Benteng Terakhir Pelestarian Film Indonesia
Berbicara
tentang sejarah film dunia, yang kini telah berumur lebih dari 100 tahun sejak
penemuan kamera film oleh Lumiere bersaudara, tidak terlepas dari peran dan
kontribusi orang-orang yang berkecimpung di dalamnya untuk menjaga warisan para
pionir perfilman dan torehan catatan sejarah yang dapat hilang begitu saja
ditelan zaman. Di Amerika Serikat yang terkenal berkat sistem Hollywood-nya,
banyak badan, organisasi, hingga individu-individu yang giat menjaga
keberlangsungan film. Contohnya antara lain: American Film Institute (AFI) yang
bertujuan mengedukasi pembuat film dengan sejarah perfilman Amerika Serikat;
Motion Picture Association of America (MPAA) yang menghimpun studio-studio
Hollywood dan mengadvokasi perlindungan hak cipta film dari pembajakan;
National Film Registry tiap tahunnya menyeleksi dan menyimpan film-film yang
dianggap penting dan patut dilestarikan serta berada langsung di bawah kendali
Perpustakaan Kongres Amerika Serikat; hingga Academy of Motion Picture Arts and
Sciences yang menyatukan semua pekerja film, memonitor dan mendukung
pengembangan ilmu sains dan seni film, dan memberikan penghargaan tertinggi
berupa piala Oscar. Di Indonesia, sebagian fungsi dan tugas itu berada di bawah
naungan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail yang terletak di Jl. Rasuna Said,
Jakarta Selatan.
Gedung
perkantoran 5 lantai yang menjadi markas Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar
Ismail (YPPHUI) merupakan pusat preservasi atau pelestarian media film
Indonesia dan tempat mengedukasi generasi muda terhadap sejarah dan
perkembangan perfilman Indonesia selama bertahun-tahun. YPPHUI terus mewujudkan
visi ini melalui Sinematek Indonesia dan Citra Film School.
Sinematek
Indonesia adalah sebuah organisasi nirlaba yang didirikan oleh tokoh-tokoh
perfilman, yaitu Misbach Yusa Biran dan Nasrul Sani. Organisasi ini bertujuan
mengumpulkan, merawat, dan mempreservasi material film-film layar lebar, dan
bahkan televisi, yang dianggap penting dan mewakili identitas bangsa Indonesia.
Sinematek Indonesia memiliki kantor di lantai 4 dan 5 Pusat Perfilman, serta
ruang penyimpanan di lantai basement. Kantor Sinematek ibarat museum sejarah
perfilman Indonesia. Begitu masuk, pengunjung dapat melihat benda-benda
peninggalan masa-masa awal film Indonesia; seperti kamera film, proyektor,
hingga lampu sorot yang dialihfungsikan menjadi sumber pencahayaan saat syuting
film. Di sepanjang dinding pengunjung juga dapat melihat lukisan-lukisan cat
minyak yang merupakan hasil replikasi poster-poster film Indonesia.
Lukisan-lukisan ini dibuat oleh seniman dan pengerajin poster film yang dulu
ramai menghiasi Billboard promosi bioskop sebelum digantikan oleh fasilitas
photo-printing skala besar yang umum dipakai saat ini. Poster dari film-film
lawas seperti November 1828, Perkawinan, Doea Tandamata, hingga film-film
modern seperti Gending Sriwijaya.
Di
kantor Sinematek pengunjung juga dapat menyaksikan langsung koleksi film-film
kebanggaan Indonesia yang berhasil dikumpulkan oleh Pusat Perfilman. Pengunjung
dapat memilih dari ratusan, bahkan ribuan, judul film karya anak bangsa dari
berbagai masa dan lalu menontonnya di ruangan khusus menyerupai teater bioskop
berukuran mini lengkap dengan proyektor dan bangku-bangku penonton tanpa
dipungut biaya, alias gratis.
Selain itu, di lantai 5 terdapat perpustakaan
yang juga merupakan bagian dari Sinematek Indonesia. Sebelum masuk ke dalam,
pengunjung bakal ‘disambut’ dengan infografik perkembangan produksi film dan
bioskop Indonesia dari tahun ke tahun yang terpajang di dinding. Pengunjung
juga dapat berfoto dengan Cardboard
Cutouts dari tokoh-tokoh perfilman Indonesia termasuk diantaranya Usmar
Ismail dan Misbach Yusa Biran.
Di
perpustakaan pengunjung dapat menemukan berbagai macam buku referensi film dan televisi;
mulai dari buku tentang proses produksi film, sejarah film dunia, biografi
aktor-aktor ternama, hingga buku artbook film animasi. Tidak hanya buku,
Perpustakaan Sinematek juga memiliki arsip berupa kumpulan artikel/ kliping
berita film, katalog film, hingga naskah skenario film dan sinetron Indonesia
dari berbagai masa. Material ini dapat dibaca di tempat secara gratis maupun
difotokopi untuk keperluan riset atau pembelajaran.
Perpustakaan
Sinematek juga menjadi tempat penyimpanan benda-benda penting dan bersejarah
seperti kamera film lawas, proyektor, meja untuk mengedit rol film, hingga
koleksi piala penghargaan film Indonesia, termasuk piala Citra. Pengunjung
dipersilahkan untuk menyentuh atau berfoto dengan benda-benda koleksi ini.
Di
lantai yang sama juga terdapat Citra Film School (CFS), pusat edukasi bagi
sineas muda atau orang-orang yang tertarik untuk berkecimpung di industri
perfilman nasional. CFS, yang sebelumnya dikenal sebagai KPU Sinematografi
Plus, berdiri sejak tahun 1978. CFS telah menyelenggarakan berbagai program
pembelajaran dan kursus film. Hingga tahun 2016, CFS telah memiliki 500
angkatan dengan 7000 alumni tersebar di berbagai bidang. Beberapa alumninya
yang terkenal termasuk diantaranya Slamet Rahardjo dan pelawak Komeng.
Saat
ini CFS memiliki dua program unggulan yang ditawarkan, yaitu Kursus Film
Singkat yang berlangsung selama 3-4 minggu, dan Kursus Film Profesional yang
berlangsung selama 6 bulan. Di kelas-kelas tersebut peserta akan diajarkan
berbagai macam hal, mulai dari: penulisan skenario, tata kamera dan suara,
editing, hingga penyutradaraan dan manajemen produksi. Tidak ada persyaratan
khusus bagi peserta yang ingin mendaftar.
Seperti
yang sudah disinggung sebelumnya, Sinematek Indonesia juga memiliki ruangan khusus
atau laboratorium untuk menyimpan dan merawat atau mempreservasi rol-rol film,
umumnya berupa Celluloid, yang terletak di lantai basement. Di sini, rol
film-film lawas disimpan dalam ruangan bertemperatur khusus untuk menghindari
kerusakan dan cacat. Rol film juga diperiksa secara berkala untuk menjaga
kualitasnya, hingga dibersihkan atau diperbaiki dari sejumlah kerusakan atau
material yang dapat mengganggu seperti jamur, lecet, debu, dan lain-lain.
Sayangnya,
perawatan semacam ini memerlukan biaya yang tidak sedikit. Sinematek dan Pusat
Perfilman sebagai organisasi nirlaba tidak lagi diizinkan meminta pendanaan
dari pemerintah atau mencari bantuan dana dari pihak luar atau asing. Kini,
preservasi film Indonesia terancam keberlangsungannya akibat kekurangan dana
operasional. Tidak hanya preservasi, kondisi perkantoran Pusat Perfilman H.
Usmar Ismail juga kurang terawat, tidak memadai dan berada di bawah standar
modern badan usaha akibat pendanaan yang minim. Benteng terakhir pelestarian
film Indonesia harus bertahan di tengah-tengah kondisi yang memprihatinkan.
Komentar
Posting Komentar