Mesiu dan Darah (Bagian 2)
Jalan menuju kota lumayan
jauh meski hanya memakan waktu dua hari berjalan kaki. Lee dan Ascott harus berjalan
melewati perbukitan berbatu dan hutan untuk mencapai tujuan mereka. Lee
berjalan di depan, matanya siaga melihat keadaan sekitar. Ascott mengikutinya
dari belakang. Langkah mereka berdua beriringan. 5 menit. 10 menit. 30 menit.
Sejam telah berlalu. Kedunanya hanya diam saja meniti jalan yang bakal
mengantar mereka ke pelarian. Ascott nampak tidak suka dengan suasana yang
canggung ini.
“Hei...Hei...Lee. Jadi kau berasal dari pihak mana? Sekutu atau Utara?”, tanya Ascott.
“Hei...Hei...Lee. Jadi kau berasal dari pihak mana? Sekutu atau Utara?”, tanya Ascott.
“Utara”,
jawab Lee, singkat. “Bukankah seharusnya kau
sudah tahu aku berada di pihak siapa dari baju yang kukenakan? Ahh, lupakan.”
“Kenapa
kau mencoba kabur? Apa kau takut terhadap sesuatu di medan perang? Mungkin
kematian? Well, karena sekarang kau tengah menemani vampir melarikan driri dari
medan perang maka aku beranggapan bahwa kau mungkin bukan tipe manusia yang
takut terbunuh.”, tanya Ascott lagi.
“Sama
sepertimu”, jawab Lee.
“Hmm?!”
“Seperti
katamu tadi, aku juga sudah muak melihat perang semacam ini. Baru beberapa
tahun perang di Asia Pasifik berakhir, sudah muncul perang baru. Seharusnya
kami merdeka dan bersatu-padu sebagai satu bangsa, tapi orang-orang asing malah
menghasut saudara-saudara kami dan menjadikan mereka musuh yang membangkang
terhdapa tanah airnya sendiri. Inilah akibatnya kalau kita terlalu membuka diri
ke dunia luar. Bisa-bisa bangsa ini bakal berakhir sama dengan para pemuja
matahari terbit.”
“Kurasa
Stalin dan Mao juga melakukan hal yang sama kepada kalian. Mereka menghasut
kalian untuk ‘merebut kembali’ tanah air kalian, melawan saudara sebangsa
melalui peperangan. Padahal seharusnya jikalau mereka memang benar, mereka
bakal mengajarkan kalian, orang utara, untuk duduk bersama dengan seluruh
pihak, berbicara, bermusyawarah, dan bersama mencari jalan damai serta
mengatasi masalah perbedaan ideologi.”
“Mungkin
kau benar. Mungkin mereka dan kami semua memang salah. Perang merupakan cara
yang sudah teralu kuno untuk membereskan masalah semacam ini.”
Lee menoleh sejenak. Tatapan matanya bertemu dengan mata biru Ascott. Lee mulai
menyadari kalau Ascott mungkin merupakan wanita tercantik dan paling anggun
yang pernah ditemui seumur hidupnya. Mata biru, rambut merah sepanjang mata
kaki, dipadukan dengan wajah secantik Geisha dari Jepang dan gaun brawrna hijau
berpadu hitam ala era Edwardian yang dikenakannya menjadikan Ascott bak dewi
dalam lukisan Italia yang hidup dan bergerak. Gaya bicara dan sifatnya yang
ternyata sangat lembut menjadikannya serupa wanita ideal bagi banyak pria.
Ascott tersenyum begitu
menyadari tatapan Lee. Lee segera memalingkan mukanya tanpa membalas senyuman
Ascott.
“Kenapa
kau tersenyum terus? Ada yang lucu?”, tanya Lee. Matanya
tetap lurus ke jalan di depannya.
“Tidak.
Aku hanya ingin mengakrabkan diri saja. Kau tahu kan istilah ‘Senyum mampu
mencairkan suasana’. Kenapa? Kau merasa terganggu?”,
Ascott berjalan lebih cepat. Kini dia telah berada persis di sebalah Lee. Tanpa
perlu menoleh lagi, Lee Tahu kalau Ascott sedangan memandangi wjahnya sembari
tersenyum, lagi.
“Monster
sepertimu mencoba tersenyum? Hal teraneh yang kudengar seharian ini.”,
Lee tertawa kecil.
Ascott mendadak cemberut.
Disilangkannya kedua tangannya di depan dada. Tentunya sang vampir kesal dengan
ucapan-ucapan Lee yang penuh sarkasme. Tapi setidaknya dia tidak benar-benar
marah. Lee bisa saja mati jika sang vampir terbutakan oleh amarah.
Dari kejauhan terdengar
suara mesin bermotor memecah langit sore. Arahnya berasal dari belakang mereka.
Lee segera menarik lengan Ascott dan menggiringnya ke bebatuan terdekat.
Keduanya sefera tiarap, mencoba bersembunyi dari suara tadi. Secepat kilat 3
pesawat tempur milik sekutu terbang melintas. Pesawat-pesawat itu terbang
rendah melewati bukit berbatu. Nampaknya mereka belum menyadari keberadaan
pasangan yang kini tengah bersembunyi di balik salah satu bebatuan tersebut.
“Mereka
sudah pergi?”, Ascott bertanya. Posisinya berada di
bawah, berbaring di bebatuan.
“Nampaknya
sudah.”, Lee menjawab dengan tersengal-sengal. Dia
menoleh ke atas untuk memastikan keadaan, kemudian menatap Ascott. Posisi Lee
berada tepat di Ascott. Dia menindih sang vampir yang masih berbaring di
bawahnya. Kini wajah mereka terlalu dekat.
“Jadi
begini cara lelaki Utara memperlakukan wanita. Berani juga.”,
Ascott menggoda Lee. Dia ingin melihat prajurit muda itu tersipu malu, sekedar
iseng saja.
“Wanita? Kau yakin? Bukan pelacur atau monster?”, Lee segera
bergeser dari atas tubuh Ascott. “Ayo,
lebih baik kita segera melanjutkan perjalanan. Mungkin akan sedikit berbahaya
karena sekarang sudah hampir malam, tapi lebih baik kita berjalan menembus
hutan ketimbang berjalan di tanah terbuka dimana kita bisa jadi sasaran empuk
bagi pesawat tempur.”
“Tidak
seru.”, imbuh Ascott.
Keduanya kembali melanjutkan
perjalanan. Kali ini mereka berjalan memasuki htuan. Benar saja, hari sudah berganti
menjadi malam. Bagi sebagian orang mungkin berjalan kaki di dalam hutan saat
malam hari merupakan hal yang sangat berbahaya, tapi tidak bagi Ascott.
Semenjak mereka menginjakkan kaki di dalam hutan Ascott tidak dapat berhenti
menggoda Lee. Sang vampir terus bertanya berbagai macam hal, khususnya yang
berkaitan dengan pribadi Lee. Lee sendiri hanya menjawab singkat tiap
pertanyaan yang diajukan Ascott. Dia tidak terlalu menggubris ajakan Ascott
untuk mengobrol lebi panjang atau membahas lebih dalam tentang dirinya.
“Krakk..Srett.”
Telinga Ascott mendengar
sesuatu yang tidak biasa dari sisi kanan mereka. Dengan hati-hati dia memanggil
Lee.
“Hei....Lee! Nampaknya ada yang mengikuti kita.”, bisik Ascott.
Lee berhenti sejenak.
Diamatinya keadaan sekeliling. Mereka kini telah jauh di dalam hutan. Cahaya
sulit masuk ke kawasan tersebut karena terhalang oleh rimbunnya pepohonan. Tapi
tanpa perlu mencari tahu sekalipun, Lee yakin waktu saat ini telah hampir mendekati
tengah malam. Mereka sudah cukup capek berjalan dan hal yang terakhir yang
ingin dialami Lee adalah bertemu hewan pemangsa yang mengincar manusia yang
kelelahan di dalam hutan.
Diraihnya senapan yang
sedari tadi hanya dikalungkan di pundaknya. Lee mengambil posisi, bersiap
menembak. Dari balik semak-semak di sisi kanan mereka terdengar suara ranting
patah dan daun-daun bergesekkan.
“Kau
bisa melihat apa yang bersembunyi di balik semak-semak di sana?”,
Lee membidik ke arah suara tadi berasal.
“Mungkin
hewan liar. Aku tidak yakin hewan apa, tapi yang pasti jumlahnya lebih dari
satu.”, Ascott berdiri sigap di belakang Lee.
Direntangkan kedua tangannya ke samping, bersiap mengambil ancang-ancang
menyerang.
“Mungkin?
Apa kau menggunakan insting? Semakin lama kau semakin mirip hewan juga.”,
Lee berusaha menenangkan dirinya sendiri. Dia terlalu gugup.
“Heh,
lucu sekali.”, Ascott menjawab dengan nada datar.
“Baiklah.
Bersiap kalau begitu.”
Tanpa menunggu aba-aba, 2 ekor harimau
melompat dari dalam semak-semak. Suara letusan senapan terdengar nyaring
diikuti rintihan salah satu harimau. Lee berhasil menembak harimau tersebut
tepat di jantungnya saat makhluk buas itu mencoba menerkam Lee dari atas dengan
cara melompat. Satu harimau lagi mencoba menyerang Lee dari samping, untungnya
Ascott dengan sigap melompat ke depan dan memukul harimau itu tepat di
rahangnya. Harimau tersebut langsung terlempar cukup jauh.
Lee bergegas mengisi
senapannya dengan amunisi baru. Dari samping terdengar suara Ascott memberi
arahan. “Biar aku hadapi yang satu ini!
Kau bersiap tembak yang masih hidup!”
Segera sang vampir berambut
merah menerjang harimau yang sudah patah rahangnya. Harimau itu bukan tandingan
Ascott. Kaki depannya berusaha mencakar vampir satu ini, tapi apa daya, Ascott
telah lebih dulu memotong kedua kaki depan harimau dengan jemarinya. Yang
selanjutnya terjadi bagaikan sebuah film horror. Dengan memakai jemari yang
masih bersimbah darah akibat memotong urat kaki depan harimau, Ascott meraih
leher dan kepala harimau tersebut lalu dengan sekuat tenaga membalik badannya.
Setelah berhasil, Ascott langsung merobek dada harimau yang tak terlindungi.
Darah bermuncratan ke segala arah seiring Ascott menggigit jantung yang masih
berdetak dan menariknya keluar menggunakan taringnya. Lee hanya bisa terpana
menyaksikan pemandangan langka itu.
Tapi terjadi keganjilan.
Segera setelah merobek jantung dan memuntahkannya kembali, tubuh vampir wanita
itu mendadak gemetar. Wajahnya memerah. Tingkahnya seperti orang mabuk. Aneh,
pikir Lee. Merasa khawatir, Lee mencoba mendekat. Baru satu langkah diambilnya,
tiba-tiba dari belakang seekor harimau yang mungkin semenjak tadi terus
bersembunyi di semak-semak menanti momen yang tepat untuk keluar dan menerkam
mereka berdua. Kelengahan yang ditunjukkan Lee dan Ascott menjadi tanda bagi
sang predator untuk menyerang.
Dalam waktu hanya
sepersekian detik, Lee menyadari keberadaan harimau yang melompat di
belakangnya. Lee harus bergerak cepat menghentikan harimau tersebut. Jarak
antara keduanya cukup jauh, tidak akan sempat baginya untuk menolong Ascott
terlebih dahulu. Hanya ada satu cara, dia harus menghabisi harimau ini sendiri.
Dengan refleks Lee berbalik badan. Diangkatnya senjata di tangannya. Tanap
membidik lagi,Lee langsung menembakkan senapannya. Peluru yang keluar dari
moncong senapan itu berhasil mengenai harimau di bagian yang tidak vital, namun
cukup untuk memukulnya mundur. Mengikuti momentum yang tercipta, Lee langsung
menerjang ke depan. Dengan memanfaatkan pisau bayonet yang terpasang di moncong
senapan, Lee tanpa ragu menyerang harimau yang masih terluka dan kebingungan
akibat terkena peluru tadi. Pisau bayonet ditusukkan berkali-kali ke
organ-organ vital harimau. Sang predator berubah menjadi mangsa. Binatang itu
hanya bisa merintih kesakitan. Dia mencoba mencakar-cakar udara, memberi
perlawanan yang sia-sia. Kemudian, yang tersisa hanya hening.
Semenit berlalu. Lee mencoba
mengatur kembali nafasnya. Dilihatnya kondisi Ascott. Vampir wanita kini
pingsan, terbaring di atas tanah. Tidak ada luka pada tubuhnya, namunya
wajahnya kian memerah. Nafasnya berat. Lee menempelkan tangannya ke dahi
Ascott. Panas. Nampaknya Ascott mengalami demam. Sebaiknya Lee segera mencari
tempat berlindung sembari mencari cara untuk menurunkan suhu badan Ascott.
Kalau mereka terus di situ, akan sangat mungkin bagi hewan pemangsa lain datang
menyerang.
Mata biru sebening kristal
itu terbuka. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah langit-langit yang sama
sekali tidak dikenalnya. Hiaju bercampur hitam dan bau-abu. Kombinasi yang
buruk, pikirnya. Secercah cahaya oranye memantul dari sudut kiri bawah
langit-langit. Ditolehkannya kepalanya ke arah sumber cahaya, namun raganya
menolak. Sekujur badannya terasa kaku. Sakit, pikirnya. Perlahan
indera-inderanya kembali berfungsi. Pendengaran, Penciuman, Pengecap, Peraba.
Dirasakannya sensasi dingin di dahinya. Agak sedikit basah, pikirnya lagi. Kali
ini giliran kekuatannya yang perlahan kembali. Otot-ototnya tidak lagi kaku.
Dengan menggunakan kekuatan yang sudah terkumpul, kini dia mencoba bangun dari
tidur yang sudah berjalan entah berapa lama.
“Hei,
jangan dipaksa. Lanjutlah tidur. Kita istirahat dulu malam ini. Besok pagi baru
kita lanjutkan lagi perjalanannya.”
Suara Lee terdengar dari
seberang api unggun. Cahaya oranye tadi rupanya adalah cahaya pai unggun kecil
yang dibakar di samping Ascott. Lee rupanya telah membopong vampir wanita itu
hingga ke lereng perbukitan yang berada di tengah hutan. Kini keduanya
berlindung di bawah jajaran batuan vulkanik yang menunjam mring menembus tanah
hingga membentuk semacam struktur segitiga menyerupai atap rumah lengkap dengan
langit-langitnya. Lee membaringkan badan Asoctt di slaah satu permukaan batuan
yang datar dan menyiapkan api unggun di sebelahnya.
“Maaf
aku tadi sedikit menggeladahmu saat kau pingsan. Tidak ada barang lain yang
dapat digunakan sebagai kompres.”, Lee menyinggung
saputangan Ascott yang sudah dibasahinya dengan air lalu dimanfaatkannya
sebagai kompres pendingin kepala.
“Tidak
apa-apa. Terima Kasih ya. Uggh.”, Ascott mencoba
duduk bersandar pada dinding batu yang ada di belakangnya. Kompres darurat yang
tadi menempel di dahinya kini jatuh ke pangkuannya. Ascott merapikan posisi
duduknya dan segera menempelakn lagi kompres yang masih setengah basah ke
kepalanya.
“Jadi,
apa aku cukup berat? Nampaknya kau banyak mengeluarkan keringat.”,
Ascott bertanya. Dia memperhatikan baju Lee agak sedikit basah dan ada
bulir-bulir air keringat mengalir di hidung serta leher prajurit muda itu.
“Kau
sudah cukup membuatku khawatir tadi, dan kini kau malah mencoba mengajak
bercanda lagi. Mungkin kau memang monster dalam artian yang berbeda.”,
Lee mengetuk-ngetuk kayu yang masih
terbakar guna menjaga nyala api unggunnya tidak mengecil.
“Hahaha.”,
Ascott tertawa geli. “Jadi aku memang
be....”
“Hei,
ascott. Kenapa kau bisa pingsan tadi, terlebih lagi sampai jatuh sakit, demam.
Bukankah seharusnya vampir tidak dapat merasa sakit kecuali bila ditusuk pasak.
Mereka abadi kan?”, Lee menginterupsi ucapan Ascott. Raut
mukanya serius.
Ascott terdiam sejenak.
Sedetik dia mengalihkan pandangannya kemudian kembali menatap Lee. Nampaknya
Ascott sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk disampaikan.
“Baiklah.
Mungkin ini saat yang tepat untuk menceritakan siapa aku sebenarnya.”,
Kali ini raut muka Ascott serius. Mungkin ini kedua kalinya Lee melihat Ascott
serius, pertama kali adalah saat keduanya baru bertemu di puncak bukit hitam.
Saat itu mereka berdua masih merupakan orang asing, dan mungkin musuh, jadi ada
aura kecurigaan yang muncul. Tapi kali ini berbeda.
“Aku
memang seorang vampir. Itu fakta. Aku meminum darah manusia seperti dalam
legenda dan dongeng yang mungkin kau pernah baca. Umurku...delapan
ratus...seribu...seribu dua rat....Ahh, aku sudah lupa. Kalau kau hidup
terlampau lama bahkan kau tak akan pernah lagi ingat berapa umurmu atau berapa
tahun yang sudah kau lalui. Hal yang seperti itu sudah tidak berguna lagi.
Terlalu merepotkan. Aku mulai menjadi vampir saat aku masih remaja. Penyebabnya
bukan karena digigit Drakula atau makhluk sebangsanya....Di tempatku berasal,
ratusan tahun yang lalu, ada sekelompok wanita yang terkenal karena memujua
setan. Mereka menjauhi agama, berpakaian serba tertutup. Kami kemudian menamai
mereka penyihir, skete sesat. Mereka...mereka menculikku saat seluruh desa
sedang tertidur. Mereka mencari gadis muda untuk dijadikan persembahan. Tangan
dan kakiku diikat. Aku berusaha berteriak meminta tolong, tapi sia-sia. Ketika
mereka sedang bersiap mengorbankanku di altar pemujaan mereka, aku mendengar
sebuah suara memanggil namaku. Jika kuingat lagi sekarang, suara yang yang
bagaikan suara ilahi itu mungkin suara termerdu yang pernah kudengar. Ketika
itu aku yakin itu adalah tuhan. Tapi bukan. Itu adalah suara iblis.”
Sampai detik ini Lee hanya
bisa tertegun mendengarkan kisah Ascott. Lee tidak ingin mempercayainya tapi
raut muka Ascott berkata lain.
“Suara
itu satu-satunya harapanku. Iblis itu menawarkan untuk membebaskanku. Aku yang
sangat ketakutan saat itu hanya bisa menerima saja ketika suara itu mulai mengambil
alih tubuhku dan memerintahkanku untuk menghabisi para penyihir sialan itu.
Setelah kesadaranku kembali, yang kulihat hanya merah darah. Seluruh penyhir,
para pemuja setan, telah tewas. Ketika kulihat kedua tanganku telah bersimbah
darah dan tangan kananku masih menggenggam kepala salah satu penyihir yang
kubunuh. Aku berdiri di tengah ruangan altar. Mayat orang-orang yang menculikku
terhampar tak bernyawa di sekelilingku. Mayat merah kering kehabisan darah.
Saat itu barulah aku menyadari bahwa iblis itu telah megubahku menjadi vampir.
Iblis itu memberiku kekuatan untuk melepaskan diri dari ikatan dan membantuku
mengalahkan musuh-musuhku. Tapi sebagai gantinya dia membuatku menghisap habis
darah mereka. Kupikir aku bakal jadi gila hari itu.”,
Lee menyadari tangan Ascott gemetar seiring dia
mengucapkan kalimat terakhir.
“Lari!
Aku lari sekuat tenaga. Aku ingin kembali ke keluargaku, tapi aku tahu aku tak
bisa. Aku mungkin bakal membunuh mereka. Aku yakin itu. Akan tiba saatnya aku
haus akan darah manusia. Ketika itu terjadi aku tidak mau keluargaku yang harus
menjadi korban. Jadi aku memutuskan melarikan diri. Aku terus lari hingga jauh
sekali, sampai akhirnya tibalah aku di sebuah medan perang. Aku tidak ingat
lagi perang apa itu, atau siapa yang bertikai. Sudah terlalu lama. Yang pasti,
perang itu baru mencapai puncaknya. Banyak korban berjatuhan dari kedua belah
pihak. Kebetulan saat itu aku telah mencapai batasku. Aku belum menghisap darah
manusia sejak pembantaian para penyihir, saat aku berubah menjadi vampir
seutuhnya. Saat kulihat darah segar yang bercucuran keluar dari mayat tentara
yang tumbang di medan perang, insting mulai mengambil alih. Pada hari itu,
kuhisap darah dari seluruh prajurit yang kehilangan nyawanya di medan perang.
Setelah selesai akhirnya dahagaku pun hilang. Lalu sebuah ide melintas dalam
pikiranku. Ide itu berubah menjadi sebuah sumpah. Sumpah yang tak pernah
kulepas hingga detik ini. Hari itu aku bersumpah untuk tidak meminum darah
manusia yang masih hidup. Aku hanya akan meminum darah dari mayat-mayat
prajurit dan pasukan yang gugur di medan perang, tidak lebih dan tidak kurang.
Itu sumpahku.”
Mata Ascott berkaca-kaca.
Lee mulai memahami lebih banyak tentang vampir yang duduk di hadapannya. Ascott
bukan sekedar monster seperti dalam dongeng-dongeng yang dikaitkan dengan
vampir. Ascott hanya korban dari akal jahat manusia yang mencoba untuk tetap
tegar meski dunia mungkin membencinya. Tragis memang. Tapi satu yang pasti,
hatinya terlampau baik untuk ukuran monster sekalipun.
“Selama
ratusan tahun aku bekelana. Mendatangi satu per satu medan perang, menjelma
menjadi sebuah manifestasi ketakutan, mitos yang membuat prajurit-prajurit
paling berani sekalipun gemetar ketakutan. Inilah kelebihan kalian, manusia.
Kalian selalu takut dengan segala hal. Dari ketakutan itulah kalian mencoba
melawan. Kalian ubah keberanian yang muncul dari dalam diri kalian menjadi
kekuatan, menjadi senjata. Kemudian setelah kalian merasa kuat dan tidak lagi
takut, kalian mulai berperang. Ketika dua pihak yang sama-sama ketakutan
menemukan keberanian untuk melawan sesamanya maka saat itu pula peperangan
bakal tercipta. Setidaknya aku harus berterima kasih, karena berkat kalian aku
tidak pernah kehabisan suplai....maaf, maksudku jumlah prajurit yang mati di
medan perang terus bertambah....sampai akhir-akhir ini.”
“Akhir-akhir
ini?”, Lee sedikit kebingungan dengan maksud
ucapan Ascott, namun dirinya mulai bisa menebak.
“Sejak
Peperangan yang kalian namai Perang Besar… Perang Dunia. Alur perang dan
senjata yang kalian gunakan perlahan berubah. Kalian mulai bergantung pada
bahan peledak seperti dinamit dan senjata jarak jauh serta artileri berat
seperti senapan mesin dan tank. Kalian lebih sering menyerbu dan menghancurkan
satu target wilayah ketimbang berhadapan satu lawan satu secara terhormat di
medan perang. Mungkin bagi kalian itu sebuah kemajuan, tapi kemajuan ini
membuatku sulit beradaptasi.”, Ascott melirik sejenak ke
arah Lee. Dilihatnya Lee hanya menyeritkan dahi mendengarkan kisah hidup
Ascott. Tampak jelas di wajahnya kalau sang prajurit masih mencoba berpikir
keras dan memahami cerita tersebut. Kembali Ascott meneruskan kisahnya.
“Seringkali
korban-korban yang berjatuahan dalam perang belakangan ini menemui ajal akibat
temabakan peluru, mesiu, atau karena terkena efek ledakan dan terbakar.
Mayat-mayat semacam itu tidak banyak menyisakan darah untukku. Sebagian besar
cenderung kering, dan bila ada yang masih ‘utuh’ seringkali darahnya telah
bercampur dengan bubuk mesiu atau pecahan peluru. Sangat tidak mengenakkan.
Seiring waktu, semakin sedikit jumlah mayat prajurit yang bisa kuhisap darahnya.
Hal ini membuatku seringkali merasakan haus dan perlahan melemahkan tubuhku.
Aku tidak bisa meminum darah hewan. Harus darah manusia. Sekaranga aku tidak
memiliki pilihan lain selain terus berpuasa hingga aku menemukan darah manusia
yang masih bagus. Itulah yang menjadi penyebab pingsan tadi. Tenagaku sudah
sangat sedikit ketika kita menghadapi harimau-harimau tersebut.”,
Ascott mengakhiri kisahnya.
“Jadi,
dari penjelasanmu kusimpulkan bahwa kau tidak mencoba membunuh dan menghisap
darahku saat kita pertama kali bertemu adalah karena kau sedang dalam kondisi
meski sebenarnya aku merupakan salah satu target incaranmu. Oleh karena itu,
kini kau ingin ikut denganku. Kau ingin menghindari perang ini sebelum ada yang
berhasil membunuhmu yang tengah dalam kondisi lemah ini.”,
papar Lee.
“Dan mencari sumber makanan lain yang lebih aman. Itu yang terpenting.”,
lanjut Ascott.
“Setidaknya
kini semua sudah jelas. Baiklah, aku akan membantumu. Sebagai gantinya kau juga
harus membantuku keluar dari sini.” Lee akhirnya
tersenyum. Karena kini dirinya telah tercerahkan dan dia yakin Ascott sama
sekali tidak berbohong, sikap Lee perlahan mencair terhadap vampir tragis ini.
“Kau
akan tetap akan membantuku meski ada kemungkinan ini merupakan jebakan untuk
memancingmu menjadi mangsaku begitu kita keluar dari sini?”
Ascott bertanya. Dia cukup terkejut dengan perubahan sikap Lee.
“Hei,
kau sudah menceritakan kisah hidupmu. Aku bisa tahu kalau kau sama sekali tidak
bohong. Selain itu, kalau memang kau ingin memangsaku tentunya kau tidak akan
memberitahukan kondisimu yang lemah ini hingga kita keluar dari negara ini. Aku
bisa saja membunuhmu sekarang, tapi karena kau sudah mempercayaiku sampai
memberitahukan rahasiamu padaku tentunya aku harus percaya padamu dan menepati
janjiku untuk mengantarmu keluar dari sini.”, Mata Lee jernih.
Kini dia lebih percaya diri. Ada tujuan baru yang harus dicapainya.
“Oke
kalau begitu. Janji kita akan keluar dari perang ini dengan selamat?”,
Ascott mengulurkan jari kelingkingnya, memberi tanda bagi Lee untuk membuat
janji dengannya.
“Yah.
Janji.”, Lee menerima uluran tangan Ascott.
Dikaitkannya jari kelingkingnya ke jari kelingking Ascott. “Sekarang tidurlah. Besok kita lanjutkan lagi perjalanan ini. Aku akan
berjaga untuk malam ini.”
“Kau
tidak akan mencoba membunuhku dalam tidur ya kan?”
“Apa
yang baru kukatakan barusan? Ahh, sudahlah. Aku malah agak khawatir kau bakal
meloncat dan menerkamku saat aku lemah seperti harimau tadi.”
Keduanya saling bertatapan.
Muka mereka serius. 10 detik berlalu. Kini keduanya tidak dapat menahan tawa.
Tawa lepas pasangan ini memecah kesunyian malam.
“Selamat
malam, Lee.”, ucap Ascott.
“Tidurlah.”, balas Lee.
Komentar
Posting Komentar