Mesiu dan Darah (Bagian 1)

Berikut adalah cerita pendek (cerpen) yang pernah saya tulis antara tahun 2016-2017. Tulisan ini merefleksikan sejauh mana kualitas dan kemampuan saya merangkai kisah pada periode-periode ini. Banyak kekurangan dan kesalahan penulisan yang mungkin terkesan memalukan atau malah belum mencapai standar saya sekarang (saya menulis pembukaan ini di tahun 2020). Tapi, hasrat untuk membagikan hasil tulisan ini lebih besar ketimbang rasa malu dan ketakutan saya.

Demikian sedikit kata-kata pembuka dari saya selaku penulis. Semoga anda dapat menikmatinya. 





-        Perang Korea/ 1951 –
Dari balik bukit yang kini hitam legam, terbakar oleh serangan meriam dan percikan api yang keluar dari senapan serta peledak sederhana, terlihat bayang-bayang sesosok makhluk merayap perlahan, sesekali terhenti, kemudian kembali merayap perlahan lagi. Jika diamati lebih seksama bayang-bayang itu akan tampak bergerak dari satu mayat ke mayat lain yang telah hangus terbakar dan kini hanya menyisakan onggokan daging yang dibiarkan terkapar begitu saja di puncak bukit. Lee hanya dapat diam terpana menyaksikan pemandangan di depannya.
“Apaan....”, Lee bergumam.
Dengan hati-hati Lee bergerak mendekati bayangan aneh tersebut. Sembari menggenggam sebuah senapan laras panjang di kedua tangannya, prajurit berpangkat 2 itu berjalan dengan sigap layaknya seorang tentara pada umumnya, bersiap menanti momen kejutan saat makhluk itu melompat di depannya dan dengan sekali tembakan dari moncong senapannya Lee bakal menjatuhkan makhluk yang diharapnya hanya merupakan seekor beruang atau harimau yang tersesat.
Sesampainya di puncak bukit, Lee kini telah berada persis di belakang makhluk yang dari tadi diamatinya dari kejauhan. Jarak keduanya kini mungkin hanya 2-3 meter saja, Lee tidak ingin mengambil resiko. Diacungkannya senjata yang sedari tadi digenggamnya dengan erat. Mata Lee fokus ke bagian kepala makhluk itu yang masih tertutup asap sisa pembakaran lahan perbukitan. Angin perlahan bertiup. Asap yang menyembunyikan sosok makhluk itu mulai pudar dan menghilang. Dari balik asap yang menghilang Lee menyaksikan sesosok gadis manis dengan rambut merah panjang dibiarkan tergerai hingga ujungnya menyentuh tanah, yang dipadukan dengan gaun hijau-hitam yang melekat di badannya hingga memebri kesan anggun namun terlihat tua untuk gadis seumurannya, keluar dari balik kepulan asap. Sayang Lee tidak dapat mengamati dengan jelas wajah gadis cantik tersebut, hanya sekilas. Gadis itu nampak sangat berfokus pada ‘urusannya’ dengan mayat di hadapannya. Dengan mengumpulkan segenap keberaniannya, Lee memanggil gadis muda itu.
“Hei!! Kau!! Gadis muda, siapa kau dan dari mana asalmu? Tidak seharusnya orang semacammu berada di tengah medan perang”, pertanyaan yang keluar dari mulut Lee sedikit terbata-bata namun jelas maksudnya.
Gadis yang dipanggil nampaknya kaget karena kini dirinya mendadak diam membisu. Bila tadi sang gadis sibuk ‘mengurusi’ mayat-mayat tersebut, kini tidak lagi. Yang ada hanya diam. Dia tidak langsung menoleh begitu Lee memanggilnya dari belakang. Namun Lee dapat melihat salah satu tangannya diam-diam bergerak mencoba meraih sesuatu dari kantung gaunnya, mungkin sebuah senjata tersembunyi.
“Tangan di atas kepala. Jangan coba-coba melawan. Berdiri perlahan dan menghadap kemari. Kalau kulihat kau mencoba membuat gerakan mencurigakan, aku tak akan segan menyarangkan timah panas ini ke kepalamu. Bergerak, Sekarang!!” Perintah Lee tegas.
Sang gadis melaksanakan perintah Lee. Dia masih diam. Kedua tangannya diangkat tinggi ke angkasa, perlahan tapi pasti gadis tersebut berdiri sembari memutar badan. Kini keduanya bertatap muka.
“Uggh....!!”, Betapa terkejutnya Lee. Wajah gadis itu sangat ayu – mungkin umurnya masih belasan hingga sekitar 20 tahun - masih sangat muda. Tatapan matanya tajam ibarat seekor binatang buas yang tengah mengincar mangsa yang berada di depannya.
Pemandangan yang lebih mengejutkan lagi adalah apa yang terdapat di kedua tangan dan mulut gadis muda tersebut. Darah bercucuran dari kedua telapak tangannya yang diangkat ke atas kepala. Warnanya merah kehitaman dan masih sangat segar, dapat diperhatikan dari beberapa tetes darah yang dengan cepat mulai membasahi lengan dan siku serta rambut merah sang gadis. Warna darah yang gelap menciptakan kontras ketika jatuh dan mendarat di rambutnya. Aliran darah tersebut mulai mengering hingga meninggalkan jejak layaknya bekas air hujan yang membasahi tubuh. Mulut sang gadis juga bersimbah darah. Lipstik yang menempel di bibirnya kini tidak terlihat lagi akibat tertutupi oleh becak yang ditinggalkan darah merah. Kini jelaslah apa yang dilihat oleh Lee tadi di kejauhan. Bayangan hewan yang bergerak bolak-balik dari satu mayat ke mayat lain di puncak bukit adalah sang gadis muda yang sedang ‘menggeledah’ tubuh mayat-mayat tentara tersebut. Sayangnya ‘menggeledah’ yang dimaksud bukan bertujuan mencuri barang-barang berharga yang mungkin masih tersimpan di saku baju yang belum terbakar, namun – entah bisa dipercaya atau tidak – dia sedang memakan mayat-mayat tersebut. Sekujur tubuh Lee mendadak gemetar. Lee menelan ludahnya karena gugup.
Jadi, apa selanjutnya?”, suara selembut angin musim semi keluar dari mulut yang masih bersimbah darah. Gadis muda tersebut bertanya pada Lee, membuatnya lupa sesaat terhadap ketakutannya barusan. Lee memandang mata gadis muda itu. Tatapan gadis itu masih sama, tajam mengincar mangsa yang berdiri di hadapannya. Tapi hal lain ditangkap Lee dari mata sang gadis. Matanya jernih, tidak ada rasa takut sedikit pun terpancar dari kedua mata biru sebening kristal tersebut. Lee mengumpulkan segenap keberaniannya dan kembali bertanya.
“Hmm....Baru pertama kalinya kulihat gadis muda yang ternyata seorang kanibal, pemakan manusia. Siapa kau? Ternyata boleh juga orang selatan yah, sampai bisa menghadirkan pelacur dari eropa segala. Dari mana asalmu? Inggris? Itali?? Atau Jerman mungkin? Ohh, atau Amerika?? Kau pasti salah satu ‘barang dagangan’ di rumah bordil pangkalan militer orang selatan. Aku jadi penasaran apakah ada orang di sana yang tahu kalau salah satu pemuas nafsu mereka mungkin bakal memakan ‘tuan’nya. Sesuai rumor, selera orang selatan memang aneh.”, ada nada mengejek dari suara Lee.
“Namaku Ascott Valerie Winstead, dan aku bukan pelacur seperti tuduhan liarmu itu, manusia rendahan!! Aku memiliki derajat yang lebih tinggi ketimbang dirimu atau orang manapun dalam perang ini.”, Gadis itu membalas. Nampaknya dia terpancing oleh ejekan Lee.
“Ohh...Ascott, berarti orang eropa kan? Inggris yah?? Jadi, apa yang dilakukan ‘kupu-kupu malam’....ahh maaf, ‘putri bangsawan’ sepertimu di medan perang, memakan daging manusia yang terbakar dan membusuk di tempat sperti ini? Jangan harap aku percaya bualanmu, kanibal....ahh maaf lagi, Tuan puteri Ascott.” Sindir Lee lagi. Otaknya masih mencoba memahami peristiwa yang tersibak di hadapannya kini. Terlalu banyak informasi yang harus diprosesnya, sebagian diantaranya mungkin hanya berupa bualan sang gadis yang mengaku sebagai orang ‘berderajat tinggi’.
“Perlu kupertegas bahwa ‘derajat yang lebih tinggi’ bukan berarti aku seorang bangsawan atau orang yang sebangsa denganmu. Maksudku adalah aku merupakan perwujudan makhluk yang lebih tinggi kedudukannya daripada dirimu dan seluruh umat manusia. Aku adalah Ascott Valerie Winstead, vampir terhormat dari Bohemia yang telah hidup lebih dari 1 milenia. Camkan itu dalam otak primatamu, bocah!!”
Apa? Vampir? 1000 tahun? Apa yang gadis ini bicarakan? Segala informasi baru yang diterimanya malah semakin tidak masuk akal dan membingungkan bagi Lee. Mungkin gadis ini memang gila. Lagipula, orang waras macam apa yang mau memakan daging mayat? Kalau bukan kanibal lalu apa lagi?
“Ngomong-ngomong, apa yang dilakukan parajurit sepertimu di sini? Bukankah seluruh prajurit rendah seharusnya berada di garis terdepan medan perang. Tidak seharusnya berkeliaran di halaman belakang.” Ascott meneruskan ucapannya. Lee masih terdiam.
Lee mencoba menghubungkan seluruh ucapan Ascott dengan fakta yang diketahuinya. Vampir hanya dongeng, pertanyaannya adalah apakah gadis berambut merah ini memang sudah gila karena memakan daging manusia atau karena terpengaruh secara psikologis oleh perang yang telah lama berkecamuk dan nampaknya tidak berkesudahan ini. Lalu bagaimana dia tahu kalau seluruh prajurit kini tengah berperang di garis terdepan? Mungkin gadis kanibal ini tidak sepenuhnya gila. Tunggu, kanibal? Bukankah dia tadi sedang ‘memakan’ daging mayat-mayat ini? tapi katanya dia vampir, berarti dia bukan ‘memakan’ melainkan ‘meminum’ darah mayat. Lee melihat ke belakang pundak Ascott. Mayat yang seharusnya sedang ‘dimakan’ ternyata masih sangat utuh namun pada bagian leher mayat ada beberapa luka dan cabikan yang tidak terlalu besar dan masih mengeluarkan darah segar. Lee kembali menoleh ke Ascott. Diperhatikannya baik-baik mulut Ascott yang masih bersimbah darah namun kini telah mengering sepenuhnya. Darah di mulutnya bukan berasal dari luka pada dirinya sendiri. kemungkinan besar darah ini memang berasal dari mayat. Lee dapat melihat sekilas sepasang gigi taring tersembunyi di balik bibirnya. Gigi taring ini agak lebih panjang dibandingkan ukuran gigi taring manusia pada umumnya. Mungkin ucapannya benar, mungkin gadis yang berdiri di hadapannya kini memang seorang vampir dan bukan bagian dari dongeng. Lee telah melihat banyak hal aneh dan menakjubkan sepanjang jalannya perang, mulai dari yang sangat memalukan hingga yang ghaib. Kini dia tidak heran kalau Ascott ternyata memang seorang vampir. Tapi, masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang belum terjawab.
Belum selesai Lee memikirkan lebih dalam tiap kemungkinan yang ada, pertanyaan Ascott kembali menyadarkannya.
“Jangan-jangan...kau sedang melarikan diri dari medan perang yah? Takut? Hmm. Bocah, ke mana kau mau kabur? Aku akan ikut denganmu.” Ascott memberi tawaran pada Lee. Senyuman kecil terlihat di wajahnya yang tertutupi darah kering.
“Hah?!”, pikiran Lee teralihkan. Apa maksud vampir ini? Aku tidak salah dengar kan, ucap Lee dalam hati.
“Jadi kemana kita akan pergi? Kau pasti sudah memiliki rencana, yah kan? Kuda? Kereta? Atau kapal?”, Ascott tidak berhenti berbicara.
“Ho...ohh...wow!! Tahan mulutmu itu, nona. Siapa yang bilang aku hendak melarikan diri? Dan kenapa kau harus ikut denganku, hah? Kau pikir aku bakal mengizinkan vampir spertimu ikut bersamaku.”, Lee bersiap menarik pelatuk senapannya.
“Ohh. Jadi kau mulai percaya aku ini vampir. Bagus, setidaknya aku tidak perlu lagi mencoba meyakinkanmu dengan menggigit lehermu itu. Untuk alasan kenapa aku bisa tahu kau sedang melarikan diri adalah menilai dari bajumu kau pasti berasal dari pasukan darat korea dan pasukan itu sekarang sedang dalam perjalanan untuk menekan garis pertahanan musuh yang jarakanya 4 hari berjalan kaki dari sini. Jadi kemungkinannya kau terpisah dari pasukan utama dan tersesat hingga kemari atau kau sedang mencoba berjalan menuju kota terdekat yang berjarak hanya 2 hari dari sini di arah sebaliknya yang kebetulan memiliki fasilitas trasnportasi jarah jauh berupa stasiun kereta dan pelabuhan.”
Dedukasi Ascott sepenuhnya benar. Lee merasa heran sekaligus takjub terhadap wanita yang dengan beraninya menyatakan diri sebagai vampir ini. Ada satu hal yang sedari barusan mengganggu Lee. Dia memutuskan bertanya langsung.
“Oke. Mungkin kau benar, sebagian. Tapi ada yang tidak masuk akal. Kalau memang kau seorang vampir, lalu kenapa kau ingin ikut denganku? Kenapa kau tidak langsung membunuh dan menghisap darahku kemudian terbang layaknya kelelawar ke kota dan menghisap lebih banyak darah manusia di sana. Apa tujuanmu? Jangan-jangan kau ingin kabur juga. Vampir spertimu harusnya bisa menghabisi seluruh pasukan, malah mungkin satu negara. Ya kan, monster?”, Lee menggertak. Dia ingin mengetes Ascott untuk terakhir kalinya, sekedar memastikan kalau ini bukanlah sebuah jebakan. Kalau Ascott terpicu oleh gertakan tadi maka senapan di tangan Lee siap menghabisi vampir sekalipun. Hanya perlu menunggu momen yang tepat saja.
“Huuhh...”, Ascott mengeluh.
“Kalau aku memang ingin membunuhmu, tentunya sudah kulakukan dari tadi. Senapan semacam itu tidak akan mempan terhadapku.”, Ascott menunjuk senapan laras panjang Lee yang semenjak awal sudah siap memuntahkan peluru panas ke arah Ascott. “Aku membiarkanmu hidup karena, yah, aku memang ingin segera pergi jauh dari sini. Aku sudah muak dengan perang kalian, anak manusia.”, Lanjutnya. “Bahkan kelelawar saja tidak bisa terbang jauh melintasi laut atau pegunungan.”
Jawaban Ascott mengejutkan Lee. Bukan akibat jawabannya yang terang-terangan dan lugas. Namun, entah bagaimana alasan yang sama juga tengah berkecamuk dalam batin prajurit muda ini.
“Keuntungannya bila aku ikut denganmu adalah: 1. Aku bisa membantumu menghabisi musuh bila nanti kita menghadapi rintangan yang sulit ditembus. Satu vampir lebih baik daripada satu batalion bersenjata, ya kan?, 2. Kau merupakan tentara yang melarikan dari dari medan perang. Kalau kau ingin menggunakan transportasi seperti kapal atau kereta untuk kabur sedangkan saat ini fasilitas semacam itu sedang dikendalikan oleh militer maka kau memerlukan alasan yang bagus untuk’menumpang’. Apa yang lebih bagus ketimbang fakta bahwa kau sedang membawa tawanan perang penting yang memiliki info rahasia terkait keberadaan musuh? Terlebih bila tawanan yang dimaksud merupakan wanita yang sangat cantik, 3. Bila kita berhasil kabur dari negara ini katu tentunya bakal memerlukan cukup uang untuk bertahan hidup. Aku kenal beberapa orang di luar sana yang bakal bersedia membantu, dan tentunya, aku akan memberi imbalan yang pantas atas semua jasamu. Bagaimana? Menarik bukan?”
Tawaran tersebut memang menarik. Seperti yang dikatakannya, Lee tidak bisa melarikan diri dengan metode biasa. Setelah menimang-nimang semua opsi yang ada, akhirnya Lee membuka mulut.
 “Atau, kau bisa menjual tubuhmu untuk memuaskan para tentara yang bakal kita temui di kota nanti. Dari situ mungkin kau bisa membeli tiket untuk kita berdua.”
“Ohh, mulutmu pedas juga rupanya, bocah. Jadi, apa kau setuju?”, sebelah alis Ascott naik sedikit. Dia tersinggung tapi tetap menjaga emosinya terkendali.
“Baiklah. Aku rasa walaupun aku menolak kau pasti akan membunuhku kan? Aku lebih memilih tetap hidup.” Lee akhirnya menurunkan senjatanya.
Ascott kembali tersenyum. Dia akhirnya menurunkan kedua tangannya setelah Lee tidak lagi mengacungkan senapan tersebut. Tangan kanan Ascott berusaha meraih sesuatu dari saku gaun hitamnya. Sebuah sapu tangan. Disekanya kedua tangan yang berlumuran darah tadi dengan sapu tangan kemudian diulurkannya tangan kanan yang sudah bersih ke arah Lee.
“Aku belum tahu namamu.”, ujar Ascott dengan nada suara yang bersahabat.
“Panggil saja Lee. Salam kenal, Ascott.”, Lee menjabat tangan Ascott. Sang prajurit akhirnya tersenyum.
“Mohon bantuannya, Lee. Dan jangan coba-coba mati sebelum kita berhasil keluar dari sini, oke?”
“Hah, aneh. Harusnya aku yang bilang begitu. Tapi kau vampir....Ahh, sudahlah.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persidangan Meja Makan - Pengalaman Membuat Film Pendek

Dilema Pelukis Bernama “Kecerdasan Buatan”

PORTOFOLIO DESAIN GRAFIS