Mesiu dan Darah (Bagian 3)

Waktu telah beranjak siang. Suara langkah kaki beriringan terdengar sayup-sayup di antara pepohonan. Lee dan Ascott muncul dari balik rimbunnya pepohonan tersebut. Mereka berhasil keluar dari hutan. Semenjak pagi setelah bangun tidur kondisi Ascott telah jauh lebih membaik daripada malam sebelumnya. Dia sudah ceria lagi. Sembari Lee membasuh muka pada sebuah mata air kecil yang mengalir di antara celah bebatuan dari puncak bukit, Ascott terlihat santai merenggangkan badan. Mata birunya sedari bangun terus berbinar, layaknya anak kecil yang sudah tidak sabar menjalani hari besarnya. Lee sebenarnya ingin bertanya apakah benar Vampir tidak tidur di malam hari layaknya kelelawar yang merupakan makhluk malam. Tapi setelah melihat wajah Ascott yang lelap tidur semalaman dan fakta bahwa semenjak kemarin hingga pagi ini dirinya tidak masalah berjalan di bawah sinar matahari Lee memutuskan tidak bertanya. Ascott merupakan kasus yang istimewa. Dia berbeda dengan vampir yang hanya diketahui melalui mitos dan dongeng pengantar tidur. Mendengar kisah terkait asal-usul kekuatannya semalam maka kesimpulan itu bukan hal yang mustahil. Sebaliknya malah Ascott yang tidak berhenti bertanya kepada Lee tentang segala hal.

Ascott menanyakan banyak hal, semuanya tentang pribadi Lee. Dia menanyakan tempat asal Lee, seperti apa keluarganya, di mana mereka, apa Lee memiliki teman, kenapa Lee mau bergabung dengan militer, apa makanan favoritnya, kapan tanggal lahirnya, seperti apa tipe wanita idamannya dan sebagainya. Lee menjawab dengan santai setiap pertanyaan Ascott. Untuk pertanyaan terakhir, Lee sedikit menghindar. Dia tidak bisa begitu saja bilang kalau wanita yang baru ditemuinya kemarin telah membuatnya jatuh hati. Terlebih wanita itu terlampau unik. Wajah ayu, rambut merah secerah mentari senja dan mata biru gemerlap bak berlian. Tidak akan ada yang percaya jika Lee mengatakan bahwa sang wanita pujaan adalah seorang vampir yang telah hidup ratusan tahun.
Aku tak bisa bilang secara spesifik tipe wanita macam apa yang menjadi idamanku. Yang pasti, aku lebih suka wanita yang nampak dewasa dari luar.”
“Dari luar??”
“Ehh, ya. Penampilannya mungkin terlihat dewasa dan berkelas, namun sesungguhnya dia memiliki sifat kekanakan yang selalu coba disembunyikannya dan hanya ditunjukkan ke orang-orang tertentu saja. Bisa dibilang dia tipe yang energik ketimbang terlalu serius.”
“Memangnya ada wanita semacam itu? Seleramu aneh juga.”
Lee menoleh ke arah Ascott. Ascott hanya berdiri di situ dengan ekspresi kebingungan. Lee menghela nafas panjang.
Kini keduanya telah berjalan turun menelusuri lembah dan menuju perbukitan yang tertutup rumput hijau sejauh mata memandang. Jalur itu sepi, tidak ada tanda-tanda serbuan pesawat atau pasukan musuh di kejauhan. Suasana hening.
Aneh, pikir Lee. Dia menoleh sejenak ke Ascott. Diperhatikannya vampir wanita ini telah jauh lebih sehat, matanya menerawang jauh seraya mereka berjalan menuruni bukit. Entah karena terpana menyaksikan pemandangan yang jauh berbeda dibandingkan hutan di belakang mereka atau karena pikirannya kini sedang terbang jauh ke arah lain. Kemungkinan besar Ascott belum menyadari keanehan yang dirasakan Lee. Terlalu sunyi, pikir Lee. Harusnya saat ini mereka sudah semakin dekat dengan kota tujuan. Namun hingga sedekat ini pun tidak ada tanda-tanda kehidupan, baik itu manusia maupun hewan-hewan seperti burung, tupai, atau belalang.
“Hei....Lee!”
Sebuah bendah kecil dan keras terbang mengenai bagian belakang kepala Lee. “Awww!!”, prajurit muda itu merintih kesakitan.
Lee menoleh ke belakang. Ternyata Ascott baru saja melempar batu kerikil ke arahnya.
“Dari tadi dipanggil malah tidak digubris. Ngehayalin apaan sih? Aku mencium bau tidak enak. Karbon, arang atau mungkin mesiu. Baunya pekat sekali. Aku rasa bau ini berasal jauh di depan.”, Ascott bereaksi dengan cara memegang kuat-kuat hidungnya.
Pupil mata Lee membesar. Dia baru saja menyadari sesuatu. Secepat kilatnya didakinya bukit yang berada di depan mereka. Ascott menyusulnya dari belakang. Begitu sampai di puncak bukit pemandangan yang dilihat keduanya ibarat mimpi buruk yang jadi kenyataan. Kepulan asap menutupi kota di lembah perbukitan yang terhubung langsung dengan sungai besar. Dari kejauhan terlihat sebagian bangunan telah rata dengan tanah, sedangkan sebagian lain masih terbakar. Kota ini merupakan tujuan mereka berdua.
“Sial. Pesawat tempur kemarin rupanya untuk membombardir kota. Kita mungkin sudah telat.”, Raut muka Lee mendadak berubah cemas.
“Jadi bagaimana?”, tanya Ascott.
“Kemungkinannya adalah musuh sudah mengantisipasi pergerakan kami dan memutuskan menyerang daerah-daerah yang menjadi potensi pos pertahanan atau jalur suplai. Mereka pasti sudah memutus dan menghancurkan alat-alat transportasi seperti jip, kapal, dan....tunggu dulu.”
Mata Lee langsung tertuju pada sisi lain puing-puing kota tersebut. Dari balik kepulan asap hitam muncul sebuah mesin besar terbuat dari besi yang juga berwarna hitam. Penampilanya sangar dan mengeluarkan suara yang mengerikan. Lokomotifnya masih utuh. Lee segera memfokuskan matanya mencari dan menelusuri jalur rel kereta tersebut. Relnya juga masih utuh.
“Satu-satunya kesempatan kita adalah kereta api di sana.”, Lee menunjuk ke arah kuda besi di kejauhan.  “Kereta itu mengarah langsung ke dataran Cina. Kita bisa ‘menumpang’ kereta untuk memasuki perbatasan. Dari sana kita masih harus mencari pesawat menuju kawasan Eropa. Mungkin berbahaya, namun setidaknya di sana lebih aman dan jauh dari medan perang.”
“Bagaimana dengan pria-pria seram di sana?”, Ascott meunjuk ke bagian depan lokomotif. Di platform kereta tersebut terdapat tumpukan peti barang yang kemungkinan besar merupakan kargo yang hendak diangkut naik ke kereta. Dai balik tumpukan itu muncul  lima hingga enam prajurit bersenjata lengkap. Mereka mengenakan jaket kulit hitam lengkap dengan dekorasi emblem terpasang di jaket tersebut. Kemungkinan mereka merupakan pasukan yang bertanggung jawab mengawal proses pemuatan peti-peti barang itu ke atas kereta dan dari dandanannya Lee yakin mereka berasal dari pasukan khusus.
“Ikuti rencanaku dan semua akan baik-baik saja. Kita akan bermain peran sebagai tawanan dan tentara yang menangkapnya. Kau sudah tahu gambarannya kan?”, Lee bertanya pada gadis di sebelahnya. Ascott hanya mengganguk.
“Oke kalau begitu. Pakai brogol ini. Kita harus meyakinkan mereka.”, Lee mengeluarkan sepasang borgol yang sudah agak berkarat dari kantung celananya.
Ascott dan Lee berjalan melewati kota yang telah porak-poranda akibat serangan bom pesawat. Keduanya berjalan beriringan, tapi kali ini Ascott yang berjalan di depan sedangkan Lee mengikutinya dari belakang. Kedua tangan Ascott diikat ke belakang punggungnya menggunakan beorgol. Lee memegang senapan di depan dada dengan posisi siaga menembak. Penampilan keduanya cukup meyakinkan untuk menyamar sebagai tawanan perang dan penjaganya.
“Aku baru tahu kalau kau punya borgol. Bukannya seharusnya tentara itu bertugas membunuh dan bukan menangkap musuh? Lagipula kelihatannya borgol ini tidak pernah dipakai. Tanganku gatal dari tadi gara-gara karat ini.”, Ascott berbisik di depan. Dia berhati-hati agar suaranya hanya dapat didengar oleh mereka berdua saja jikalau ada yang mengawasi dari jauh.
“Sudah 2 tahun lebih kudapat borgol itu dari polisi yang kutembak di Incheon. Itu perang pertamaku. Borgol itu kusimpan sebagai cinderamata. Tak kusangka akan berguna untuk hari ini.”, Lee merasa perlu memberi penjelasan.
“jadi, apa rasanya perang bagimu? Menyenangkankah, sampai kau repot-repot mencuri dari orang yang sudah kau bunuh?”, Ascott bertanya lagi.
“Awalnya, yah. Selanjutnya, seiring waktu, perasaan itu berubah. Semakin banyak orang yang kubunuh dengan senapan ini malah membuat hatiku semakin hampa. Aku berharap kenaikan pangkat agar aku tidak perlu bersusah payah membunuh langsung dengan tanganku sendiri. Tapi itu tak pernah terjadi. Malahan aku semakin sering ditarik ke medan perang, menjalani pertempuran yang sama berulang-ulang, membunuh lebih banyak orang tanpa alasan yang jelas. Tidak ada yang menyenangkan dari itu semua. Kini aku lebih memilih kabur saja.”
“Entah kau membunuh dengan tangan dan kesadaranmu sendiri atau kau membiarkan orang lain membunuh untukmu, semuanya sama saja. Pada akhirnya semua itu salahmu, dosamu sendiri.”, Ascott menoleh sejenak ke arah Lee. Tatapan mukanya menyeramkan. Dia marah. Sedetik kemudian, Ascott memalingkan mukanya.
Lee bisa memahaminya. Setelah mendengarkan kisah hidup Ascott, tentu pengalamannya tidak ada apa-apa dibandingkan tragedi yang menimpa Ascott ratusan tahu yang lalu.
“Maaf”, ucap Lee lirih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persidangan Meja Makan - Pengalaman Membuat Film Pendek

Dilema Pelukis Bernama “Kecerdasan Buatan”

PORTOFOLIO DESAIN GRAFIS