Mesiu dan Darah (Bagian 4)
Kini keduanya sudah sampai
di depan stasiun kereta api. Dua orang tentara terlihat berjaga di depan
gerbang stasiun yang hanya menyisakan runtuhan. Lee tidak mengenali keduanya,
namun dirinya yakin kedua orang ini dan orang-orang yagn masih berada di dalam
berasal dari kesatuan angkatan darat yang sama dengannya dan bukan dari pihak
musuh.
“Berhenti!
Sebutkan nama, pangkat, kesatuan, dan tujuanmu di sini.”,
Teriak salah satu penjaga. Senapan semi-otomatis penjaga itu telah diarahkan ke
Lee dan Ascott, bersiap menembak.
“Prajurit
pangkat dua Lee dari Batalion ke-5 Pasukan serbu Angkatan Darat. Aku di sini
untuk mengantarkan tahanan ke markas gabungan Korea-Cina di Republik Rakyat
Cina. Aku mendapat perintah rahasia dari otoritas tertinggi intelejen Cina
untuk membawa tahanan ini hidup-hidup. Dia memiliki informasi penting terkait
pergerakan musuh di semenanjung korea.”, Lee menjawab dengan
suara langtang. Tidak terdengar keraguan dalam setiap kata-katanya. Lee
menyampaikan kebohongan ini dengan percaya diri.
“Tahan!
Tetap di tempat!”, teriak penjaga tadi. Dia segera berlari
masuk ke dalam stasiun setelah memberi isyarat bagi rekannya untuk terus
mengawasi kedua orang asing ini. Beberapa menit berlalu. Akhirnya penjaga
tersebut kembali.
“Kalian
berdua boleh masuk. Ikuti aku.”, penjaga itu memberi
isyarat agar keduanya segera mengikutinya. Mereka masuk ke dalam stasiun dan
langsung menuju platform tempat kereta hitam yang mereka lihat di kejauhan
tadi. Enam orang bersenjata lengkap telah menanti kedatangan mereka. Prajurit
penjaga yang mengantar mereka memberi hormat kepada orang yang berdiri di
tengah kemudian berlari lagi kembali ke posnya.
“Jadi....ada seorang prajurit berpangkat dua
ingin menumpang kereta menuju perbatasan sambil membawa seorang gadis cantik
yang memiliki intelegen penting terkait pasukan musuh. Beruntung sekali
nampaknya.”, pria yang di tengah membuka mulut. Suaranya
berat namun lantang. “Perkenalkan, Letnan
Kim dari pasukan khusus Angkatan Darat. Siapa namamu, anak muda?”
“Prajurit
Lee, pak. Saya berasal dari pasukan serbu Angkatan Darat.”,
Lee langsung memberi hormat kepada Letnan kim yang memiliki pangkat lebih
tinggi.
“Prajurit
Lee, perkenalkan anggota kami. Ini Song, Joon, Shang, Rae, dan Han.”
Letnan Kim menunjuk satu per satu anak buahnya. Masing-masing dari mereka
mengangguk begitu namanya dipanggil.
“Yang
tadi mengantar kalian namanya Gu, sedangkan rekannya yang meunuggu di depan
bernama Park. Kurasa itu sudah semua. Sekarang....oh ya, aku belum berkenalan
dengan tawanan kita yang sangat cantik ini. Siapa namamu, nona muda?”,
Letnan Kimm memburu tatapan mata Ascott, tapi sang vampir bersikap acuh dan
memilih membuang muka. Lima detik berlalu, Ascott masih saja diam, enggan
berbicara dengan Letnan Kim.
“Namanya
Ascott Winstead, pak. Dia merupakan mata-mata musuh. Kami berhasil menangkapnya
ketika dia mencoba ‘menarik’ infomasi dari salah satu calon korban, seorang
komandan pasukan yang ingin menghabiskan malam di dekat pangkalan militer.”,
Lee memutuskan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu mewakili sang putri vampir
yang masih tetap diam.
“Ohh.
Sedikit pertanyaan, prajurit. Kau barusan mengatakan ‘kami’ dan yang kulihat
kau hanya sendirian saja membawa tahanan berbahaya. Dimana yang lain? Maaf, bukan
berarti aku tidak mempercayaimu atau bermaksud menuduh, tapi bukankah
seharusnya seseorang yang berpangkat setara letnan atau di atasnya yang biasa
ditugaskan membawa ‘aset penting’ semacam ini? Prajurit rendah memang terkadang
turut diajak menemani, tapi seperti kataku tadi, kau hanya sendirian.”,
Letnan Kim kembali bertanya.
“Saya
bisa mengerti kecurigaan anda, pak. Oleh karenanya, saya meminta izizn untuk
memberi penjelasan, pak!”, Lee membalas.
“Izin
diberikan!”, Jawab Letnan Kim.
“Kemarin
kami sedang dalam perjalaan kemari menggunakan konvoi mobil. Turut dalam
rombongan adalah dua letnan, dua prajurit pangkat dua yang salah satunya adalah
saya, dan tahanan sendiri. Pada kisaran waktu siang hari konvoi kami diserang
oleh tiga pesawat tempur milik sekutu, yang saya duga selanjutnya menyerang
kota ini. Saya dan tahanan berhasil selamat, namun anggota yang lain semuanya
tewas di tempat. Sesuai dengan perintah terakhir yang diberikan, saya harus
mengantarkan tahanan ini apapun yang terjadi ke pihak intelegen Cina.”,
Lee menyampaikan kronologi cerita yang dikarangnya sendiri dengan tenang.
“Memang
ada tiga pesawat yang kemarin menyerang dan menghancurkan sebagian besar kota.
Kejadiannya sangat tidak terduga, sangat cepat. Beruntung rel kereta ini masih
bertahan. Sekarang kami harus memindahkan semua peledak, amunisi, dan senjata
yang disimpan untuk cadangan suplai ke tempat yang lebih aman.”,
Letnan Kim menepuk salah satu peti kayu berisi amunisi. “kau beruntung, anak muda.”
“Satu
pertanyaan, kalau boleh, Pak.”, Lee memberanikan diri
bertanya. Ada satu hal yang mengganjal di pikirannya semenjak memasuki kota.
“Ya,
silahkan.”, Letnan Kim memberi izin bicara.
“Apa
yang terjadi dengan penduduk kota, pak? Kenapa saya tidak melihat satupun warga
sipil? Apakah mereka sudah lebih dahulu dievakuasi?”
“Ahh.
Itu rupanya. Hmm, bagaimana ya menjelaskannya? Awalnya memang agak kurang enak
didengar, tapi…mereka semua sudah mati.”
“Hah?!”,
Lee Kaget. Dia tak habis pikir, Apa yang sebenarnya terjadi? Ascott yang dari
tadi hanya diam mengalihkan pandangan perlahan mulai menunjukkan reaksi.
“Yah,
mereka semua sudah mati. Sebagian memang tewas dalam serangan mendadak kemarin.
Yang berhasil selamat mencoba melarikan diri dengan kapal dan kereta api.
Untungnya hal itu berhasil kami cegah.”
“Anda
pasti bercanda kan, pak? Heh, ‘cegah’? Apa maksud anda?”
“Tidak,
tidak. Saya cukup serius dengan hal semacam ini.”
“……”
“Jadi,
begini ceritanya…Setelah kejadian penyerangan mendadak kemarin, situasi serba kacau
balau. Semua orang histeris. Teriakan dimana-mana. Kami mendapat pesan kawat
dari Pusat untuk segera menenangkan orang-orang tersebut dan mengamankan
cadangan suplai amunisi yang disimpan di kota. Kami mencoba sebisanya untuk
melaksanakan perintah. Tapi sebaliknya, Orang-orang tidak tahu terima kasih itu
malah berebutan mencoba melarikan diri dengan membawa kapal dan kereta, padahal
seharusnya mereka memprioritaskan suplai amunisi dan persenjataan yang
merupakan amanat dari komando pusat. Akhirnya kami ‘terpaksa’ membuka tembakan,
terlebih setelah mereka menyalahkan kami atas serangan tersebut dan bahkan
mencoba melawan.”
Lee tertegun, dia tidak
percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Hal seperti itu harusnya tidak
mungkin terjadi. Dengan mulut gemetar, Lee kembali bertanya, “Lalu kemana seluruh mayat tersebut? Kenapa
saya tidak melihatnya ketika masuk stasiun tadi.”
“Ohh,
kami membuangnya ke laut, semuanya. Setidaknya sekarang mayat mereka jadi lebih
berguna sebagai dinding penghalang untuk mencegah pasukan musuh mendarat di
pantai, hahaha.”
Letnan Kim tertawa
terbahak-bahak. Anak buahnya mengikuti. Suara mereka dapat terdengar di segala
penjuru stasiun yang kini sepi. Lee hanya diam, rasanya dia mau muntah.
“Jadi,
nona Winstead, ya kan? Bagaimana kalau kau ‘menemani’ku sebentar? Bukannya itu
pekerjaanmu, memuaskan kebutuhan lelaki dan kemudian ‘mencuri’ rahasia mereka?
Mari kita lihat apakah kau bisa mencuri rahasia terdalamku.”
Letnan Kim mendekat. Kini dia telah berdiri di depan Ascott. Jarak mereka
berdua kurang dari setengah meter. Ascott masih mengalihkan pandangannya.
“Pak,
mohon maaf. Kereta sebentar lagi akan berangkat. Saya memohon izin agar segera
menaiki kereta. Saya harus mengantar tahanan ini secepatnya.”,
Lee menginterupsi Letnan Kim.
“Aku
tidak bicara denganmu, prajurit! Aku bertanya pada wanita muda ini.”,
Letnan Kim tersinggung dengan sikap prajurit Lee. Nada bicaranya mendadak naik.
“Cihh....Kau
pikir aku mau menemanimu, dasar babi komunis. Tidak sudi aku mencemari tubuh
ini dengan keringat baumu. Lagipula aku tidak yakin kau mempunyai rahasia
apapun yang layak disimpan. Palingan hanya bualanmu saja.”,
Ascott akhirnya membuka mulut. Mata birunya menatap tajam sang letnan. Ada
amarah dan rasa muak yang terpancar dari tatapannya itu. Bulu kuduk Letnan Kim
merinding, ada perasaan terancam menyelimuti dirinya. Tangan kanannya mencoba
meraih pistol yang disarungkan di balik jaket kulit. Tiba-tiba.....
“Thumpp!!”,
Suara pukulan benda tumpul terdengar nyaring. Ascott mendadak tersungkur ke
lantai. Rupanya Lee telah memukul bagian kiri kepala Ascott menggunakan gagang
senapan hingga membuatnya kehilangan keseimbangan dan jatuh.
“Tutup
mulutmu, wanita jalang! Beraninya kau menghina seorang letnan. Sekarang, diam!!
Dasar pembawa sial!!”, Hardik Lee.
“Pak,
tolong izinkan saya membawa pelacur ini keluar dari sini segera. Semakin cepat
saya membawa wanita ini ke markas intelegen Cina akan semakin baik untuk
pasukan kita dan tentunya membantu kita memenangkan perang. Lagipula, wanita
ini terus membawa sial. Kemarin saya hampir dimakan harimau gara-gara pelacur
satu ini. Pak, anda tentunya tidak ingin tertimpa sial juga kan? Kalau kita terus
berdiri saja di sini kemungkinan pesawat musuh menyerang kembali akan sangat
besar.”, Lee menyampaikan desakan terakhir. Jika ini
tidak berhasil maka selanjutnya senapan yang akan berbicara.
“Oke.
Oke. Oke. Pasukan! Percepat langkah kalian! Masukkan peti-peti ini!!”,
Letnan Kim memberi komando kepada anak buahnya. Segera peti-peti yang tersisa
dinaikkan ke gerbong lokomotif.
“Dan
untukmu anak muda, segera suruh pelacur ini berdiri dan ikuti aku. Kalian akan
naik di gebrong terakhir. Cuma itu ruang kosong yang tersedia. Ingat! Tidak ada
pelayanan VIP di kereta ini.”, Letnan Kim menunjuk ke
arah Ascott dan bergegas pergi ke gerbong belakang. Akhirnya, pikir Lee.
Lee segera menarik lengan
Ascott yang masih tersungkur di lantai dan membantunya berdiri. Ascott berbisik
pelan ke telinga Lee. Nada bicaranya seakan penuh keluh-kesah. “Kenapa kau memukulku tadi? Sakit, tahu.”
“Kau
tadi melempariku dari belakang dengan batu. Sekarang kita impas.”,
jawab Lee dengan suara yang sangat kecil untuk menghindari kecurigaan para
tentara yang sedang memuat peti ke atas gerbong kereta.
“hmmpphh....”,
Ascott berusaha menahan kegeliannya terhadap sikap Lee yang tak mau kalah. Lee
juga berusaha sekeras tenaga menahan senyuman di wajahnya.
“Bantu
aku. Akibat pukulanmu tadi badanku langsung lemas. Sepertinya tenagaku
benar-benar akan habis.”, Ascott memberi perintah
pada Lee. Entah apakah sang vampir sekedar bercanda atau memang serius. Lee
hanya bisa menyanggupi.
“Baiklah,
Tuan puteri.”
“Ayo!
Sedikit dipercepat! Kita dikejar waktu.”, Letnan Kim menepuk
tangannya berkali-kali. Pria berbadan besar ini nampak emosi namun berusaha
dikendalikannya.
Lee membopong Ascott
melintasi platform. Lee menjepit tangan Ascott yang masih terborgol dengan
tangannya. Sang vampir berjalan tertatih-tatih, beberapa kali dia mengeluarkan
suara kesakitan yang berusaha ditahannya. Keringatnya perlahan mengucur.
Badannya mulai terasa panas lagi. Lee tidak tega menyaksikan penderitaan Ascott
yang kini berpegangan padanya, namun dia tidak ingin penyamaran mereka
terbongkar. Lee berusaha sekuat tenaga menyeret Ascott meski sang vampir terus
mengeluh kesakitan.
Sesampainya di ujung
Platform, Letnan Kim menunjuk ke pintu yang terbuka di gerbong belakang. “Sekarang silahkan naik dari sini. Ingat
kataku tadi, tidak ada pelayanan VIP di sini. Duduklah dimana saja tapi
hati-hati dengan kotak-kotak di dalam. Ada banyak bahan peledak di sana.”,
Komando dari Letnan Kim terdengar serius.
Lee melongok ke dalam
gerbong kereta. Gerbong itu gelap. Samar-samar terlihat tumpukan peti kayu tak
berlabel memenuhi hampir sebagian besar ruang gerbong. Ada sedikit ruang kosong
di bagian paling belakang, persis di diekat dinding belakang gerbong tersebut.
Ukurannya sangat kecil. Mungkin untuk dua orang akan sangat sempit. Tidak ada
kursi atau tempat duduk di sana, hanya tumpukan peti kayu yang disusun
mengelilingi ruang kosong tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi Lee dan Ascott
selain duduk berhimpitan di lantainya.
“Saya
rasa ini tidak jadi masalah, pak.”, ucap Lee setelah
melihat kondisi gerbong tersebut.
“Kalau
begitu segeralah naik. Hati-hati dengan tahanannya, jangan dilepas....Hei,
kelihatannya ‘aset’ kita ini tidak enak badan. Padahal semenit yang lalu wanita
jalang ini sangat lancang denganku. Hahaha, nampaknya pukulanmu tadi membuatnya
gegar otak. Jangan sampai ketika kau tiba di markas dia berubah jadi tidak
waras. Bisa-bisa kita tidak jadi mendapatkan intel musuh. Hahaha”,
Letnan Kim memperhatikan kondisi Ascott yang perlahan semakin lemah.
“Hei....Lee....tolong....”,
Ascott berusaha memanggil Lee. Suara Ascott terdengar sangat lemah. Matanya
terpejam. Dia menginggau.
“Hmm??
Kenapa dia memanggil namamu seperti itu, prajurit?”,
Letnan Kim memfokuskan pandangannya ke Ascott yang mulai
tertidur kemudian menoleh ke arah Lee. Tatapan matanya tajam.
“Aku
juga tidak tahu, pak. Mungkin dia hanya menginggau.”,
Lee berusaha menjawab dengan hati-hati. Letnan Kim nampak mencurigai sesuatu,
ini membuatnya agak sedikit cemas. Dia harus segera mengalihkan pembicaraan.
“Terima
kasih, Pak atas bantuannya. Akan saya sampaikan ke markas intelegen kalau anda
dan pasukan anda telah sangat berjasa membantu saya mengantarkan tahanan ini
hingga selamat sampai tujuan.”
“Yah..yah..yah!
Sekarang cepat naik! Sudah waktunya kereta ini berangkat.”,
jawab Letnan Kim, singkat. Dia tidak terlalu menggubris ucapan Prajurit Lee.
Tingkah Ascott tadi membuatnya sedikit curiga.
Lee segera membantu Ascott
naik ke atas gerbong kereta. Begitu keduanya telah naik, Letnan Kim segera
memberi komando kepada pasukannya untuk menyelesaikan pengangkutan peti dan
memberi aba-aba agar masinis kereta segera berangkat. Mesin kereta dinyalakan
sepenuhnya. Suara yang keluar dari mesin dan cerobongnya sangat keras Perlahan,
roda lokomotif mulai berputar. Kereta itu mulai berangkat meninggalkan platform.
“Hei,
prajurit. Semoga Sukses.”, ucap Letnan Kim dengan
lantang.
“Siap,
pak. Sekali lagi, terima kasih.”, jawab Lee sembari
berdiri di pintu gerbong.
“Titip
salam untuk Jenderal Wei di Markas Intelejen. Bilang padanya kalau setelah
perang berakhir aku bakal mengajaknya minum lagi di tempat biasa.”
“Ya,
pak. Akan saya sampaikan langsung salam dari Bapak.”
Tiba-tiba, raut muka Letnan
Kim berubah. Wajah yang sedari pertama kali bertemu sangat tenang berubah
menjadi merah. Ada kemarahan terpancar dari mukanya.
“Anak
muda...kau membuat kesalahan fatal. Aku tadi hanya bercanda, tapi tampaknya
kecuriganku memang benar adanya. Tidak ada yang namanya Jenderal Wei di markas
intelejen. Pengkhianat!!”
“Pasukan,
segera hentikan kereta dan tembak pengkhianat itu! Kita tidak boleh membiarkan
mereka kabur!”, Letnan Kim meneriakkan perintah kepada
pasukannya. Dikeluarkannya pistol dari balik jaket, kemudian ditembakkannya ke
arah Lee. Bawahannya langsung mengikuti dengan menembakkan senapan
semi-otomatis mereka ke gerbong yang dinaikki Lee dan Ascott.
“Sial!”,
Komentar
Posting Komentar