Aisyah Biarkan Kami Bersaudara - Sebuah Ulasan
Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara
Dir. Herwin Novianto
Apa
jadinya ketika seorang muslimah asli Jawa harus hidup di tengah-tengah
masyarakat adat Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mayoritas beragama Kristen
Katholik? Yang pasti bukannya memicu perdebatan panjang tentang krisis
identitas atau perbedaan agama, melainkan lebih mendekati sebuah cerminan
terhadap tren film-film ras ala Hollywood, khususnya tentang warga kulit hitam,
yang menampilkan figur “White Savior”
di dalam bingkai ceritanya.
Aisyah,
di permukaan, menampilkan potret kehidupan seorang aktivis – guru muda – yang
menerima tugas berat mengajar di daerah terpencil dan dapat digambarkan serba
kekurangan dalam segala aspek, serta adanya hambatan psikis berupa kepercayaan
yang dianut masyarakatnya. Namun begitu ditelaah lebih dalam, maka Aisyah juga
menjadi gambaran bagaimana stereotipikal yang seringkali ditemukan penonton
dalam film-film seperti Green Book; The Help; dan Dangerous Minds, yang juga
bercerita tentang upaya guru wanita mengajar di sebuah kelas berbeda latar
belakang ras dan kepercayaan; yaitu keberadaan figur White Savior (secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai
“Penyelamat berkulit putih”) juga dapat diterapkan dalam film produksi anak
bangsa, entah disadari ataupun tidak.
Dalam
film, masyarakat adat NTT tempat Aisyah mengajar digambarkan hidup dalam
keterbatasan. Mereka tidak memiliki jaringan listrik, infrastruktur jalan,
bahkan air bersih pun sangat sulit didapat. Namun, mereka tidak lantas berkecil
hati. Warga sangat ramah dan dapat langsung akrab dengan pendatang, serta
memiliki inisiatif kuat untuk mengirim anak-anak mereka belajar di sekolah
rintisan. Pengecualian untuk salah satu anak yang menjadi sumber konflik film
ini. Setelah Aisyah datang, bukan hanya peserta didiknya yang mengalami
perubahan menjadi lebih baik, namun orangtua dan warga desa juga ‘terbantu’
setelah Aisyah menyarankan menjual produk kerajinan tangan ke pasar atau bahkan
menginisiasi pembangunan penyaring air bersih skala besar saat musim kemarau
parah melanda. Aisyah telah memenuhi fungsinya sebagai White Savior yang datang ‘menyelamatkan’ kelompok mayoritas dari
problematika yang tidak dapat mereka pecahkan sendiri,
Terlepas
dari ciri ‘White Savior’ dan motivasi awal Aisyah mengajar di NTT, film ini
mampu dengan baik menyampaikan pesan persatuan antara umat beragama yang
terkadang dapat menjadi topik atau isu sensitif di negeri ini. Film ini tidak
mencoba menitikberatkan pada aspek politik atau perang ideologi, melainkan
secara bijak dan hati-hati mengemas sebuah cerita manis nan sederhana yang
dapat dinikmati oleh keluarga dan anak-anak tanpa harus berpikir terlalu
serius.
Bila
pada akhirnya harus memilih bagian terlemah dalam film ini, maka resolusi dari
konflik utama yang hanya dijelaskan melalui beberapa baris dialog dan
terselesaikan dengan sendirinya menjadi hal yang paling mengecewakan. Seolah
penulis skenario berusaha mengikat semua plot yang masih menggantung sebelum
musik penutup film terdengar di telinga penonton.
Komentar
Posting Komentar