Labirin Tak Berujung - Bagian 3

Iwan perlahan membuka matanya. Di hadapannya terbentang langit berawan, namun kali ini lebih gelap dari yang diingatnya. Dingin, pikirnya. Dia mencoba bangun. Namun, mendadak sakit yang tak tertahankan menjalar ke seluruh badannya. Dia baru saja jatuh dari atap ketika mencari sinyal HP. Atau setidaknya itu yang dia rasakan. Langit sudah berubah gelap pertanda malam tiba. Sudah berapa lama dia pingsan? Sial.

Iwan mulai menggerakan badannya secara perlahan. Pertama jemarinya. Tidak masalah. Lalu lengannya. Agak berat, tapi dia bisa mengangkat keduanya. Iwan mencoba menggerakkan kepalanya. Bagian belakang kepalanya terasa dingin dan lengket. Air? Tangan Iwan mulai menyusuri bagian belakang kepalanya. Lengket sekali. Terasa seperti kecap. Ketika jari-jarinya menyentuh kulit kepala seketika terasa sengatan yang menyakitkan. Iwan melihat jemarinya. Darah. Oh tidak. Iwan kembali menyusuri bagian kepalanya sembari menahan sakit. Nampaknya tidak seberbahaya yang dipikirkannya. Tapi tetap saja, kepalanya kemungkinan besar bocor dan mempertimbangkan berapa lama dia terbaring pingsan bisa jadi dia telah kehilangan banyak darah.

Iwan mencoba bangun. Rasa sakit baru mendadak muncul. Kali ini dari kakinya. Dia mencoba menggerakkan kaki kanannya. Bisa. Lalu kaki kirinya. Kembali terasa sakit. Matanya langsung menyusuri kaki kirinya, mencari tanda-tanda patah atau semacamnya. Tidak ada. Iwan bangkit dan dalam posisi masih terduduk di lantai meraih celananya dengan kedua tangan dan mulai menarik pergelangan kiri celananya ke atas paha. Terdapat memar besar berwarna ungu kebiruan dekat tulang keringnya. Sakitnya beranjur menghilang namun dia kesulitan menggerakkan kaki kirinya. Iwan mengamati sekitarnya. Dia jatuh ke beranda lantai dua. HP miliknya terlempar tak begitu jauh darinya. Layarnya retak, tapi tidak sampai hancur berkeping-keping. Untuk sejenak dia mensyukuri nasibnya. Bila jatuh ke lantai satu barangkali dia takkan terselamatkan.

Sekarang bukan waktunya untuk bernafas lega. Iwan bergegas masuk ke dalam rumah. Akibat tak mampu berdiri, Iwan yang masih tersungkur harus merayap dan menyeret tubuhnya sendiri. Dia langsung meraih HP dan dengan susah payah merayap hingga ke kamar mandi. Terdapat keran shower di kamar mandi itu. Iwan berusaha keras membuka bajunya dan perlahan merayap menuju shower. Dia menyalakan keran. Air mengalir keluar. Nampaknya selain listrik, air ledeng juga berfungsi dengan baik. Iwan buru-buru membasuh kepalanya sembari menahan sakit. Setelah dirasa cukup, dia beralih membasuh memar di kakinya. Setelah beberapa saat kondisinya agak lebih baik.

Iwan bertanya-tanya kenapa hal semacam ini bisa terjadi pada dirinya. Apa salahnya? Apakah ini semacam cobaan? Hukuman? Apakah dia berada di neraka? Tidak. Dia harus memikirkan bagaimana caranya keluar dari tempat ini.

Perutnya mendadak berbunyi nyaring. Lapar. Sudah berapa lama dia terjebak di sini? Dia harus mengisi perutnya kalau tidak ingin segera mati, terlebih dia telah kehilangan banyak darah. Apa yang bisa dimakannya? Di rumah ini tidak terdapat apa-apa. Kosong. Satu-satunya pilihannya hanyalah air shower yang kini ada di depannya. Masa bodoh, pikir Iwan. Dia menempelkan bibirnya pada keran air dan mulai meminum air tersebut hingga perutnya kembung. Setidaknya kini dia tidak lagi kelaparan.

Terdengar suara kencang dari luar rumah. Diikuti guncangan yang cukup besar. Gempa? Bukan. Rasanya lebih dekat. Suara itu semakin kencang. Iwan menyeret dirinya ke arah jendela. Dia mencoba mengintip keluar. Malam itu sangat gelap. Langit berawan membuat cahaya rembulan hampir tidak terlihat sama sekali. Hanya lampu-lampu jalan dan lampu halaman rumah yang menerangi malam. Perlahan kabut pekat datang menggulung. Iwan mencoba melihat ke arah kabut itu berasal. Tiba-tiba guncangan hebat kembali terasa. Suara kencang itu kembali terdengar lebih jelas. Semacam rontahan hewan bercampur suara batu dan kayu jatuh dan berhancuran. Hewan? Dia tidak dapat mengingat hewan apa yang mengeluarkan suara “aneh” begitu. Sejauh yang bisa dia tangkap suara itu lebih menyerupai suara dinosaurus yang didengarnya di TV, tapi lebih mengerikan.

Iwan terus mencoba melihat ke asal suara tersebut. Gelapnya malam dan pekatnya kabut yang datang dari arah yang sama membuatnya tidak dapat memastikan apa yang tengah dilihatnya. Sosok itu perlahan mendekat ke arahnya. Itu bukan hewan. Jelas dari siluetnya sosok itu sangat besar. Lebih besar daripada rumah dua lantai. Bulu kuduk Iwan mulai merinding. Dia tidak dapat mempercayai apa yang dilihatnya. Raksasa? Monster? Makhluk itu tertutup gelap malam dan kabut pekat, namun Iwan yang masih terus mengintip dari balik jendela dapat memperhatikan beberapa detail yang di luar nalarnya. Sayap-sayap besar berjumlah lebih dari dua dan bersisik layaknya ular dan kadal. Lengan-lengan yang lentur layaknya tentakel berukuran raksasa dan mengeluarkan lendir berkilauan. Badan yang menyerupai hewan berkaki empat namun tanpa kaki melainkan taring-taring panjang yang saling bergesekan sepanjang jalan. Lalu, kepalanya. Kepalanya. Kepalanya. Dia tidak dapat menggambarkan wujud tersebut. Apakah itu mata atau mulut? Dimana telinganya? Hidungnya? Jumlahnya tak terhitung banyaknya. Instingnya meronta. Dia dalam bahaya. Namun dia tidak dapat memalingkan perhatiannya dari makhluk tersebut.

Makhluk itu “berjalan” pelan seolah sedang mencari sesuatu. Kabut yang kelewat pekat membuat Iwan kesulitan memastikan apa yang makhluk tersebut tengah lakukan, namun yang pasti sosoknya terus mendekat. Suara reruntuhan semakin kencang. Iwan memperhatikan seraya tentakel makhluk itu bergerak ke sana kemari diiringi suara reruntuhan dan “rontahan” yang sulit dideskripsikannya.

Baginya, makhluk itu terlihat bagaikan hewan malam yang sedang keluar berburu mangsa. Tapi tidak ada apa-apa di perumahan ini. Tidak ada makhluk hidup satupun, kecuali dirinya. Mungkinkah “mangsa” yang dicari makhluk itu adalah dirinya? Menyadari hal tersebut, Iwan langsung menjauh dari jendela. Dia berusaha keras menyeret badannya ke salah satu sudut ruangan yang jauh dari jendela. Tangannya gemetar. Nafasnya memburu. Iwan lekas menutupi hidung dan mulut dengan kedua tangannya, berharap predator itu tidak mendengar suara nafasnya. Indra pendengarannya menajam. Dia berusaha mendengar dengan seksama apa yang dilakukan predator dari balik kegelapan.

Terdengar krasak-krusuk dari seberang jalan, lalu semacam suara cambukan, diikuti dengan suara bangunan ambruk. Iwan dapat membayangkan apa yang terjadi. Predator itu tengah mencari mangsanya. Suaranya semakin dekat. Iwan hanya bisa berdoa meski dia tahu itu tak ada gunanya. Terdengar krasak-krusuk di lantai satu. Suaranya semakin kencang. Dia mencoba mengintip ke bawah tangga. Ada sesosok bayangan menyerupai ular raksasa yang melayang di udara. Itu adalah tentakel predator. Iwan tersudut. Sebelum dia sempat berbuat apapun, tentakel tadi lebih dulu “mundur”. Kini terdengar suara gesekan antara jalan dan objek tajam yang mengikis trotoar perlahan menjauh. Predator itu telah beranjak pergi bersama dengan kabut yang mulai menghilang.

Iwan menarik nafas lega. Jantungnya berdebar kencang seolah mau copot. Kesadarannya mulai memudar. Wajar saja. Dia telah kehilangan banyak darah dan kengerian yang baru saja dia saksikan membuat sistem tubuhnya semakin kacau. Iwan jatuh pingsan untuk kedua kalinya hari itu.

.....

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persidangan Meja Makan - Pengalaman Membuat Film Pendek

Dilema Pelukis Bernama “Kecerdasan Buatan”

PORTOFOLIO DESAIN GRAFIS