Labirin Tak Berujung - Bagian 4

Dinginnya lantai membangunkannya dari tidur. Iwan mencoba duduk dan menganalisis situasinya sekarang. Apa yang disaksikannya semalam ibarat film monster yang menjadi kenyataan. Sekujur tubuhnya merinding membayangkan situasi semalam. Dia harus segera keluar dari perumahan ini.

Iwan mencoba merasakan luka di kepala dan memar di kakinya. Tidak lagi terasa sakit ketika disentuh. Dia lalu mencoba berdiri. Setelah beberapa kali gagal, Iwan kini dapat berdiri sempoyongan. Dia mencoba berjalan. Memar kakinya membuatnya sulit berjalan apalagi berlari. Namun dia tidak punya pilihan. Iwan mengecek HP-nya yang jatuh kemarin. Layarnya retak, namun masih menyala. Syukurlah. Dia melihat foto terakhir yang diambilnya kemarin. Sebuah bangunan bertingkat yang cukup tinggi menyerupai peternakan sarang walet. Kemarin dia sempat mendapat sinyal kecil di atap. Barangkali bila dia mencapai puncak bangunan di foto dia akhirnya dapat menghubungi “dunia luar”. Sekarang pertanyaanya adalah bagaimana caranya mencapai bangunan sarang walet tanpa diketahui predator semalam.

Memberanikan diri, Iwan turun ke lantai satu. Interior rumah itu porak-poranda akibat tentakel yang dilihatnya semalam. Dia lalu berjalan keluar. Pagar rumah yang terkunci kemarin kini telah rusak dan terbuka lebar. Iwan segera mengecek motornya yang diparkir di luar. Motornya hanya terguling dan lecet, tidak ada kerusakan yang berarti. Iwan menoleh ke seberang jalan. Rumah di depannya telah hancur dan hampir rata dengan tanah akibat serangan predator. Dia menoleh ke arah kemunculan predator semalam. Beberapa rumah di sisi kanan dan kiri jalan juga porak-poranda dan hancur meninggalkan debu dan puing-puing.

Iwan menghampiri salah satu rumah yang hancur dan menarik sebatang kayu yang cukup tipis dan panjang. Kayu itu bisa digunakan sebagai penompang kakinya yang masih memar. Iwan mengangkat motornya. Dia bersyukur telah membeli motor matik. Dengan cedera di kakinya, akan sulit untuk mencapai sarang walet tanpa menggunakan motor. Iwan pelan-pelan mencoba menyalakan mesin berharap suaranya tidak akan terdengar oleh predator semalam. Mesin motor dinyalakan. Hening. Hampir tidak ada suara selain mesin motor yang dipanaskan. Dengan susah payah Iwan menaiki motornya. Dia cukup kewalahan. Setelah dirasa aman, Iwan bergegas meninggalkan tempat itu dan menuju ke bangunan sarang walet.

Sepanjang jalan Iwan terus waspada terhadap sosok predator yang kini mulai menghantuinya. Tidak ada yang bakal mempercayai apa disaksikannya semalam. Bahkan dirinya sendiri terus berharap itu semua hanya mimpi. Dia memacu pelan motornya berharap tidak berpapasan dengan makhluk mengerikan tersebut. Setelah beberapa lama Iwan tidak melihat tanda-tanda predator atau sarang walet yang ditujunya. Bensin motornya juga mulai habis. Semua jalan yang dilaluinya sama saja. Dia benar-benar tersesat dalam sebuah labirin raksasa tak berujung. Banyak hal yang terus menjadi pertanyaan baginya. Pertanyaan-pertanyaan ini semakin bertambah akibat pertemuan dengan makhluk yang dijulukinya “Predator” tersebut. Namun, semua itu tidaklah penting. Yang terpenting baginya kini adalah bagaimana cara keluar dari labirin.

Dia tidak yakin apa yang bakal terjadi selanjutnya setelah berhasil menghubungi “dunia luar”. Bila gagal, dia harus mencari jalan lain. Motornya merupakan satu-satunya harapannya untuk bisa melarikan diri dari predator. Iwan hampir putus asa. Opsi-opsi yang terbentang di hadapannya terus menipis. Tanpa disadarinya siluet sebuah gedung besar mulai nampak di kejauhan. “Sarang walet”, ujarnya.

Iwan memacu motornya. Namun ada yang aneh dengan bangunan tersebut. Semakin dia mendekat semakin besar bangunan tersebut sesungguhnya dibandingkan yang dilihatnya kemarin. Itu bukan bangunan ruko 5 lantai atau sarang burung walet. Jauh lebih besar lagi. Setelah cukup dekat, Iwan menghentikan laju motornya. Kini dia dapat melihat lebih jelas bangunan tersebut. Wujudnya memang menyerupai peternakan sarang walet, tapi ukurannya seperti dibangun untuk raksasa. Tinggi, lebar, dan luasnya sungguh di luar nalar. Bangunan tersebut disemen dari luar dan tidak berjendela seperti sarang walet umumnya. Tapi, pipa-pipa yang menjadi ventilasi dan jalur masuk untuk burung walet berukuran sangat besar dan terlihat seperti terowongan baginya. Iwan menelan ludah. Dia telah sampai sejauh ini, bukan saatnya untuk mundur.

Setelah memastikan situasi aman, Iwan bergegas menghampiri sarang walet. Dia menyentuh dinding bangunan itu. Kokoh sekali layaknya sebuah benteng. Dia melongok ke atas. Bangunan itu menjulang tinggi hingga menyentuh langit dan bayangan yang dihasilkan struktur bangunan tersebut terkesan mengerikan, seolah malam abadi telah turun ke dunia.

Iwan mulai meninjau sarang walet. Dari kejauhan dia tidak melihat pintu masuk atau semacamnya. Satu-satunya opsi baginya adalah memanjat masuk melalui salah satu lubang pipa. Pipa-pipa itu berjajar teratur menutupi sebagian besar dinding. Dilihat dari dekat pipa itu serupa dengan terowongan air bawah tanah yang kerap muncul di film-film barat. Iwan mulai mendaki salah satu pipa yang paling dekat dengan tanah. Meski cukup kesulitan, Iwan akhirnya mampu mendaki pipa tersebut. Yups, seperti terowongan dalam film. Pipa itu sangat lembab dan gelap. Terdapat lumut di dinding dan kubangan air di lantainya. Samar-samar Iwan mencium bau menyengat dari dalam pipa. Dia tidak tahu apa yang ada di dalam bangunan bertingkat ini. Apakah memang sarang walet atau sesuatu yang lebih mengerikan. Bermodalkan lampu senter HP, Iwan mulai menyusuri pipa itu.

Cukup jauh jarak yang harus ditempuh oleh Iwan untuk mencapai bagian dalam sarang walet raksasa. Meski dengan memar di kaki dan harus menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan, dia terus melangkah maju. Perlahan rupa pipa tersebut berubah menjadi lebih luas. Nampaknya dia telah mencapai interior bangunan. Iwan mengarahkan cahaya senter untuk meninjau sekitarnya. Kosong. Seperti halnya pipa yang membawanya masuk, interior bangunan itu sangat lembab. Terdapat lumut dan kubangan-kubangan air dimana-mana. Iwan mengarahkan senternya ke langit-langit. Tidak ada lampu atau semacamnya. Yang cukup aneh tidak ada tanda-tanda sarang walet sedari tadi. Tinggi dan material langit-langit itu juga tidak seperti dugaannya. Langit-langit itu terbuat dari balok-balok kayu besar yang saling menyilang. Memang masih cukup tinggi, tapi tinggi langit-langit itu berkisar antara tinggi dua-tiga bangunan bertingkat. Padahal bangunan tersebut berukuran raksasa. Dia menyimpulkan bahwa terdapat sejumlah lantai pada interior sarang walet yang harus dilalui sebelum mencapai atap. Iwan bergegas mencari tangga menuju ke atas.

Dia menemukan tangga panjang yang terbuat dari semen pada salah satu sudut ruangan. Tangga itu dibuat untuk ukuran manusia biasa, bukan untuk raksasa. Penemuan ini semakin membingungkannya. Apa maksudnya? Apa sebenarnya gedung ini? Kenapa semuanya serba raksasa? Iwan bergegas naik ke atas.

Pendakiannya cukup melelahkan. Tangga itu sangat panjang melebihi yang diduganya. Mungkin karena ukuran sarang walet raksasa ini. Sesampainya di lantai atas, Iwan kembali meninjau kondisi sekitarnya. Sama saja, kosong. Dia mencari tangga lainnya ke atas. Entah berapa lama lagi dia bakal mencapai ke atap. Setelah berhasil menemukan tangga, dia kembali mendaki. Hal yang sama terus berulang sampai akhirnya Iwan kehabisan nafas dan berhenti sejenak di lantai berikutnya.

Sedari tadi Iwan samar-samar mencium bau menyengat yang terus mengganggunya. Dia mencoba tidak menghiraukannya, namun bau ini semakin pekat. Baunya berasal dari lantai ini. Iwan mulai mengarahkan senternya ke sumber bau yang berada di ujung ruangan. Betapa terkejut dirinya melihat sebuah tentakel raksasa dengan lendir yang sangat pekat menggeliat menyambutnya. Dia mengenali tentakel tersebut. Predator. Tiba-tiba dari dalam kegelapan, sesosok makhluk raksasa perlahan memperlihatkan wujudnya. Badannya menggeliat tak keruan seolah akan meledak dari dalam. Kepala dengan “mata/mulut” yang tak terhitung jumlahnya itu bergerak ke arah sumber cahaya. Makhluk itu langsung mengeluarkan rontahan yang memekakkan telinga. Iwan terhempas mundur. Dia tak menyangka telah masuk ke dalam sarang predator. Jadi itu maksud bangunan sarang walet raksasa sebenarnya. Bukan “peternakan” hewan biasa, melainkan tempat persemayaman makhluk di luar nalar ini.

Insting bertahan hidup Iwan langsung mengambil alih. Dia balas berteriak mencoba menakuti sang predator. Namun, tidak berhasil. Tentakel-tentakelnya menggeliat perlahan ke arah Iwan. Makhluk itu mulai mengembangkan sayap-sayapnya seolah siap menerkamnya. Iwan refleks berbalik badan. Untuk sejenak dia melupakan memar di kakinya dan melompat menuju tangga di belakangnya. Tepat saat dia berbalik badan predator itu meluncurkan tentakelnya menerkam Iwan. Iwan jatuh ke bawah tangga. Dia berguling turun hingga ke lantai kayu di bawahnya. Iwan merasakan sekujur tubuhnya remuk. Dengan tenaga yang tersisa dia berusaha keras menyeret raganya yang berat seperti diikat rantai menuju tangga. Dia harus keluar dari tempat ini. Terdengar rintihan dan gemuruh dari lantai atas. Predator itu jelas mengincarnya. Iwan menoleh ke atas. Terlihat makhluk dengan tubuhnya yang besar dan mengerikan itu mencoba melalui celah-celah tangga yang tidak cukup besar untuk turun ke lantai bawah. Predator itu menggeliat dan merintih hingga sekujur tubuhnya mampu menembus celah-celah tersebut dan dalam sekejap melompat turun. Berat monster itu pasti mencapai puluhan ton. Karena seiring makhluk itu “mendarat” di lantai bawah diikuti dengan guncangan dahsyat dan pecahnya balok-balok kaki yang menjadi pijakan mereka. Lantai kayu itu ambruk begitu saja. Predator dan Iwan terseret jatuh hingga ke lantai dasar.

Setelah debu yang berterbangan mulai menghilang yang tersisa hanyalah reruntuhan pondasi kayu dan batu. Iwan terbangun di antara reruntuhan. Kondisinya begitu buruk. Badannya terjepit di bongkahan batu besar. Dia tidak dapat menggerakkan sekujur badannya. Darah mengalir dari pelipisnya. Mata kanannya tidak mau membuka. Paru-parunya hancur. Darah mulai membanjiri tenggorokan dan mulutnya. Di mencoba berteriak minta tolong, namun percuma, yang keluar hanyalah rintihan yang terputus-putus. Perlahan kesadarannya mulai memudar. Ini akhirnya, pikirnya. Dia akan mati konyol tanpa bisa bertemu orang-orang yang dicintainya. Untuk terakhir kalinya dia melihat ke atas. Predator itu telah berdiri di hadapannya. Mulut/mata yang tak terkira jumlahnya mulai membuka dan memelintir, menyambut mangsa yang sudah dinantikan sedari kemarin. Seraya predator mendekat, Iwan menerima nasibnya. Setidaknya sakit yang dirasakannya kini akan hilang lebih cepat.

Terdengar dering HP Iwan diantara reruntuhan. Deringnya semakin keras. Di layar tertulis “Telpon Masuk – Cintaku”. Beberapa tentakel kecil mulai menyelimuti HP tersebut. Lalu salah satu tentakel memencet tombol di layar.

“Halo? Mas! Mas di mana?? Halo.”, suara wanita di kejauhan terdengar.

Predator membuka salah satu mulutnya. Keluar suara-suara rintihan kecil seperti campuran antara binatang, lalu perlahan berubah menjadi suara manusia. Suara manusia. Suara Iwan.

“Halo.....”, ujarnya.



- TAMAT -

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persidangan Meja Makan - Pengalaman Membuat Film Pendek

Dilema Pelukis Bernama “Kecerdasan Buatan”

PORTOFOLIO DESAIN GRAFIS