Killers of The Flower Moon: Sebuah Ulasan Buku (& Film)

Berbeda dengan ulasan/ review biasanya yang fokus membahas film, kali ini saya mencoba menulis ulasan buku. Namun bukan sembarang buku. Judul buku kali ini masih berkaitan dengan dunia perfilman, khususnya tentang tren dan proses adaptasi film yang diangkat dari karya literatur di Hollywood. Buku tersebut berjudul “Killers of The Flower Moon”, karya David Grann.
    David Grann merupakan penulis dan jurnalis untuk majalah New Yorker. Dia merilis buku pertamanya tentang investigasi misteri menghilangnya penjelajah Inggris, Percy Fawcett, di hutan Amazon dalam buku “The Lost City of Z: A tale of Deadly Obsession in the Amazon” pada tahun 2009. Buku ini kemudian diadaptasi menjadi film berjudul sama yang disutradarai James Gray dan dibintangi Charlie Hunnam pada 2017. Kesuksesan adaptasi bukunya ini yang lalu mengundang perhatian elit Hollywood untuk mencoba mengangkat karya tulisnya yang lain menjadi film.
    Dua artikel berita yang ditulis David Grann untuk New Yorker berturut-turut diangkat menjadi film, diantaranya “Old Man and The Gun” yang dibintangi Robert Redford dan “Trial by Fire” yang dibintangi Laura Dern pada tahun 2018 dan 2019. Kedua artikel berita ini kemudian dirangkum dalam buku keduanya “The Devil and Sherlock Holmes” yang berisi rangkaian esai dan tulisannya selama ini. Pada 2016, David Grann tengah mempersiapkan penerbitan buku ketiganya. Meski belum terbit, sejumlah nama elit Hollywood telah mengantri guna menawar opsi atau hak adaptasi buku ini. “Perang lelang” pun tak terhindarkan. Saya pernah menulis tentang tren ini dalam artikel opini lainnya. Judul buku yang menarik perhatian insan dunia perfilman ini adalah “Killers of The Flower Moon” yang menjadi pembahasan kita kali ini. Tidak hanya membahas isi bukunya sendiri, kita juga akan membahas adaptasi filmnya yang segera tayang di akhir tahun 2023.

Sejarah Kelam Warga Pribumi Amerika dalam Sebuah Buku

“Killers of The Flower Moon: The Osage Murders and the Birth of FBI”, atau yang selanjutnya disingkat sebagai KOFM, merupakan hasil investigasi David Grann dalam menguak salah satu sejarah kelam Amerika Serikat yang terlupakan. Mengisahkan bagaimana warga pribumi Indian yang tinggal di sekitar kawasan Osage, Oklahoma pada awal abad ke-20 menjadi korban muslihat dan siasat busuk pendatang kulit putih yang mengklaim Amerika sebagai tanah mereka.
    Kebiadaban warga kulit putih terhadap warga pribumi digambarkan jelas dalam buku ini. KOFM membuka kisah pilu ini dengan menjelaskan bagaimana warga pribumi diusir dari tanah kelahiran mereka yang kaya sumber daya alam dan dipaksa mengungsi ke tanah tandus di Oklahoma oleh pendatang kulit putih bersenjata. Setelah melalui sejumlah pertikaian dan konflik panjang, kelompok warga pribumi ini akhirnya harus menerima takdir ditempatkan di tanah gandus yang kemudian dikenal sebagai Osage County oleh pemerintah. Namun, mendadak nasib mereka berubah 180°. Tanah yang awalnya dianggap tidak subur untuk bercocok tanam ternyata mengandung deposit minyak bumi dalam jumlah besar. Dengan kemajuan teknologi dan kebutuhan energi untuk industri di Amerika Serikat, maka memasuki abad ke-20 warga pribumi Osage menjelma menjadi warga dengan kekayaan per kapita terbesar di Amerika Serikat.
    Sayangnya kekayaan baru ini malah mendatangkan bencana dan teror bagi warga Osage. Banyak warga kulit putih yang menganggap kasta warga pribumi lebih rendah atau bahkan bukan manusia beradab. Warga kulit putih mulai mencoba mencari cara merenggut pundi-pundi uang dari warga Osage. Pemerintah mencoba membatasi jumlah uang yang diterima oleh warga pribumi dari bisnis minyak bumi dan gas (migas). Mereka membuka tabungan kolektif hingga menunjuk pengelola keuangan dengan dalih mengontrol pengeluaran warga pribumi yang tidak terkendali. Pedagang mulai memperkenalkan standar harga jual barang yang lebih tinggi bagi Osage. Pendatang baru berbondong-bondong pindah ke Osage untuk membuka bisnis hiburan dewasa, hotel, bar, dan lain-lain. Penjahat dan pencuri mulai beraksi merampok atau menipu warga pribumi. Namun muslihat yang paling keji berjalan bertahun-tahun lamanya tanpa disadari orang sampai mayat-mayat mulai bermunculan.
    Periode ini dikenal sebagai “Reign of Terror” atau Periode Teror bagi warga Osage. Satu-persatu warga pribumi ditemukan tewas dengan kondisi yang tidak wajar. Beberapa diantaranya bahkan terkesan dibunuh dengan keji. Warga yang ketakutan mencoba meminta bantuan penegak hukum lokal. Namun tidak banyak yang mereka lakukan. Akhirnya warga pribumi Osage menyewa detektif dan bahkan meminta bantuan organisasi FBI yang saat itu baru dibentuk. Melalui penyelidikan FBI terkuak bahwa terjadi pembantaian sistematis yang menargetkan warga Osage dan lahan migas mereka.
    David Grann menghadirkan narasi yang berfokus pada beberapa individu di komunitas warga Osage, dalam hal ini yaitu Mollie Burkhart dan keluarganya. Terdapat juga beberapa individu lain yang menjadi kunci penting cerita ini seperti Ernest Burkhart yang merupakan suami kulit putih Mollie, William Hale yang merupakan pengusaha dan paman Ernest, hingga Tom White sebagai agen FBI yang ditunjuk menyelidiki misteri pembunuhan di Osage. Selain untaian cerita dan detail latar belakang yang berfokus pada individu-individu di atas, Grann juga menyajikan dokumentasi foto dan dokumen penting serupa laporan investigasi umumnya. Foto-foto ini mengingatkan pembaca bahwa kisah ini nyata dan benar terjadi.
    Grann sendiri tidak banyak menampilkan sosok dirinya dalam buku ini. Ketimbang laporan atau catatan harian investigasi, dia lebih memilih menyajikan cerita KOFM secara runtut dari prespektif tokoh yang terlibat dan memberi informasi seperlunya layaknya novel fiksi. Grann mencoba menyelami pikiran tiap tokoh yang sebagian besar sudah meninggal terkait peran mereka dalam rangkaian teror yang menghantui warga Osage. Dia juga menghadirkan informasi terkait budaya lokal Osage dan kehidupan di Amerika pada masa itu.
    Sekilas KOFM lebih mirip kisah detektif dengan misteri pembunuhan sebagai plot utamanya. Namun, David Grann melempar fakta bahwa misteri tidak selamanya dipecahkan dengan tuntas dan banyak hal yang baru terungkap bertahun-tahun kemudian. Tidak ada protagonis atau pahlawan dalam kisah ini. Yang ada hanya para korban yang dibungkam, pelaku yang tidak menyesali perbuatan mereka, dan penyelidik yang memanfaatkan kasus Osage sebagai batu loncatan dalam memperkenalkan organisasi investigasi baru. Pada akhirnya, Periode Teror Osage menjadi bagian sejarah yang mulai dilupakan oleh banyak orang, kecuali bagi minoritas keturunan Osage yang tersisa.
    Membaca KOFM mengingatkan kita dengan rasisme dan diskriminasi yang masih menjangkiti Amerika Serikat hingga saat ini. Warga Indian seperti halnya warga kulit hitam dianggap sebagai ras yang lebih rendah. Meski merupakan warga asli alias pribumi, Warga Indian diperlakukan buruk hingga dibantai secara sistematis oleh pendatang kulit putih yang mengklaim Amerika sebagai tanah mereka. Bahkan setelah berdirinya negara Amerika Serikat kita menyaksikan bagaimana pemerintah dan warganya terus mencurangi warga Indian melalui paragraf-paragraf buku ini. KOFM menjelma menjadi salah satu karya literatur sejarah yang mencoba memberi ruang bagi warga minoritas, dalam hal ini warga Osage, untuk menyampaikan kisah mereka.

Mencegah Adaptasi Menjadi Sekedar Eksploitasi Belaka


 
KOFM harus melalui jalan panjang dan berliku sebelum akhirnya mendapat adaptasi film berbudget besar pada 2023. Sejak sebelum penerbitannya di tahun 2016, outline atau draft buku ini dirumorkan telah disirkulasikan di kalangan elit Hollywood. Di belakang layar sejumlah nama besar mulai mengajukan penawaran untuk mendapat hak adaptasi buku yang ditargetkan menjadi best seller ini. Nama-nama seperti Brad Pitt, George Clooney, J.J Abrams hingga Leonardo DiCaprio “berperang” memperebutkan hak adaptasi KOFM. Akhirnya, produser Dan Friedkin dan Bradley Thomas dari Imperative Entertainment memenangkan lelang dengan harga 5 Juta dollar amerika.
    Persiapan pra-produksi pun segera dilakukan. Sutradara Martin Scorsese dan penulis skenario Eric Roth direkrut untuk memimpin proyek ini. Studio Hollywood Paramount Pictures bakal mendanai dan mendistribusikan film. Sementara itu, Aktor Leonardo DiCaprio dan Robert De Niro digadang-gadang bakal memerankan tokoh utama film ini. Baik Leonardo DiCaprio dan Robert De Niro merupakan kolaborator setia dan aktor langganan Scorsese. DiCaprio telah membintangi lima film yang disutradarai Scorsese, sedangkan De Niro telah membintangi sembilan film bersama Scorsese. KOFM menjadi kolaborasi ke-10 De Niro dan kolaborasi ke-6 DiCaprio dengan sutradara kawakan ini.
    Karena berbagai hal, syuting film KOFM harus ditunda hingga Martin Scorsese menyelesaikan proyek film lainnya “The Irishman” untuk layanan streaming Netflix yang menelan biaya hingga $250 juta. Selama periode ini, baik Scorsese, Roth dan DiCaprio terus menggodok skenario KOFM. DiCaprio yang awalnya digadang memerankan tokoh agen FBI Tom White sebagai protagonis utama tiba-tiba menginginkan perombakan.
    Dalam wawancara dengan publikasi online Deadline, Scorsese menjelaskan bahwa mereka awalnya menulis KOFM dari sudut pandang seorang koboi kulit putih yang datang dan menyelamatkan warga pribumi Osage dari teror mengerikan. Baik DiCaprio dan Scorsese merasa cerita semacam ini sudah terlalu umum dan tidak mencerminkan inti buku tentang diskriminasi sistematis terhadap warga minoritas pribumi. Setelah menerima masukan dari DiCaprio dan mengunjungi komunitas warga Osage untuk membicarakan rencana syuting KOFM, akhirnya Scorsese memutuskan mengganti sudut pandang cerita dari karakter Mollie Burkhart dan Ernest Burkhart, pasangan suami-istri beda ras yang menjadi inti tragedi buku sebenarnya. DiCaprio pun ditunjuk memerankan Ernest Burkhart ketimbang Tom White dengan Robert De Niro sebagai William Hale, antagonis utama dan paman Ernest. Sementara itu, peran Mollie jatuh kepada aktris pribumi Lily Gladstone.
    Sayangnya perubahan fokus cerita dan biaya syuting yang diperkirakan bakal mencapai $200 juta membuat Paramount Pictures berniat mundur mendanai film ini. Scorsese menginginkan nuansa autentik dengan syuting dilakukan di lokasi sebenarnya di Oklahoma dan mengajak warga Osage lokal untuk berpartisipasi selama produksi. Ini mengakibatkan pembengkakan biaya syuting guna mereplikasi setting awal abad ke-20 di Oklahoma. Setelah mencari bantuan pendanaan, akhirnya perusahaan Apple via layanan streaming AppleTV+ sepakat berbagi beban pendanaan dengan Paramount. Paramount akan mendistribusikan film KOFM di bioskop, sementara AppleTV+ akan mendapat hak ekslusif penayangan digital film ini.
    Syuting yang direncanakan untuk tahun 2020 kembali ditunda akibat pandemik Covid-19. Setelah mengalami beberapa penundaan barulah pada awal tahun 2021 syuting Killers of Flower Moon dilaksanakan di Oklahoma. Baik kru dan pemain harus menjalani protokol kesehatan ketat guna menjamin proses syuting berjalan lancar. Rodrigo Prieto ditunjuk sebagai sinematografer film, sedangkan Thelma Schoonmaker yang merupakan kolaborator setia Scorsese kembali ditunjuk sebagai editor film. Warga pribumi Osage ikut terlibat sebagai kru hingga pemeran figuran dalam film. Sejumlah pemimpin Osage juga diajak menjadi penasihat film untuk memperoleh penggambaran budaya Osage yang autentik. Beberapa sumber menyebut bahwa syuting film ini telah mendatangkan dampak positif bagi perekonomian Osage dan Oklahoma.

    Film Killers of The Flower Moon direncakan tayang pada bulan Oktober 2023 di bioskop dan selanjutnya ditayangkan ekslusif di layanan streaming AppleTV+. Film berbudget $200 juta ini digadang-gadang sebagai salah satu film terbaik tahun 2023 dan diprediksi bakal memperoleh nominasi dalam ajang penghargaan film semacam piala Oscar. Dalam premiere film di festival film Cannes, Prancis, Killers of Flower mendapat sambutan meriah dari para penonton. Kru dan pemain dibanjiri tepuk tangan antusias selama sembilan menit lamanya. Sebagian besar memuji akting para pemain mulai dari Leonardo DiCaprio, Robert De Niro, hingga Lily Gladstone.
    Penonton juga memuji arahan dan penyutradaraan Martin Scorsese yang kini menginjak usia 80 tahun. Semua sepakat bahwa Killers of Flower Moon merupakan salah satu film terbaik yang disutradarai sang sineas legendaris dalam enam dekade karirnya. Scorsese sendiri dalam wawancara yang sama dengan Deadline merefleksikan umurnya yang sudah semakin uzur. Scorsese dengan lirih mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki cukup banyak waktu tersisa meski masih banyak kisah yang ingin terus disampaikannya. Killers of Flower Moon mungkin bakal menjadi salah satu film terakhir yang dibuatnya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persidangan Meja Makan - Pengalaman Membuat Film Pendek

Dilema Pelukis Bernama “Kecerdasan Buatan”

PORTOFOLIO DESAIN GRAFIS