Omar: Kisah Tragis Budak Muslim yang Menjelma Menjadi Opera Modern
Pada malam penganugerahan Pulitzer Prize tahun 2023 yang diselenggarakan 8 Mei 2023 untuk merayakan prestasi dan pencapaian karya jurnalistik dan seni Amerika Serikat sepanjang tahun 2022, terdapat beragam karya unik dan menarik yang dinobatkan sebagai yang terbaik di kategorinya masing-masing. Pulitzer Prize tiap tahunnya memberikan apresiasi terhadap karya-karya penting di dalam dan di luar dunia jurnalistik amerika; mulai dari berita lokal hingga internasional, opini dan kritik, catatan editorial, karikatur, foto, hingga novel fiksi, biografi, sejarah, puisi, dan musik.
Di tahun 2023 karya-karya yang menang meliputi laporan perang Ukraina, aborsi, dampak pandemik Covid-19, skandal korupsi, hingga tunawisma dan rasisme. Terdapat juga kisah tentang individu-individu penting dalam sejarah Amerika Serikat, seperti mantan direktur FBI J. Edgar Hoover, korban kebrutalan polisi George Floyd, dan seorang budak bernama Omar ibn Said. Nama yang terakhir mungkin belum pernah didengar oleh sebagian besar orang.
“Omar”, sebuah pertunjukan opera tentang seorang muslim Senegal yang diculik dan dijual sebagai budak di Amerika Serikat memenangkan penghargaan Pulitzer 2023 untuk kategori musik. Cerita “Omar” sendiri diangkat dari kisah nyata Omar ibn Said, cendekiawan Fula (sekarang Senegal) yang diculik saat terjadi perang dan dijual paksa di Amerika Serikat sebagai budak di awal abad ke-19.
Musisi folk Amerika, Rhiannon Giddens, dan komposer film, Michael Abels, menggubah musik dan lagu untuk pertunjukan opera Omar pada 2022. Dalam wawancara dengan program TV CBS Sunday Morning, keduanya mengaku tidak mengetahui tentang kisah Omar ibn Said sebelum terlibat dalam proyek ini. Mereka merujuk pada tulisan buku autobiografi Omar yang ditulisnya dalam bahasa arab.
Kisah Hidup Omar ibn Said Budak Muslim di Amerika
Omar ibn Said terlahir dalam keluarga kaya di tanah kelahirannya, Senegal. Sejak muda dia telah banyak belajar tentang islam, matematika, astronomi, dan sebagainya. Pada umur 37 tahun dia diculik oleh tentara dalam sebuah konflik perang lalu dibawa naik kapal menyeberangi samudra Atlantik untuk selanjutnya dijual sebagai budak bersama orang-orang afrika lainnya. Sesampainya di Charleston, Amerika Serikat, Omar dijual kepada seorang pengusaha dan dipaksa bekerja di perkebunan kapas. Selang dua tahun kemudian Omar melarikan diri sebelum akhirnya ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
Di penjara, Omar menghabiskan waktunya dengan menulis bahasa arab di dinding sel menggunakan potongan batubara atau arang. Aktivitasnya ini menarik perhatian seorang politisi lokal dan pemilik budak, James Owen. Owen kagum dengan wawasan dan kecerdasan Omar yang berbeda dengan budak lainnya yang tidak bisa baca atau menulis. Owen lantas membeli Omar dan mengajarinya Injil dengan harapan agar Omar beralih ke agama Kristen. Omar lantas menghabiskan sisa hidupnya sebagai salah satu budak Owen. Sebagai imbalan pindah ke agama Kristen, Omar lantas diberi perlakuan yang lebih baik dan dimotivasi untuk menulis memoar tentang kisah hidupnya. Omar menghembuskan napas terakhirnya pada 1864 di usia 93 tahun dengan status tetap sebagai budak.
Selepas kematiannya, buku autobiografi dan manuskrip-manuskrip lainnya yang ditulis Omar dalam bahasa arab menjadi peninggalan sejarah penting dan satu-satunya buku autobiografi berbahasa arab yang ditulis seorang budak di Amerika Serikat. Sebagian sejarawan memperdebatkan peralihan agama Omar semasa hidup. Dalam autobiografinya yang menjadi satu-satunya sumber rujukan terhadap pemikiran Omar, beberapa sejarawan meyakini bahwa Omar tidak sepenuhnya beralih ke kristiani dan tetap memegang teguh keyakinannya sebagai seorang muslim hingga akhir hayat. Buku yang ditulis Omar dalam bahasa arab pun cukup ambigu membahas hal ini.
Sejarawan berspekulasi bahwa Omar kemungkinan beralih agama agar terhindar dari hukuman dan penyiksaan yang kerap diterima budak kulit hitam Afrika. Mereka tidak mengetahui apakah Omar semasa hidup pindah agama atas kesadarannya sendiri atau karena paksaan. Sejarawan juga berargumen bahwa Omar menulis buku untuk dua tipe pembaca, warga kulit putih Amerika yang mencoba mengeksploitasi keyakinan agamanya dan warga sebangsanya yang bisa membaca dan memahami bahasa arab serta Al-Quran. Abels selaku komposer opera “Omar” percaya bahwa Omar ibn Said sangat berhati-hati dalam menulis kisah hidupnya dan terkesan menyembunyikan jati diri sesungguhnya.
Opera Omar dan Peninggalan Perbudakan Muslim di Amerika
Buku autobiografi Omar dan terjemahannya kini disimpan di Perpustakaan Kongres Amerika Serikat sebagai salah satu peninggalan sejarah penting. Pada 2019 Festival Seni Spoleto yang diselenggarakan di Charleston, kota dimana Omar ibn Said dijual sebagai budak, mengkomisi pembuatan pertunjukan teater tentang Omar. Musisi folk Rhiannon Giddens dan komposer Michael Abels lantas ditunjuk untuk menggubah musiknya. Sementara Kaneza Schaal dipilih untuk menyutradarai opera yang dibintangi oleh Jamez McCorkle, Cheryse McLeod Lewis, Laquita Mitchell, dan Adam Klein.
Penulis dan seniman Christopher Myers bertindak sebagai designer produksi opera “Omar”. Myers mendesain “Omar” dengan tulisan-tulisan dalam berbagai bahasa seperti bahasa arab dan bahasa inggris sebagai motif produksinya. Mulai dari desain panggung, efek visual dan cahaya, hingga baju yang dikenakan pemain semuanya mengimplementasikan tulisan bahasa arab, inggris, dan lain-lain. Ini untuk menggambarkan betapa pentingnya warisan budaya, literatur dan kemampuan baca-tulis Omar sepanjang hidupnya.
Rhiannon Giddens dan Michael Abels tidak sepenuhnya mengadaptasi kisah Omar ibn Said sebagai opera. “Omar” merupakan interpretasi dan gambaran umum tentang nasib budak-budak muslim lainnya di Amerika Serikat. Menurut CBS, terdapat sekitar 20-30% budak dari Afrika yang beragama muslim. Kebanyakan dari mereka kini terlupakan oleh sejarah seperti halnya Omar ibn Said. Giddens dan Abels baru mengetahui kisah Omar dan budak-budak lainnya melalui proyek ini. Mereka lantas mencoba menyajikan musik yang menyatukan berbagai elemen, bahasa, dan budaya serta “memberi suara” pada kisah-kisah perbudakan di Amerika Serikat.
Juri dan panitia Pulitzer 2023 dalam pernyataan resmi mereka menyampaikan bahwa “Omar” merupakan sebuah karya musik yang merepresentasikan budaya dan tradisi Afrika hingga Amerika-Afrika dengan hormat serta sukses memperluas "bahasa" dan wujud opera. "Omar" juga menyampaikan dengan lugas kemanusiaan kaum yang diperbudak melalui lagu dan musik. Musik opera “Omar” oleh Rhiannon Giddens dan Michael Abels berhasil mengalahkan kandidat lainnya yaitu komposisi musik "Monochromatic Light (Afterlife)" oleh Tyshawn Sorey dan album instrumental "Perspective" oleh Jerrilynn Patton.
Kini, pertunjukan opera “Omar” telah ditampilkan di Spoleto Festival, Carolina Performing Arts, dan Los Angeles Opera. Tahun ini rencananya opera ini juga akan ditampilkan di Boston sebagai bagian pertunjukan Boston Lyric Opera.
-----
Sumber gambar:
Image by Kevin Amrulloh from Pixabay
Komentar
Posting Komentar