Ide Cerita Kreatif Workshop Online

Pada pertengahan tahun 2020, saya sempat mengikuti workshop online tentang dramaturgi & filosofi penyutradaraan yang diselenggarakan oleh Galeri Indonesia Kaya bekerjasama dengan Garin Workshop via Ruang Kreatif. Berikut tautan berita terkait workshop tersebut. Dalam workshop ini peserta diminta menyodorkan proposal/ide kreatif sepanjang 2 halaman sebagai salah satu syarat pendaftaran. Di bawah ini merupakan 2 ide cerita yang saya ajukan di dalam workshop. Harapannya suatu hari nanti saya dapat mengolah ide-ide berikut menjadi karya utuh.

-----

DI ATAS AIR, DI BAWAH LUMPUR
OLEH: MUHAMMAD RIFKY

Sebuah kisah kecil namun kompleks di tengah musim hujan. Tersebutlah dua orang kakak-beradik yang ditinggal mati kedua orang tuanya ketika beranjak dewasa. Sang kakak, yang sudah menikah dan memiliki anak yang masih kecil, mewarisi tanah keluarga mereka beserta rumahnya yang megah. Sementara sang adik, yang masih bujangan, bertekad hidup mandiri dan segera angkat kaki dari rumah dimana dia dibesarkan.

Seiring waktu, hubungan kedua kakak-beradik memburuk. Tanah warisan yang luas lengkap dengan kolam dan tambak ikan berukuran besar serta kebun dengan beragam buah seperti rambutan, jambu, pepaya, pisang, kelapa, dll. perlahan tergusur. Sang kakak mulai menimbun kolam dan tambak ikan demi membangun komplek ruko. Sementara buah-buah lezat dari kebun yang biasa dibagi kepada tetangga yang fakir miskin tidak lagi disedekahkan oleh sang kakak. Semuanya dijual mahal ke pasar, dan tiap kali ada anak tetangga yang memanjat pagar hendak mencuri buah pasti dipergoki dan dipukuli dengan rotan atau ditumpuki batu. 

Masalah pun kian runyam setelah sang kakak menimbun tambak. Tambak yang harusnya menjadi kolam retensi/ serapan air hujan tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya dan mengakibatkan banjir yang menyebar ke rumah-rumah sekitar tiap musim hujan. Sang kakak malah menyalahkan tetangganya yang dituduhnya membuang sampah sembarangan dan menyebabkan gorong-gorong tersumbat. Sang adik yang muak melihat kakaknya bertengakar hampir tiap hari dengan tetangga akhirnya memilih angkat kaki setelah diterima bekerja di tambang batubara nun jauh di sana. Dia hanya sesekali kembali untuk bersilahturahmi/ mengecek keadaan keponakannya.

Pada suatu hari hujan deras mengguyur selama beberapa hari. Air meluap dan kembali mengakibatkan banjir setinggi lutut. Sejumlah bayangan orang terlihat mengendap-endap di sekililing rumah. Suara petir dan derasnya hujan mengakibatkan tidak ada yang menyadari kehadiran mereka merayap menuju rumah.

Beberapa hari berlalu. Sang adik tidak mendapat kabar atau bahkan dapat menghubungi keluarga kakaknya. Dia akhirnya memutuskan datang berkunjung. Sesampainya di kediaman kakaknya, dia mendapati sisa-sisa genangan air banjir di halaman, tumpukan lumpur di setiap sisi rumah, dan bau menyengat. Curiga, sang adik bergegas masuk dan mendapati mayat keluarga kakaknya dalam kondisi yang mengenaskan. Mayat-mayat sang kakak, istri, dan anaknya sudah berhari-hari membusuk dan bengkak di sana-sini. Sang adik histeris mendapati pemandangan mengerikan itu.

Selang beberapa lama, sang adik akhirnya mengadakan prosesi pemakaman untuk keluarga kakaknya. Polisi yang menyelidiki kematian mereka tidak dapat menemukan bukti yang cukup untuk menentukan tersangka. Semua jejak sudah hilang akibat lumpur dan hujan. Mereka hanya dapat menduga bahwa ini merupakan aksi perampokan keji walaupun tidak ada harta benda yang hilang. Sepanjang prosesi pemakaman banyak tetangga sekitar yang datang menyampaikan bela sungkawa, mayoritas ibu-ibu dan anak-anak. Sang adik bertanya-tanya kemana perginya para pria. Sebagian menjawab bahwa pemuda dan kepala keluarga mereka mendadak mendapat tawaran kerja serabutan di tempat yang jauh dan pergi merantau setelah banjir terakhir. Sang adik perlahan mulai menyambung benang merah dan merangkai peristiwa apa yang sebenarnya terjadi di kala banjir itu. Dia mulai bertanya-tanya apakah kematian kakaknya merupakan tragedi atau hukuman yang setimpal. 

TAMAT.

-----

NYALA API DALAM KABUT
Oleh: Muhammad Rifky

Ridwan, seorang pria muda dengan hidup ideal. Memiliki pekerjaan mumpuni sebagai koordinator lapangan di sebuah perusahaan pulp & paper besar, serta seorang istri cantik yang tengah mengandung anak pertama mereka. Keluarga kecil ini tinggal di sebuah rumah bertingkat dua dalam komplek perumahaan di tengah kota. Sebatang pohon mangga tumbuh di halamannya. Komplek itu ramai dan warganya mengenal satu sama lain. Anak-anak kerap bermain layangan dan sepakbola di jalan-jalan dan lapangan komplek. Setiap hari, Ridwan berangkat kerja ke site perusahaan yang terletak di luar kota mengendarai mobil pribadi.

Suatu hari di musim kemarau, Ridwan diperintahkan atasannya ‘membuka’ lahan baru untuk meningkatkan produksi bahan baku kertas. Ridwan memutuskan membakar seluruh lahan demi mempercepat proses. Konsesi lahan produksi yang luas membuat upaya ini memakan waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Kepulan asap membumbung tinggi ke angkasa dan terbawa angin hingga menyebabkan kabut asap turun di kota. Dimulailah periode panjang penuh keresahan dimana kabut asap tebal menyelimuti udara, matahari tidak bersinar, jarak pandang berkurang, dan warga harus mengenakan masker demi mengurangi kemungkinan terserang penyakit ISPA.

Lalu, sebuah siaran investigasi di televisi menyoroti praktik perusahaan Ridwan dan perusahaan lain yang dituding menyebabkan kebakaran hutan dan kabut asap. Tetangga yang vokal, seorang pemuda bernama Indra, memutuskan mengeluh ke Ridwan yang diketahuinya bekerja di perusahaan tersebut dan memicu pertengkaran. Saudara kembar Indra, Andra dan ketua komplek turun tangan melerai keduanya. Setelah keributan berakhir, Istri Ridwan mengingatkannya untuk tetap teguh menjalani pekerjaannya.

Tak berapa lama, saat Ridwan tengah berada di site, Indra hendak berangkat kerja dengan mengendarai sepeda motor kebanggaannya. Tak disadari olehnya, di tengah tebalnya kabut asap yang menutupi jalan keluar komplek terbentang seutas benang dari layangan ‘jatuh’ yang terlilit mengitari tiang listrik dan pohon mangga di depan rumah Ridwan. Tak jauh dari sana, anak-anak tengah bermain – salah satunya anak ketua komplek yang masih balita. Indra mempercepat laju motornya saat akan melewati rumah Ridwan. Malang baginya, benang layangan tajam yang tak kasat mata karena kabut asap mengiris tepat di lehernya, mencekiknya, dan membuatnya terhempas dari motor. Motor itu lantas menabrak anak Ketua komplek dan menghimpitnya ke tembok pagar. Siang itu, dua nyawa tak bersalah melayang begitu saja.

Beberapa hari berlalu sejak insiden itu, ‘pembukaan’ lahan akhirnya tuntas dan Ridwan dipromosikan sebagai supervisor. Untuk merayakannya, Ridwan dan Istri memutuskan makan malam di restoran berkelas. Dalam perjalanan pulang dari santap malam, Ridwan menyaksikan cahaya benderang di kejauhan menembus pekatnya kabut asap. Arahnya dari komplek. Ridwan dan Istri terkejut saat mendekat dan mendapati rumahnya tengah dilalap api. Ridwan yang panik segera melompat keluar dari mobil dan bergegas memadamkan api. Anehnya, tidak ada orang lain yang membantu. Kerumunan orang hanya menyaksikan dengan was-was dari kejauhan, terlihat tetangga kanan dan kiri rumah Ridwan yang berupaya mati-matian mencegah agar api tidak merambat ke rumah mereka. Istri Ridwan berteriak meminta tolong namun tidak ada yang memperdulikan. Di antara kerumunan, Andra dan Ketua Komplek hanya berdiri membatu. Ekspresi wajah mereka kosong. Andra mencoba menciumi tangannya, meyakinkan dirinya sendiri bahwa bau bensin – yang dipakainya untuk membakar rumah Ridwan - di tangannya telah hilang tak berbekas. 

Pemadam kebakaran baru tiba hampir setengah jam kemudian. Ridwan hanya bisa pasrah menyaksikan rumah dan harta bendanya habis dilalap si jago merah. Ketika pagi menjelang, Ridwan dan istri telah meninggalkan komplek. Warga lain kembali beraktivitas seperti biasa, seolah tak ada yang terjadi. Hampir tidak ada yang tersisa di lahan dimana rumah Ridwan dulunya berada. Hanya pohon mangga di halaman yang tetap tegak berdiri. Daun-daunnya hitam, tertutup sisa abu dan asap kebakaran. Seketika, bulir-bulir air satu-persatu jatuh dari langit. Hujan akhirnya turun. Kabut asap perlahan menipis seiring hujan yang turun membasahi bumi. Lapisan abu hitam mulai luntur dari daun-daun mangga dan menampakkan kembali warna hijaunya. 

TAMAT.    

------

Sumber Gambar: Image by StartupStockPhotos from Pixabay

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persidangan Meja Makan - Pengalaman Membuat Film Pendek

Dilema Pelukis Bernama “Kecerdasan Buatan”

PORTOFOLIO DESAIN GRAFIS