Informasi Resi - Bagian 2
Suatu hari, rekan Fajar sesama pemulung yang lebih tua lima tahun darinya, Ian, melakukan hal aneh di sela-sela istirahat rutinitas mereka. Dia membongkar tiap bungkusan dan kemasan di pick-up dan memungut sejumlah sobekan kertas kecil. Fajar bertanya apa yang dilakukannya. Iwan menjawab.
“Ini gue ada peluang bisnis baru. Tertarik gak?”, ujarnya seraya tersenyum lebar.
“Gak. Palingan yang aneh-aneh lagi.”, jawab Fajar ketus.
“Ehh, dengar dulu lah.” Ian duduk di sebelah Fajar. “Loe liat ini kan?”, dia mengibaskan kertas yang dipungutnya tadi di depan muka Fajar. Itu adalah kertas resi paket belanja online. Terpampang jelas nama, alamat, dan nomor telepon penerimanya.
Fajar diam tak peduli.
“Jadi gini. Kemarin ada orang nanya-nanya gitu di jalan. Katanya dia dari semacam perusahaan jasa sedang nyari data-data masyarakat untuk disurvei, khusus yang suka belanja online. Dia nawarin uang jika gue bisa ngumpulin kertas ini.”
“Ohh.”, Fajar mulai menunjukkan ketertarikannya. Dia merasa ada yang aneh dengan cerita tersebut. “Untuk apa orang itu mengumpulkan sobekan resi begituan?”
“Katanya sih untuk survei pemilu semacamnya. Pengen melihat hubungan antara daya beli masyarakat dengan pre.... preve... ya, preferensi pada partai bla bla bla. Gue gak terlalu peduli begituan, yang penting uangnya. Lumayan loh.”, Ian tertawa kecil.
Ian mungkin tak begitu pintar, namun harusnya dia dapat menangkap maksud sesungguhnya orang tersebut. Orang waras macam apa yang menyuruh pemulung mengumpulkan data orang lain untuk survei politik yang tidak jelas.
“Bukan dipakai untuk penipuan?”, Fajar blak-blakan. Dia dapat mengasumsikan bahwa orang yang menyuruh Ian tersebut sedang mengumpulkan data orang-orang, khususnya nama dan nomor telepon untuk skema penipuan via telepon dan SMS. Mengingat zaman sudah semakin maju, mungkin juga via pesan WA yang sering Fajar dengar belakangan.
Dulu pernah ada skema penipuan serupa. Ketika orang-orang masih suka mengirimkan surat dan sebangsanya melalui pos, penipuan kartu pos cukup mewabah. Sayembara dan kuis berhadiah di masa itu kerap menyuruh orang-orang mengirimkan kartu pos sebagai syarat berpartisipasi dalam undian. Orang-orang yang tidak bertanggung jawab lantas memanfaatkan hal tersebut untuk menipu orang sebagai pemenang undian. Hadiahnya bermacam-macam dan seringkali berlebihan, semisal memenangkan mobil, emas, dan bahkan rumah. Padahal mereka hanya mengikuti undian untuk memenangkan merchandise di sebuah majalah atau semacamnya. Fajar mengetahui penipuan ini dari cerita bapaknya dan dari sampah surat-surat dan dokumen palsu yang dikirimkan para penipu. Dalam surat-surat tersebut kerap tertempel potongan kartu pos berisikan nama dan alamat “pemenang” sebagai “bukti” bahwa mereka telah memenangkan hadiah yang tak masuk akal. Dari potongan kartu pos itu jelas bahwa para penipu kemungkinan besar menggali tumpukan sampah penyelenggara lomba dan merangkai kembali potongan kartu pos yang telah dihancurkan mesin pemotong sebelumnya. Skema kali ini jelas tidak banyak berubah.
“Bisa jadi. Gue gak nanya kemarin. Tapi apa bedanya coba? Kan kita sama-sama dapat uang dan lagi bukan kita yang berbuat jahat. Orang-orang yang melakukan penipuan itu yang jahat.”, Ian bersikeras. Fajar tidak yakin dapat meyakinkannya untuk berhenti.
Ian merangkul Fajar dan mulai membisikkan sesuatu. Air muka Fajar langsung berubah.
“Beneran? Sebanyak itu uangnya?”, Fajar tidak percaya.
“Iya. Gimana? Kamu juga tertarik kan? Gini aja, bantu gue ngumpulin kertas-kertas...”
“Resi”
“Ya, resi. Terserah. Nanti kita bagi dua hasilnya. Gimana? Lumayan loh.”
“Biar gue pikir dulu.”
Ayolah. Gak usah pakai pikir-pikir segala. Habis ini gue bakal ketemu orangnya. Jadi kita harus mengumpulkan resi-resi ini sekarang. Oke?”
“Ok. 50:50 ya. Awas kalau kurang.”, jawab Fajar. Uang memulung sampah jauh lebih kecil dari yang ditawarkan Ian dan “bisnisnya”. Lagipula, benar katanya. Mereka tidak melakukan kejahatan. Mereka hanya mengumpulkan kertas bekas. Terserah orang yang membeli resi-resi ini akan menggunakannya untuk apa.
“Nah gitu dong. Tos dulu, gih!”, keduanya tos tangan di udara. Mereka langsung bergerak.
Fajar mulai memilah-milah sampah yang telah mereka kumpulkan di pick-up. Tidak banyak resi yang mereka peroleh. Fajar tidak habis pikir. Dia tahu harus mencari dimana. Dia mulai mengumpulkan sampah-sampah dari kost dan rumah yang diketahuinya rutin berbelanja online. Banyak mahasiswi rantauan yang membeli kosmetik dan sebangsanya secara online. Ketimbang mahasiswa yang juga membeli online jumlahnya jauh lebih kecil. Lagipula, lebih mudah untuk menargetkan perempuan daripada pria menurutnya.
Fajar secara efisien memprediksi lokasi mana saja yang pasti memiliki bungkusan sisa resi belanja atau kiriman paket. Tak lama berselang dia telah mengumpulkan banyak resi dengan nama dan nomor telepon yang tertera dari berbagai penjuru kelurahan. Tapi, ada satu pengecualian. Fajar tidak mengumpulkan resi dari kost Angela. Meski dia tidak mempermasalahkan mengumpulkan data pribadi orang-orang di kelurahan ini, dia tetap tidak tega untuk menyeret nama gadis yang disukainya dalam pusaran penipuan. Fajar memutuskan merahasiakan hal ini dari Ian. Mereka juga sudah mengumpulkan banyak untuk saat ini, jadi seharusnya tidak masalah.
Selesai mengumpulkan sampah dan kembali ke TPA, waktu sudah beranjak siang. Ian memaksa Fajar menemaninya bertemu dengan orang yang menjanjikan mereka uang. Setelah membersihkan diri sejenak, keduanya berangkat menuju sebuah warung kopi yang terletak tak jauh dari TPA. Ian memperkenalkan Fajar ke sang perantara. Rizal namanya. Penampilannya seperti seorang sales. Baju kemeja tipis biru dengan celana dasar dan sepatu kanvas hitam, serta sebuah tas selempang melengkapi penampilannya. Rizal tidak terlihat muda namun juga tidak terlalu tua. Rambutnya menipis ke belakang dan terlihat botak di depan. Kumis dan jenggot tipis samar-samar terlihat di wajahnya. Dia tersenyum bisnis saat berhadapan dengan keduanya. Tanpa basa-basi atau menawarkan minuman, dia langsung mempersilahkan Ian dan Fajar memperlihatkan hasil mereka.
Ian menyodorkan sebundel kertas resi paket yang telah diikat menggunakan karet gelang dalam sebuah bungkus plastik. Rizal membuka bundel tersebut dan meninjau satu-persatu nama yang tertera. Setelah puas, dia kembali mengikat bundel itu dan memasukkannya dalam tas yang dibawanya. Dari tas yang sama dia mengeluarkan amplop cokelat. Amplop itu berisi uang. Setelah meninjau isinya, dia mengeluarkan beberapa lembar uang, menaruhnya dalam tas, dan menyerahkan sisa uang beserta amplopnya kepada Ian.
“Terima kasih. Ini imbalannya seperti yang sudah dijanjikan sebelumnya.”, ujarnya dengan senyum bisnis yang masih menempel. “Saya menantikan yang selanjutnya. Kalau ada apa-apa nanti tinggal menghubungi saya langsung. Nomor saya masih disimpan kan?”
“Ya. Kalau sudah terkumpul lagi yang baru akan saya infokan”, balas Ian.
“Aku duluan kalau begitu. Permisi.” Rizal beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan tempat itu.
“Tanpa basa-basi lagi ya.”, bisik Fajar kepada Ian seraya menoleh menyaksikan sosok Rizal menghilang di balik keramaian.
“Ya. Namanya juga orang bisnis.”, jawab Ian. “Loe laper? Gimana kalau kita makan dulu? Kali ini tentunya gue yang traktir.” Dia mengayun-ayunkan amplop tersebut di muka Fajar.
“Boleh. Tapi pakai bagian loe. Sini! mana bagian gue??”, Fajar mencomot amplop tersebut dan mengambil setengah imbalannya yang telah dijanjikan.
“Ihh. Dasar gak sabaran.”, Ian menyikut Fajar. Keduanya tertawa.
Komentar
Posting Komentar