian ulasan film-film Hollywood dan luar negeri yang sering menghiasi blog ini dan mencoba mengambil rute berbeda: Mengulas sejumlah film-film buatan Indonesia.
Bagi yang menantikan ulasan film luar negeri selanjutnya mohon untuk bersabar sedikit lagi. Penulis berjanji untuk kembali mengulas film-film yang sudah diimplikasikan di post-post sebelumnya. Akhir kata, selamat membaca.
---
12 MENIT
Sutradara: Hanny
R. Saputra
12 MENIT sering didapuk sebagai film
tentang Marching Band pertama di Indonesia, dan memang itulah kenyataannya.
Namun film ini juga dapat digolongkan sebagai sebuah film olahraga. Karya yang
diadaptasi dari novel berjudul sama karangan Oka Aurora, yang pada dasarnya
mencoba mengangkat kisah nyata perjuangan tim Marching Band Bontang Pupuk
Kaltim (MBBPK) menembus kompetisi nasional, ini dalam penuturannya tipikal
film-film olahraga yang populer di Hollywood untuk beberapa waktu seperti
Rocky, A League of Their Own, Mighty Ducks, hingga serial TV Friday Night
Lights. Semua kisah tersebut berkutat pada perjuangan individu atau tim
mengikuti kejuaraan atau kompetisi bergengsi dan membuktikan kemampuan mereka,
namun di saat bersamaan rintangan dan cobaan pribadi menguji mentalitas dan
keteguhan hati tiap individu. Di akhir kisah tokoh utama dan atau timnya
berubah akibat semua pengalaman yang dialami dan berhasil memenangkan
pertandingan atau kompetisi. Sebagian mungkin bakal menggolongkan kisah-kisah
semacam ini sebagai underdog story
yang sangat umum dijumpai dalam berbagai bidang olahraga. 12 Menit tidak
terlepas dari cara-cara dan pendekatan yang serupa.
Meski menceritakan musik, 12 Menit lebih
banyak fokus pada persiapan dan latihan anggota MBBPK setiap harinya, serta
berbagai masalah yang terus-menerus datang. Penonton diajak berkenalan dan
lebih memahami proses pelatih mengasah kemampuan anggota MBBPK hingga mahir
memainkan alat musik dan membentuk formasi. Ratusan jam yang katanya mereka
korbankan berlatih demi 12 menit penampilan sempurna di hadapan publik.
Kegigihan ini tentunya serupa dengan etos kerja atlit olahraga yang berjuang
sejak kecil atau di usia muda demi mendapat apresiasi masyarakat yang menyukai
kisah-kisah perjuangan mengejar impian atau cita-cita. Hal ini telah menjadi tujuan sebagian besar
atlit dunia. Film 12 Menit tidak pernah melupakan posisinya sebagai penyalur
‘pesan’ tersebut ke penonton.
Film ini memakai 3 tokoh utama dengan
latar belakang berbeda sebagai ‘pintu masuk’ bagi penonton ke terjun dalam
dunia Marching Band. Mereka adalah Elaine, Tara, dan Lahang. Sayang, penggunaan
tiga tokoh utama ini malah membuat banyak momen dan pendalaman karakter yang
harus dikorbankan demi menjaga durasi dan pace
atau ritme cerita. Diantara ketiga tokoh, Lahang merupakan karakter yang paling
dangkal penokohannya dan sedikit sekali membuat kemunculan kecuali dalam
beberapa momen terakhir film. Padahal Lahang diceritakan sebagai anak asli
Bontang yang masih menjaga budaya dan tradisi daerahnya; berbeda dengan Tara
yang merupakan seorang anak rantauan; atau Elaine, anak blasteran Jepang yang
pindah dari Jakarta karena alasan pekerjaan ayahnya.
Komentar
Posting Komentar