Jalan Berliku Legalitas & Penjualan Video Games di Indonesia - Bagian 1
"Sebuah catatan sederhana yang terdiri dari dua bagian"
Video Games atau Gim Video merupakan media hiburan yang berkembang pesat di Indonesia. Dari sekedar mesin arcade atau “ding dong” yang merajalela di era 80an, sekarang video games tersebar di berbagai lini mulai dari mesin konsol Playstation Xbox, dan Nintendo yang bisa dimainkan di TV; komputer rumahan; hingga smartphones bertenaga android dan iOS. Bahkan video games juga dapat ditemukan dengan mudah pada teknologi yang masih cukup belia semacam Virtual Reality (VR). Semua orang bisa memainkan beragam gim, dari gim sinematik dengan budget & kualitas produksi tinggi semacam The Last of Us dan God of War Ragnarok, hingga game online HP yang bisa dimainkan beramai-ramai seperti Mobile Legends dan Player Unknown’s Battlegrounds (PUBG). Bila melihat satu-dua dekade kebelakang, mungkin tidak banyak yang menyangka gim akan berkembang sejauh ini.
Sesuai judulnya, artikel ini tidak akan membahas mengenai teknis perkembangan atau pembuatan video games. Topik semacam itu sangat luas dan memerlukan wawasan yang melimpah terkait industri video games, yang sayangnya tidak saya miliki saat ini. Artikel ini ingin mencoba mendalami aspek komersial video games di Indonesia dari kacamata seorang konsumen dan pemain video games umumnya. Segala yang tertulis dalam artikel ini hanyalah opini pribadi saya dan mungkin tidak mencerminkan seutuhnya data dan fakta di lapangan.
Untuk memulai artikel ini tentunya kita harus membahas topik yang paling dibenci industri hiburan manapun, baik itu film, musik, seri TV, buku, dan video games, yaitu: Pembajakan (pirating).
Pembajakan Video Games di Indonesia
Pembajakan merupakan istilah yang dipakai oleh industri hiburan ketika membahas peredaran media ilegal atau tidak berizin di pasar umum. Pada dasarnya, ini merupakan upaya segelintir orang yang tidak bertanggung jawab “mencuri” kekayaan intelektual hingga “memperdagangkannya kembali” demi profit dan merugikan pemilik atau pencipta aslinya. Dalam industri video games hal ini dilakukan dengan menyalin seluruh konten permainan dari sumber aslinya lalu menjualnya kembali kepada konsumen tanpa seizin pembuatnya.
Seperti film dan musik, video games telah sejak awal dibajak oleh orang-orang dan bebas diperdagangkan di Indonesia. Kerap kali harga produk bajakan yang ditawarkan ini jauh lebih murah daripada produk aslinya. Hal ini sangat terasa pada akhir 90-an dan awal dekade 2000-an. Kemajuan teknologi semacam Compact Disc (CD) dan internet “membantu” para pembajak memperoleh sumberdaya dan metode yang memungkinkan mereka membajak video games yang sebagian besar merupakan buatan Jepang atau Amerika Serikat dan benua Eropa. Pada periode ini, mesin konsol Playstation 1-2 dan Nintendo Gamecube beredar luas di masyarakat. Berdiri tempat-tempat usaha semacam rental playstation yang menyewakan konsol ini sebagai alternatif untuk anak-anak dari keluarga yang tidak mampu atau memiliki penghasilan pas-pasan. Seperti halnya pusat arcade, bisnis semacam ini cukup booming dan laku keras.
Kelemahan yang segera dirasakan oleh pemilik konsol dan bisnis rental adalah harga video games itu sendiri yang cenderung mahal. Selain ongkos produksi setiap judul video games yang terus merangkak naik, pembuat konsol gim memiliki strategi untuk menjual mesin mereka dengan harga murah (dan bahkan merugi) yang lalu diimbangi dengan layanan purnajual dan harga penjualan video games yang jauh lebih mahal. Model bisnis semacam ini tentunya dianggap tidak menggairahkan di negara berkembang seperti Indonesia. Sebagian merasa enggan untuk membayar produk yang bisa dinikmati dan diselesaikan dalam waktu 4-8 jam, namun dengan harga yang jauh lebih tinggi dari alternatif lain; seperti tiket bioskop atau buku novel dan komik. Terlebih jika mereka ingin mengkonsumsi banyak judul setiap tahun atau bahkan bulan. Akhirnya banyak yang memilih untuk membajak gim yang jauh lebih murah dari membeli produk orisinil.Yang cukup mengenaskan adalah produk-produk ini lantas diperdagangkan secara bebas dan terbuka. Mulai dari penjual pinggir jalan hingga toko dan mall terang-terangan menjual gim bersama produk bajakan lainnya, seperti film dan musik. Konsumen yang tidak memiliki wawasan yang cukup mungkin tidak akan mengetahui bahwa membeli gim-gim bajakan ini termasuk kejahatan dan bentuk pelanggaran hak cipta. Pemerintah dan penegak hukum juga tidak secara tegas mencegah atau memberantas pembajakan di Indonesia. Seringkali kita membaca berita tentang razia perdagangan produk pornografi, namun tidak untuk film atau gim bajakan. Selama bertahun-tahun gim-gim bajakan terus merajalela di masyarakat.
Pembajakan ini tidak terbatas pada film, musik, atau video games saja. Ketika ditanyakan tentang potensi pasar di Asia pasifik, petinggi Microsoft menyayangkan tingginya angka pembajakan software mereka di Indonesia. Ini mungkin salah satu alasan kenapa Microsoft yang juga memiliki usaha konsol video games Xbox enggan membuka cabang resmi atau menjual mesinnya di pasar Indonesia. Bisa diasumsikan reputasi Indonesia sebagai salah satu pusat pembajakan sudah tersebar hingga ke tingkat internasional.
PC Sebagai Primadona Baru
Ketika pemerintah setempat enggan mengatasi pembajakan video games yang terus merajalela, maka pembuat video games hingga konsol yang harus “turun tangan” untuk memerangi budaya ini. Selama bertahun-tahun perusahaan konsol dan video games berusaha menemukan cara menghambat pembajakan produk mereka. Perusahaan semacam Sony, Nintendo, dan Microsoft terus meningkatkan fitur keamanan mesin konsol dan firmware mereka tiap peluncuran konsol generasi baru. Fitur-fitur keamanan ini bertujuan “menolak” memainkan video games bajakan dan mencegah mesin mereka “dibobol” untuk memperbolehkan emulasi, bypass, dsb. Dengan semakin canggihnya fitur keamanan ini turut mempersulit orang awam membajak game mereka.
Selain itu, pembuat video games dan software menemukan solusi mereka sendiri. Aktivasi kunci atau password, koneksi ke internet untuk pengecekan otomatis, hingga menyelipkan protokol DRM (Digital Rights Management) ke dalam program dan CD menjadi solusi-solusi yang coba diterapkan. Tentunya ada keuntungan dan kerugian dari setiap metode yang dipakai. Pembuat video games pun harus terus berlomba dengan pelaku pembajakan yang terus mencoba menemukan celah dalam program yang mereka gunakan.
Memasuki era 2010-an, iklim pembajakan video games perlahan berubah drastis. Bila dulu sangat mudah untuk membajak gim di konsol Playstation 2, memasuki era Playstation 3/Xbox 360 dan Playstation 4/Xbox One hal yang serupa tidak langsung terjadi. Firmware dan protokol software di mesin-mesin ini cukup sulit dibobol dan memerlukan waktu yang tidak singkat. Selain itu, naiknya harga pasar konsol tiap generasi baru turut mendorong turunnya omset usaha rental permainan yang harus berinvestasi cukup besar untuk mendatangkan mesin baru dan aksesorisnya. Di era ini juga kita melihat perkembangan smartphone dan internet berkecepatan tinggi. Dengan teknologi smartphone yang semakin canggih memungkinkan dibuatnya video games yang cukup kompleks semacam Angry Birds, Cut The Rope, Temple Run, hingga Subway Surfers. Video games smartphone mulai menjelma menjadi potensi pasar yang menggiurkan.
Hal menarik lainnya yang turut saya perhatikan di era ini adalah peningkatan kecepatan internet di Indonesia yang memungkinkan komunikasi dan peredaran informasi yang lebih cepat. Di ranah video games terobosan ini sangat terasa dengan semakin prominennya video games online seperti Counter Strike dan DOTA yang memungkinkan sesi gaming dimainkan beramai-ramai dengan berbagai orang dari berbagai belahan dunia secara spontan atau tanpa jeda/lag.
Kedua faktor ini beserta faktor lainnya turut mendorong pergeseran tren pemain video games di Indonesia dari konsol PS dkk beralih menjadi Personal Computer (PC) dan laptop. Komputer menjadi alternatif yang menggiurkan bagi pemain, khususnya generasi muda. Dengan semakin terbukanya wawasan pemain Indonesia berkat internet dan popularitas gim Counter Strike dan DOTA yang terus di-update berkala menjadikan PC sebagai pusat permainan yang bisa digunakan untuk jangka panjang. Selain itu, berbeda dengan konsol yang hanya mampu memainkan gim dan beberapa jenis media lainnya seperti film, PC merupakan perangkat serba lengkap (all-in-one machine) yang bisa digunakan untuk kerja dan produktivitas lainnya di luar gaming.
Sepanjang 2010an hingga memasuki 2020an, PC dan laptop menjelma dari alternatif konsol bagi generasi muda yang melek tekonologi menjadi salah satu perangkat wajib yang harus dimiliki selayaknya smartphone atau display tab. Ini juga didukung dari sisi perkembangan dan perdagangan software video games yang pada periode mulai beralih menjadi produk digital. Perkembangan video games digital di PC pada periode ini dapat dirangkum dalam satu kata: Steam.
-----
Berlanjut ke Bagian Kedua
Komentar
Posting Komentar