Mesiu dan Darah (Bagian 2)

Jalan menuju kota lumayan jauh meski hanya memakan waktu dua hari berjalan kaki. Lee dan Ascott harus berjalan melewati perbukitan berbatu dan hutan untuk mencapai tujuan mereka. Lee berjalan di depan, matanya siaga melihat keadaan sekitar. Ascott mengikutinya dari belakang. Langkah mereka berdua beriringan. 5 menit. 10 menit. 30 menit. Sejam telah berlalu. Kedunanya hanya diam saja meniti jalan yang bakal mengantar mereka ke pelarian. Ascott nampak tidak suka dengan suasana yang canggung ini.

“Hei...Hei...Lee. Jadi kau berasal dari pihak mana? Sekutu atau Utara?”, tanya Ascott.
“Utara”, jawab Lee, singkat. “Bukankah seharusnya kau sudah tahu aku berada di pihak siapa dari baju yang kukenakan? Ahh, lupakan.”
“Kenapa kau mencoba kabur? Apa kau takut terhadap sesuatu di medan perang? Mungkin kematian? Well, karena sekarang kau tengah menemani vampir melarikan driri dari medan perang maka aku beranggapan bahwa kau mungkin bukan tipe manusia yang takut terbunuh.”, tanya Ascott lagi.
“Sama sepertimu”, jawab Lee.
“Hmm?!”
“Seperti katamu tadi, aku juga sudah muak melihat perang semacam ini. Baru beberapa tahun perang di Asia Pasifik berakhir, sudah muncul perang baru. Seharusnya kami merdeka dan bersatu-padu sebagai satu bangsa, tapi orang-orang asing malah menghasut saudara-saudara kami dan menjadikan mereka musuh yang membangkang terhdapa tanah airnya sendiri. Inilah akibatnya kalau kita terlalu membuka diri ke dunia luar. Bisa-bisa bangsa ini bakal berakhir sama dengan para pemuja matahari terbit.”
“Kurasa Stalin dan Mao juga melakukan hal yang sama kepada kalian. Mereka menghasut kalian untuk ‘merebut kembali’ tanah air kalian, melawan saudara sebangsa melalui peperangan. Padahal seharusnya jikalau mereka memang benar, mereka bakal mengajarkan kalian, orang utara, untuk duduk bersama dengan seluruh pihak, berbicara, bermusyawarah, dan bersama mencari jalan damai serta mengatasi masalah perbedaan ideologi.”
“Mungkin kau benar. Mungkin mereka dan kami semua memang salah. Perang merupakan cara yang sudah teralu kuno untuk membereskan masalah semacam ini.” Lee menoleh sejenak. Tatapan matanya bertemu dengan mata biru Ascott. Lee mulai menyadari kalau Ascott mungkin merupakan wanita tercantik dan paling anggun yang pernah ditemui seumur hidupnya. Mata biru, rambut merah sepanjang mata kaki, dipadukan dengan wajah secantik Geisha dari Jepang dan gaun brawrna hijau berpadu hitam ala era Edwardian yang dikenakannya menjadikan Ascott bak dewi dalam lukisan Italia yang hidup dan bergerak. Gaya bicara dan sifatnya yang ternyata sangat lembut menjadikannya serupa wanita ideal bagi banyak pria.
Ascott tersenyum begitu menyadari tatapan Lee. Lee segera memalingkan mukanya tanpa membalas senyuman Ascott.
“Kenapa kau tersenyum terus? Ada yang lucu?”, tanya Lee. Matanya tetap lurus ke jalan di depannya.
“Tidak. Aku hanya ingin mengakrabkan diri saja. Kau tahu kan istilah ‘Senyum mampu mencairkan suasana’. Kenapa? Kau merasa terganggu?”, Ascott berjalan lebih cepat. Kini dia telah berada persis di sebalah Lee. Tanpa perlu menoleh lagi, Lee Tahu kalau Ascott sedangan memandangi wjahnya sembari tersenyum, lagi.
“Monster sepertimu mencoba tersenyum? Hal teraneh yang kudengar seharian ini.”, Lee tertawa kecil.
Ascott mendadak cemberut. Disilangkannya kedua tangannya di depan dada. Tentunya sang vampir kesal dengan ucapan-ucapan Lee yang penuh sarkasme. Tapi setidaknya dia tidak benar-benar marah. Lee bisa saja mati jika sang vampir terbutakan oleh amarah.
Dari kejauhan terdengar suara mesin bermotor memecah langit sore. Arahnya berasal dari belakang mereka. Lee segera menarik lengan Ascott dan menggiringnya ke bebatuan terdekat. Keduanya sefera tiarap, mencoba bersembunyi dari suara tadi. Secepat kilat 3 pesawat tempur milik sekutu terbang melintas. Pesawat-pesawat itu terbang rendah melewati bukit berbatu. Nampaknya mereka belum menyadari keberadaan pasangan yang kini tengah bersembunyi di balik salah satu bebatuan tersebut.
“Mereka sudah pergi?”, Ascott bertanya. Posisinya berada di bawah, berbaring di bebatuan.
“Nampaknya sudah.”, Lee menjawab dengan tersengal-sengal. Dia menoleh ke atas untuk memastikan keadaan, kemudian menatap Ascott. Posisi Lee berada tepat di Ascott. Dia menindih sang vampir yang masih berbaring di bawahnya. Kini wajah mereka terlalu dekat.
“Jadi begini cara lelaki Utara memperlakukan wanita. Berani juga.”, Ascott menggoda Lee. Dia ingin melihat prajurit muda itu tersipu malu, sekedar iseng saja.
Wanita? Kau yakin? Bukan pelacur atau monster?”, Lee segera bergeser dari atas tubuh Ascott. “Ayo, lebih baik kita segera melanjutkan perjalanan. Mungkin akan sedikit berbahaya karena sekarang sudah hampir malam, tapi lebih baik kita berjalan menembus hutan ketimbang berjalan di tanah terbuka dimana kita bisa jadi sasaran empuk bagi pesawat tempur.”
“Tidak seru.”, imbuh Ascott.
Keduanya kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini mereka berjalan memasuki htuan. Benar saja, hari sudah berganti menjadi malam. Bagi sebagian orang mungkin berjalan kaki di dalam hutan saat malam hari merupakan hal yang sangat berbahaya, tapi tidak bagi Ascott. Semenjak mereka menginjakkan kaki di dalam hutan Ascott tidak dapat berhenti menggoda Lee. Sang vampir terus bertanya berbagai macam hal, khususnya yang berkaitan dengan pribadi Lee. Lee sendiri hanya menjawab singkat tiap pertanyaan yang diajukan Ascott. Dia tidak terlalu menggubris ajakan Ascott untuk mengobrol lebi panjang atau membahas lebih dalam tentang dirinya.
“Krakk..Srett.”
Telinga Ascott mendengar sesuatu yang tidak biasa dari sisi kanan mereka. Dengan hati-hati dia memanggil Lee.
Hei....Lee! Nampaknya ada yang mengikuti kita.”, bisik Ascott.
Lee berhenti sejenak. Diamatinya keadaan sekeliling. Mereka kini telah jauh di dalam hutan. Cahaya sulit masuk ke kawasan tersebut karena terhalang oleh rimbunnya pepohonan. Tapi tanpa perlu mencari tahu sekalipun, Lee yakin waktu saat ini telah hampir mendekati tengah malam. Mereka sudah cukup capek berjalan dan hal yang terakhir yang ingin dialami Lee adalah bertemu hewan pemangsa yang mengincar manusia yang kelelahan di dalam hutan.
Diraihnya senapan yang sedari tadi hanya dikalungkan di pundaknya. Lee mengambil posisi, bersiap menembak. Dari balik semak-semak di sisi kanan mereka terdengar suara ranting patah dan daun-daun bergesekkan.
“Kau bisa melihat apa yang bersembunyi di balik semak-semak di sana?”, Lee membidik ke arah suara tadi berasal.
“Mungkin hewan liar. Aku tidak yakin hewan apa, tapi yang pasti jumlahnya lebih dari satu.”, Ascott berdiri sigap di belakang Lee. Direntangkan kedua tangannya ke samping, bersiap mengambil ancang-ancang menyerang.
“Mungkin? Apa kau menggunakan insting? Semakin lama kau semakin mirip hewan juga.”, Lee berusaha menenangkan dirinya sendiri. Dia terlalu gugup.
“Heh, lucu sekali.”, Ascott menjawab dengan nada datar.
“Baiklah. Bersiap kalau begitu.”
 Tanpa menunggu aba-aba, 2 ekor harimau melompat dari dalam semak-semak. Suara letusan senapan terdengar nyaring diikuti rintihan salah satu harimau. Lee berhasil menembak harimau tersebut tepat di jantungnya saat makhluk buas itu mencoba menerkam Lee dari atas dengan cara melompat. Satu harimau lagi mencoba menyerang Lee dari samping, untungnya Ascott dengan sigap melompat ke depan dan memukul harimau itu tepat di rahangnya. Harimau tersebut langsung terlempar cukup jauh.
Lee bergegas mengisi senapannya dengan amunisi baru. Dari samping terdengar suara Ascott memberi arahan. “Biar aku hadapi yang satu ini! Kau bersiap tembak yang masih hidup!”
Segera sang vampir berambut merah menerjang harimau yang sudah patah rahangnya. Harimau itu bukan tandingan Ascott. Kaki depannya berusaha mencakar vampir satu ini, tapi apa daya, Ascott telah lebih dulu memotong kedua kaki depan harimau dengan jemarinya. Yang selanjutnya terjadi bagaikan sebuah film horror. Dengan memakai jemari yang masih bersimbah darah akibat memotong urat kaki depan harimau, Ascott meraih leher dan kepala harimau tersebut lalu dengan sekuat tenaga membalik badannya. Setelah berhasil, Ascott langsung merobek dada harimau yang tak terlindungi. Darah bermuncratan ke segala arah seiring Ascott menggigit jantung yang masih berdetak dan menariknya keluar menggunakan taringnya. Lee hanya bisa terpana menyaksikan pemandangan langka itu.
Tapi terjadi keganjilan. Segera setelah merobek jantung dan memuntahkannya kembali, tubuh vampir wanita itu mendadak gemetar. Wajahnya memerah. Tingkahnya seperti orang mabuk. Aneh, pikir Lee. Merasa khawatir, Lee mencoba mendekat. Baru satu langkah diambilnya, tiba-tiba dari belakang seekor harimau yang mungkin semenjak tadi terus bersembunyi di semak-semak menanti momen yang tepat untuk keluar dan menerkam mereka berdua. Kelengahan yang ditunjukkan Lee dan Ascott menjadi tanda bagi sang predator untuk menyerang.
Dalam waktu hanya sepersekian detik, Lee menyadari keberadaan harimau yang melompat di belakangnya. Lee harus bergerak cepat menghentikan harimau tersebut. Jarak antara keduanya cukup jauh, tidak akan sempat baginya untuk menolong Ascott terlebih dahulu. Hanya ada satu cara, dia harus menghabisi harimau ini sendiri. Dengan refleks Lee berbalik badan. Diangkatnya senjata di tangannya. Tanap membidik lagi,Lee langsung menembakkan senapannya. Peluru yang keluar dari moncong senapan itu berhasil mengenai harimau di bagian yang tidak vital, namun cukup untuk memukulnya mundur. Mengikuti momentum yang tercipta, Lee langsung menerjang ke depan. Dengan memanfaatkan pisau bayonet yang terpasang di moncong senapan, Lee tanpa ragu menyerang harimau yang masih terluka dan kebingungan akibat terkena peluru tadi. Pisau bayonet ditusukkan berkali-kali ke organ-organ vital harimau. Sang predator berubah menjadi mangsa. Binatang itu hanya bisa merintih kesakitan. Dia mencoba mencakar-cakar udara, memberi perlawanan yang sia-sia. Kemudian, yang tersisa hanya hening.
Semenit berlalu. Lee mencoba mengatur kembali nafasnya. Dilihatnya kondisi Ascott. Vampir wanita kini pingsan, terbaring di atas tanah. Tidak ada luka pada tubuhnya, namunya wajahnya kian memerah. Nafasnya berat. Lee menempelkan tangannya ke dahi Ascott. Panas. Nampaknya Ascott mengalami demam. Sebaiknya Lee segera mencari tempat berlindung sembari mencari cara untuk menurunkan suhu badan Ascott. Kalau mereka terus di situ, akan sangat mungkin bagi hewan pemangsa lain datang menyerang.
Mata biru sebening kristal itu terbuka. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah langit-langit yang sama sekali tidak dikenalnya. Hiaju bercampur hitam dan bau-abu. Kombinasi yang buruk, pikirnya. Secercah cahaya oranye memantul dari sudut kiri bawah langit-langit. Ditolehkannya kepalanya ke arah sumber cahaya, namun raganya menolak. Sekujur badannya terasa kaku. Sakit, pikirnya. Perlahan indera-inderanya kembali berfungsi. Pendengaran, Penciuman, Pengecap, Peraba. Dirasakannya sensasi dingin di dahinya. Agak sedikit basah, pikirnya lagi. Kali ini giliran kekuatannya yang perlahan kembali. Otot-ototnya tidak lagi kaku. Dengan menggunakan kekuatan yang sudah terkumpul, kini dia mencoba bangun dari tidur yang sudah berjalan entah berapa lama.
“Hei, jangan dipaksa. Lanjutlah tidur. Kita istirahat dulu malam ini. Besok pagi baru kita lanjutkan lagi perjalanannya.”
Suara Lee terdengar dari seberang api unggun. Cahaya oranye tadi rupanya adalah cahaya pai unggun kecil yang dibakar di samping Ascott. Lee rupanya telah membopong vampir wanita itu hingga ke lereng perbukitan yang berada di tengah hutan. Kini keduanya berlindung di bawah jajaran batuan vulkanik yang menunjam mring menembus tanah hingga membentuk semacam struktur segitiga menyerupai atap rumah lengkap dengan langit-langitnya. Lee membaringkan badan Asoctt di slaah satu permukaan batuan yang datar dan menyiapkan api unggun di sebelahnya.
“Maaf aku tadi sedikit menggeladahmu saat kau pingsan. Tidak ada barang lain yang dapat digunakan sebagai kompres.”, Lee menyinggung saputangan Ascott yang sudah dibasahinya dengan air lalu dimanfaatkannya sebagai kompres pendingin kepala.
“Tidak apa-apa. Terima Kasih ya. Uggh.”, Ascott mencoba duduk bersandar pada dinding batu yang ada di belakangnya. Kompres darurat yang tadi menempel di dahinya kini jatuh ke pangkuannya. Ascott merapikan posisi duduknya dan segera menempelakn lagi kompres yang masih setengah basah ke kepalanya.
“Jadi, apa aku cukup berat? Nampaknya kau banyak mengeluarkan keringat.”, Ascott bertanya. Dia memperhatikan baju Lee agak sedikit basah dan ada bulir-bulir air keringat mengalir di hidung serta leher prajurit muda itu.
“Kau sudah cukup membuatku khawatir tadi, dan kini kau malah mencoba mengajak bercanda lagi. Mungkin kau memang monster dalam artian yang berbeda.”, Lee mengetuk-ngetuk  kayu yang masih terbakar guna menjaga nyala api unggunnya tidak mengecil.
“Hahaha.”, Ascott tertawa geli. “Jadi aku memang be....”
“Hei, ascott. Kenapa kau bisa pingsan tadi, terlebih lagi sampai jatuh sakit, demam. Bukankah seharusnya vampir tidak dapat merasa sakit kecuali bila ditusuk pasak. Mereka abadi kan?”, Lee menginterupsi ucapan Ascott. Raut mukanya serius.
Ascott terdiam sejenak. Sedetik dia mengalihkan pandangannya kemudian kembali menatap Lee. Nampaknya Ascott sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk disampaikan.
“Baiklah. Mungkin ini saat yang tepat untuk menceritakan siapa aku sebenarnya.”, Kali ini raut muka Ascott serius. Mungkin ini kedua kalinya Lee melihat Ascott serius, pertama kali adalah saat keduanya baru bertemu di puncak bukit hitam. Saat itu mereka berdua masih merupakan orang asing, dan mungkin musuh, jadi ada aura kecurigaan yang muncul. Tapi kali ini berbeda.
“Aku memang seorang vampir. Itu fakta. Aku meminum darah manusia seperti dalam legenda dan dongeng yang mungkin kau pernah baca. Umurku...delapan ratus...seribu...seribu dua rat....Ahh, aku sudah lupa. Kalau kau hidup terlampau lama bahkan kau tak akan pernah lagi ingat berapa umurmu atau berapa tahun yang sudah kau lalui. Hal yang seperti itu sudah tidak berguna lagi. Terlalu merepotkan. Aku mulai menjadi vampir saat aku masih remaja. Penyebabnya bukan karena digigit Drakula atau makhluk sebangsanya....Di tempatku berasal, ratusan tahun yang lalu, ada sekelompok wanita yang terkenal karena memujua setan. Mereka menjauhi agama, berpakaian serba tertutup. Kami kemudian menamai mereka penyihir, skete sesat. Mereka...mereka menculikku saat seluruh desa sedang tertidur. Mereka mencari gadis muda untuk dijadikan persembahan. Tangan dan kakiku diikat. Aku berusaha berteriak meminta tolong, tapi sia-sia. Ketika mereka sedang bersiap mengorbankanku di altar pemujaan mereka, aku mendengar sebuah suara memanggil namaku. Jika kuingat lagi sekarang, suara yang yang bagaikan suara ilahi itu mungkin suara termerdu yang pernah kudengar. Ketika itu aku yakin itu adalah tuhan. Tapi bukan. Itu adalah suara iblis.”
Sampai detik ini Lee hanya bisa tertegun mendengarkan kisah Ascott. Lee tidak ingin mempercayainya tapi raut muka Ascott berkata lain.
“Suara itu satu-satunya harapanku. Iblis itu menawarkan untuk membebaskanku. Aku yang sangat ketakutan saat itu hanya bisa menerima saja ketika suara itu mulai mengambil alih tubuhku dan memerintahkanku untuk menghabisi para penyihir sialan itu. Setelah kesadaranku kembali, yang kulihat hanya merah darah. Seluruh penyhir, para pemuja setan, telah tewas. Ketika kulihat kedua tanganku telah bersimbah darah dan tangan kananku masih menggenggam kepala salah satu penyihir yang kubunuh. Aku berdiri di tengah ruangan altar. Mayat orang-orang yang menculikku terhampar tak bernyawa di sekelilingku. Mayat merah kering kehabisan darah. Saat itu barulah aku menyadari bahwa iblis itu telah megubahku menjadi vampir. Iblis itu memberiku kekuatan untuk melepaskan diri dari ikatan dan membantuku mengalahkan musuh-musuhku. Tapi sebagai gantinya dia membuatku menghisap habis darah mereka. Kupikir aku bakal jadi gila hari itu.”, Lee menyadari tangan Ascott gemetar seiring dia  mengucapkan kalimat terakhir.
“Lari! Aku lari sekuat tenaga. Aku ingin kembali ke keluargaku, tapi aku tahu aku tak bisa. Aku mungkin bakal membunuh mereka. Aku yakin itu. Akan tiba saatnya aku haus akan darah manusia. Ketika itu terjadi aku tidak mau keluargaku yang harus menjadi korban. Jadi aku memutuskan melarikan diri. Aku terus lari hingga jauh sekali, sampai akhirnya tibalah aku di sebuah medan perang. Aku tidak ingat lagi perang apa itu, atau siapa yang bertikai. Sudah terlalu lama. Yang pasti, perang itu baru mencapai puncaknya. Banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Kebetulan saat itu aku telah mencapai batasku. Aku belum menghisap darah manusia sejak pembantaian para penyihir, saat aku berubah menjadi vampir seutuhnya. Saat kulihat darah segar yang bercucuran keluar dari mayat tentara yang tumbang di medan perang, insting mulai mengambil alih. Pada hari itu, kuhisap darah dari seluruh prajurit yang kehilangan nyawanya di medan perang. Setelah selesai akhirnya dahagaku pun hilang. Lalu sebuah ide melintas dalam pikiranku. Ide itu berubah menjadi sebuah sumpah. Sumpah yang tak pernah kulepas hingga detik ini. Hari itu aku bersumpah untuk tidak meminum darah manusia yang masih hidup. Aku hanya akan meminum darah dari mayat-mayat prajurit dan pasukan yang gugur di medan perang, tidak lebih dan tidak kurang. Itu sumpahku.”
Mata Ascott berkaca-kaca. Lee mulai memahami lebih banyak tentang vampir yang duduk di hadapannya. Ascott bukan sekedar monster seperti dalam dongeng-dongeng yang dikaitkan dengan vampir. Ascott hanya korban dari akal jahat manusia yang mencoba untuk tetap tegar meski dunia mungkin membencinya. Tragis memang. Tapi satu yang pasti, hatinya terlampau baik untuk ukuran monster sekalipun.
“Selama ratusan tahun aku bekelana. Mendatangi satu per satu medan perang, menjelma menjadi sebuah manifestasi ketakutan, mitos yang membuat prajurit-prajurit paling berani sekalipun gemetar ketakutan. Inilah kelebihan kalian, manusia. Kalian selalu takut dengan segala hal. Dari ketakutan itulah kalian mencoba melawan. Kalian ubah keberanian yang muncul dari dalam diri kalian menjadi kekuatan, menjadi senjata. Kemudian setelah kalian merasa kuat dan tidak lagi takut, kalian mulai berperang. Ketika dua pihak yang sama-sama ketakutan menemukan keberanian untuk melawan sesamanya maka saat itu pula peperangan bakal tercipta. Setidaknya aku harus berterima kasih, karena berkat kalian aku tidak pernah kehabisan suplai....maaf, maksudku jumlah prajurit yang mati di medan perang terus bertambah....sampai akhir-akhir ini.”
“Akhir-akhir ini?”, Lee sedikit kebingungan dengan maksud ucapan Ascott, namun dirinya mulai bisa menebak.
“Sejak Peperangan yang kalian namai Perang Besar… Perang Dunia. Alur perang dan senjata yang kalian gunakan perlahan berubah. Kalian mulai bergantung pada bahan peledak seperti dinamit dan senjata jarak jauh serta artileri berat seperti senapan mesin dan tank. Kalian lebih sering menyerbu dan menghancurkan satu target wilayah ketimbang berhadapan satu lawan satu secara terhormat di medan perang. Mungkin bagi kalian itu sebuah kemajuan, tapi kemajuan ini membuatku sulit beradaptasi.”, Ascott melirik sejenak ke arah Lee. Dilihatnya Lee hanya menyeritkan dahi mendengarkan kisah hidup Ascott. Tampak jelas di wajahnya kalau sang prajurit masih mencoba berpikir keras dan memahami cerita tersebut. Kembali Ascott meneruskan kisahnya.
“Seringkali korban-korban yang berjatuahan dalam perang belakangan ini menemui ajal akibat temabakan peluru, mesiu, atau karena terkena efek ledakan dan terbakar. Mayat-mayat semacam itu tidak banyak menyisakan darah untukku. Sebagian besar cenderung kering, dan bila ada yang masih ‘utuh’ seringkali darahnya telah bercampur dengan bubuk mesiu atau pecahan peluru. Sangat tidak mengenakkan. Seiring waktu, semakin sedikit jumlah mayat prajurit yang bisa kuhisap darahnya. Hal ini membuatku seringkali merasakan haus dan perlahan melemahkan tubuhku. Aku tidak bisa meminum darah hewan. Harus darah manusia. Sekaranga aku tidak memiliki pilihan lain selain terus berpuasa hingga aku menemukan darah manusia yang masih bagus. Itulah yang menjadi penyebab pingsan tadi. Tenagaku sudah sangat sedikit ketika kita menghadapi harimau-harimau tersebut.”, Ascott mengakhiri kisahnya.
“Jadi, dari penjelasanmu kusimpulkan bahwa kau tidak mencoba membunuh dan menghisap darahku saat kita pertama kali bertemu adalah karena kau sedang dalam kondisi meski sebenarnya aku merupakan salah satu target incaranmu. Oleh karena itu, kini kau ingin ikut denganku. Kau ingin menghindari perang ini sebelum ada yang berhasil membunuhmu yang tengah dalam kondisi lemah ini.”, papar Lee.
Dan mencari sumber makanan lain yang lebih aman. Itu yang terpenting.”, lanjut Ascott.
“Setidaknya kini semua sudah jelas. Baiklah, aku akan membantumu. Sebagai gantinya kau juga harus membantuku keluar dari sini.” Lee akhirnya tersenyum. Karena kini dirinya telah tercerahkan dan dia yakin Ascott sama sekali tidak berbohong, sikap Lee perlahan mencair terhadap vampir tragis ini.
“Kau akan tetap akan membantuku meski ada kemungkinan ini merupakan jebakan untuk memancingmu menjadi mangsaku begitu kita keluar dari sini?” Ascott bertanya. Dia cukup terkejut dengan perubahan sikap Lee.
“Hei, kau sudah menceritakan kisah hidupmu. Aku bisa tahu kalau kau sama sekali tidak bohong. Selain itu, kalau memang kau ingin memangsaku tentunya kau tidak akan memberitahukan kondisimu yang lemah ini hingga kita keluar dari negara ini. Aku bisa saja membunuhmu sekarang, tapi karena kau sudah mempercayaiku sampai memberitahukan rahasiamu padaku tentunya aku harus percaya padamu dan menepati janjiku untuk mengantarmu keluar dari sini.”, Mata Lee jernih. Kini dia lebih percaya diri. Ada tujuan baru yang harus dicapainya.
“Oke kalau begitu. Janji kita akan keluar dari perang ini dengan selamat?”, Ascott mengulurkan jari kelingkingnya, memberi tanda bagi Lee untuk membuat janji dengannya.
“Yah. Janji.”, Lee menerima uluran tangan Ascott. Dikaitkannya jari kelingkingnya ke jari kelingking Ascott. “Sekarang tidurlah. Besok kita lanjutkan lagi perjalanan ini. Aku akan berjaga untuk malam ini.”
“Kau tidak akan mencoba membunuhku dalam tidur ya kan?”
“Apa yang baru kukatakan barusan? Ahh, sudahlah. Aku malah agak khawatir kau bakal meloncat dan menerkamku saat aku lemah seperti harimau tadi.”
Keduanya saling bertatapan. Muka mereka serius. 10 detik berlalu. Kini keduanya tidak dapat menahan tawa. Tawa lepas pasangan ini memecah kesunyian malam.
“Selamat malam, Lee.”, ucap Ascott.
“Tidurlah.”, balas Lee.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persidangan Meja Makan - Pengalaman Membuat Film Pendek

Dilema Pelukis Bernama “Kecerdasan Buatan”

PORTOFOLIO DESAIN GRAFIS