Shaun of The Dead - Sebuah Ulasan

Zombie merupakan salah satu pondasi utama film bergenre Horror dewasa ini. Film-film seperti Dawn of The Dead, 28 Days Later, Zombieland, bahkan Resident Evil merupakan sebagian kecil contoh film Zombie yang sukses di pasaran. Tidak terbatas di layar perak, Serial TV seperti Walking Dead yang diangkat dari komik berjudul sama juga meraih popularitas yang tidak main-main. Kesuksesan film-film tersebut membawa nama rombongan mayat hidup yang hobi memakan daging manusia ini ke ranah yang lebih luas dalam kehidupan modern.
Kali ini kita bakal membahas salah satu film Zombie yang mencoba ‘mematahkan’ aturan, norma, dan konsep yang umum dimiliki sebuah film horror Zombie dengan membanting setir ke komedi. Yups, kita akan membahas film “Shaun of The Dead” karya Edgar Wright.
Sutradara muda asal Inggris, Edgar Wright, memulai karir sebagai sutradara sejumlah video klip musik dan serial TV di negeri Ratu Elizabeth II. Dia mulai dikenal publik semenjak menjadi sutradara serial TV “Spaced” yang ditulis dan bintangi oleh komedian ternama Simon Pegg, Jessica Hynes dan Nick Frost, bersama bintang-bintang kenamaan Inggris lainnya. Serial ini sukses besar hingga akhirnya memberi ide bagi Wright, Pegg, dan Frost untuk membuat film horror komedi berjudul “Shaun of The Dead”. Film ini menjadi awal kolaborasi panjang antara 3 insan yang lalu menelurkan dua film lagi dan kini dikenal sebagai 3 Flavors of Cornetto trilogy (didasarkan pada penampakan tiga jenis es krim Cornetto di ketiga film).
Sebenarnya ini bukan kali pertama Wright mencoba peruntungan di layar perak. Film pertamanya adalah sebuah film western dengan bumbu komedi berjudul “A Fistful of Fingers”. Judulnya sendiri merupakan plesetan dari film spaghetti western terkenal berjudul A fistful of Dollars. Edgar Wright termasuk tipe sutradara yang gemar mereferensikan atau menyelipkan beragam benda budaya pop dalam karyanya, tidak hanya judul belaka. Sayang film dengan budget sederhana ini tidak begitu banyak mendapat perhatian apalagi memperoleh investor (distributor). Melalui “Shaun” akhirnya nama Edgar Wright mulai diperhitungkan di kancah internasional dan meluncurkan karir Simon Pegg di Amerika.
Apa yang membuat “Shaun of The Dead” begitu spesial di mata pecinta film? Selain karena terinspirasi langsung dari film-film George A. Romero, sebagian menyatakan bahwa skrip dan rentetan dialog yang terlampau lucu dalam sebuah situasi horror menjadi faktor utama, sebagian lain mengatakan bahwa gaya unik penyutradaraan Edgar Wright merupakan suatu pencapaian yang bakal sulit dijiplak orang lain, sebagian lain juga mengatakan bahwa timing komedi dan performa para aktor yang ‘over the top’ menyajikan tontonan yang fresh bagi penonton yang bosan dengan komedi amerika.
Mari kita telisik lebih jauh poin-poin penting yang memberi nilai tambah film ini.

Daring Quick Cuts & Actions

Edgar Wright merupakan sutradara yang handal menangani komedi, terutama yang berkaitan langsung dengan visual. Berbeda dengan slapstick/ physical comedy yang seringkali hanya mengandalkan kemampuan aktor mengolah bahasa tubuhnya untuk menyajikan humor sedangkan kamera lebih banyak diam atau memberi frame cukup lebar demi kebebasan performa aktor tersebut, maka Wright merupakan kebalikannya. Meski para pemain diam di tempat atau sekedar menyampaikan dialog singkat, sutradara satu ini mampu menemukan cara unik untuk memasukkan informasi visual atau lelucon yang organik ke dalam frame.
Wright termasuk sering mengandalkan matching transition, quick cut, hingga crash montages untuk menyajikan informasi sebanyak mungkin tanpa mengorbankan ritme dan alur plot. Didukung dengan kemampuannya menyesuaikan antara timing humor dan pendukung visual lain seperti efek suara dan ritme musik. Bahkan dalam beberapa adegan terdapat informasi penting hingga foreshadowing yang berhasil ditanamnya sehingga ketika menonton ulang untuk kedua, ketiga atau keempat kalinya demi menemukan detail tersembunyi akan lebih berkesan.

Musik, Musik, dan… Pop Kultur
Seperti yang sdh disinggung di atas, musik memegang peranan penting dalam film Edgar Wright hingga saat ini. Dalam Shaun of The Dead terdapat beberapa momen berkaitan dengan musik yang langsung tertanam di otak penonton, mulai dari koleksi piringan hitam Shaun hingga pengeroyokan zombie di bar diiringi lagu “Don’t Stop Me Now” oleh band Queen yang sangat pas. Ini bukan sekedar kebetulan belaka. Wright mengawali karirnya sebagai sutradara dengan mengarahkan video musik untuk band dan musisi di Inggris. Wright terus mengasah skill-nya memadukan film dan musik. Tendensi ini terlihat jelas di film-film selanjutnya semacam “Scott Pilgrim vs The World” dan “Baby Driver”.
Selain musik, Edgar Wright dan timnya kerap memasukkan referensi film atau tren pop kultur dalam cerita yang mereka buat. Shaun of The Dead jelas terinspirasi dari seri film Zombie karya George A. Romero khususnya Dawn of The Dead. Wright memadukan ide cerita horror ini dengan humor dan budaya Inggris hingga berbagai tropes yang kerap bermunculan di film, semacam Chekov’s Gun. Hasilnya cukup efektif mengingat film ini juga dibuat dengan budget yang sangat terbatas dibandingkan film blockbuster Hollywood.

Demikian review singkat saya tentang “Shaun of The Dead”. Meskipun tidak saling berkaitan, saya sangat menyarankan untuk menonton keseluruhan trilogi Cornetto buatan Edgar Wright yang cukup mengasyikan.
Berikut sejumlah rekomendasi film yang memiliki tema atau estetika serupa.

  • Night of The Living Dead. Film yang kerap dicap sebagai pionir genre horror zombie. Disutradarai oleh maestro George A. Romero dengan budget terbatas, film hitam-putih ini cenderung revolusioner di masanya. Film ini mengisahkan sekelompok orang yang harus melindungi diri di sebuah rumah dari invasi zombie sembari menanti datangnya bala bantuan. Romero menggunakan aktor-aktor amatiran di film ini. Dia juga cukup berani menjadikan pria kulit hitam sebagai tokoh utama/pahlawan di era segregasi antara orang kulit putih dan orang kulit hitam yang menjadi isu nasional di Amerika Serikat.
  • Sing Street. Mengisahkan seorang remaja pindahan di Irlandia pada era 80an yang jatuh cinta dengan seorang gadis cantik. Demi memenangkan hati idamannya, sang remaja nekat membentuk band dan mencoba membuat musik serupa band-band semacam A-ha, Duran Duran, dll. Film yang disutradarai oleh John Carney ini menggambarkan pahit dan manisnya masa remaja diiringi lagu-lagu orisinil yang tak kalah kece.
  • I Am Legend. Adaptasi ketiga dari novel klasik berjudul sama karya Richard Matheson. Berbeda dengan “Last Man on Earth” yang dibintangi Vincent Price dan “Omega Man” yang dibintangi Charlton Heston, film yang dibintangi Will Smith ini mengganti makhluk serupa vampir yang menjadi musuh di film dengan zombie dan menempatkan setting cerita di era modern. Masih sama dengan adaptasi sebelumnya, film ini menggambarkan bagaimana kehidupan tokoh utama sebagai “Manusia Terakhir” paska kiamat yang mengakibatkan populasi manusia punah atau berubah menjadi monster zombie yang keluar di malah hari.
  • The Gentlemen. Film gangster inggris kesekian dari sutradara Guy Ritchie. Mengisahkan sepak terjang bandar narkoba dan kelompok gangster yang dipimpinnya di Inggris era modern. Kelompok ini harus menghadapi ancaman dari geng rival, investor Amrik yang licik, pembunuh bayaran, hingga wartawan tabloid yang mencoba mengekspos “bisnis” mereka. Serupa dengan “Lock, Stock and Smoking Barrels”, “Snatch”, hingga “Rocknrolla”, film aksi komedi ini menyajikan humor dan budaya Inggris kental yang menjadi ciri khas Guy Ritchie.
  • Pulp Fiction. Film kriminal yang disutradarai oleh Quentin Tarantino ini menggabungkan kecintannya terhadap film, seri tv hingga musik ke dalam satu paket unik. Menggunakan alur cerita non-linear, Tarantino mencoba menyajikan cerita yang penuh kejutan, mengasyikan, dan tetap saling terhubung via berbagai tokoh yang diperkenalkan sepanjang film. Mengisahkan dua orang pembunuh bayaran yang harus memperoleh kembali paket penting milik bos mereka. Dari sini plot pun berkembang ke arah yang tak terduga. Pulp Fiction ibarat eksperimen naratif berbagai cerita di luar nalar yang entah bagaimana bisa terasa masuk akal dan membumi.


Selanjutnya: King’s Ransom….

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persidangan Meja Makan - Pengalaman Membuat Film Pendek

Dilema Pelukis Bernama “Kecerdasan Buatan”

PORTOFOLIO DESAIN GRAFIS