Informasi Resi - Bagian 3
Beberapa bulan berlalu. Fajar dan Ian telah beberapa kali “berbisnis” dengan Rizal. Mereka telah menyuplai informasi resi dari sebagian besar warga di kelurahan itu. Fajar yakin sudah hampir tidak ada yang tersisa. Kemungkinan mereka harus menunggu tahun ajaran baru ketika penghuni kost berganti dan calon mahasiswa baru bermunculan. Hari ini Fajar rehat memulung sampah. Dia menghabiskan sebagian besar waktu liburnya di pusat permainan Arcade di mall. Permainan favoritnya adalah basket dan balapan. Sutu ketika, selepas bermain Fajar berpapasan dengan Rizal yang tengah membagikan pamflet layaknya seorang sales.
“Oh, hi. Fajar kan? Ini aku Rizal. Ingat?”, sapanya.
“Siang, mas Rizal. Gak nyangka ketemu di sini. Sehat?”. Fajar mengulurkan tangannya mengajak bersalaman.
Rizal mengulurkan tangannya, lalu seketika menarik Fajar menjauh dari kerumuman.
“Sini. Ada yang mau aku bicarakan.”, Rizal buru-buru memaksa.
Setelah dirasa aman, Rizal kembali membuka pembicaraaan.
“Jadi gini. Aku terbantu sekali terkait masalah kertas resi kemarin. Kamu dan Ian bisa dibilang banyak berkontribusi dalam usaha kami. Nah, kebetulan kami lagi ada buka posisi untuk satu orang. Kamu mau, gak?”
“Sebagai sales gitu? Kenapa gak minta Ian aja?”, jawab Fajar.
“Bukan. Bukan sales. Aku cuma bantuin teman. Ini mah beda. Kerjanya rada mirip kayak kemarin dan gak harus berjemur di bawah matahari. Ian kamu tahulah. Dia orangnya gak begitu pintar amat. Ini kerjanya cukup telaten, mendetail. Kami perlu orang yang bisa mengetik. Kamu bisa mengetik kan?”
“Saya pernah belajar waktu sekolah dulu. Tapi cuma sebatas dasarnya. Sudah lama saya gak menyentuh komputer.”
“Smartphone?”
“Saya gak punya HP.”
“Gak masalah. Nanti aku atau yang lain bisa bantu. Yang penting kamu tertarik gak? Lumayan loh. Ada gajinya, gak kayak kerjaan kita kemarin.”
Fajar terdiam sejenak.
“kalau boleh tahu, apa pekerjaannya sebenarnya?”, tanyanya.
“Nanti akan kujelaskan pas hari H di kantor. Tenang. Bukan pekerjaan yang ribet, hanya memang harus telaten. Yang penting sekarang, kamu tertarik gak?”, jawabnya.
Rizal tidak memberi banyak pilihan kepada Fajar. Pekerjaan ini terdengar mencurigakan. Tapi mengingat hasil mereka sebelumnya membuatnya tergiur. Akhirnya Fajar menarik nafas panjang dan mengucapkan, “Ya!”
Seminggu kemudian Fajar telah berdiri di sebuah ruko sederhana mengenakan kemeja lusuh dan celana dasar turunan dari ayahnya. Dia disambut oleh Ian yang lalu mengantarnya memperkenalkan diri kepada sejumlah orang di kantor tersebut dan menjelaskan deskripsi pekerjaannya sebenarnya.
Tugasnya adalah menjadi anggota “telemarketing” dalam skema penipuan lowongan kerja. Fajar bertugas menulis lowongan palsu di media sosial hingga aplikasi pencari kerja. Calon korban yang merespon panggilan kerja ini akan mengirimkan data pribadi, CV, dan sebangsanya ke alamat e-mail “perusahaan”. Lalu, Fajar akan merespon dengan mengirimkan e-mail generik berisikan pernyataan kalau korban lolos kualifikasi atau tes awal dan harus membayar biaya sekian sebagai syarat hingga menggunakan jasa travel atau hotel tertentu untuk menghadiri wawancara kerja. Terkadang Fajar harus menelpon korban dan berlagak layaknya staf rekrutmen sebenarnya untuk meyakinkan korban. Tujuan akhirnya adalah agar korban mentransfer uangnya sebelum sadar kalau mereka telah ditipu.
Bila dipikir, beberapa bulan lalu Fajar tidak menyukai ide untuk terlibat dalam skema penipuan. Namun kini dia terjun langsung mencoba memancing lulusan-lulusan baru yang terjun ke dunia kerja. Ketimbang sebelumnya, dia tidak merasa bersalah atau khawatir dengan perbuatannya. Lagipula, sebagai pemulung yang tidak tamat sekolah dia tidak memiliki banyak opsi untuk bekerja dan memperoleh uang guna menghidupi keluarganya. Imbalan dari pekerjaan semacam ini terlalu menggiurkan baginya. Selain itu, Fajar turut merasakan kepuasan tersendiri bila berhasil menipu muda-mudi yang kebelet melamar kerja hanya karena mereka baru saja lulus dari universitas kenamaan.
Berbicara tentang universitas, Sudah agak lama Fajar tidak berpapasan dengan Angela. Dia masih memulung sampah di keluharan itu, namun hampir tidak pernah berpapasan dengan sang pujaan hati. Entah apa penyebabnya. Harusnya jadwal kuliahnya memungkinkannya untuk berpapasan beberapa kali seminggu sebelum kelas pagi. Mungkin Angela sedang sibuk atau jadwal kuliahnya berubah. Fajar berharap dapat memandang paras cantiknya segera.
Dua minggu kemudian, Fajar menemukan objek aneh dalam sampah milik Angela. Dua buah kondom yang nampak telah digunakan. Kondom itu terlihat seperti balon plastik kecil dengan ujung yang diikat dan di dalamnya terdapat cairan putih. Otak Fajar berhenti berfungsi untuk sesaat. Apa ini? Bukannya ini kondom? Kenapa bisa ada di sini? Bagaimana? Siapa? Tidak mungkin ini milik Angela. Tidak mungkin. Dia merupakan sosok suci yang gaul dan ramah dengan siapa saja. Aku tak pernah mendengar dia punya pacar. Siapa? Apakah ini sebabnya dia jarang terlihat belakangan? Apakah dia berpacaran dengan orang lain? Apakah ini artinya dia mengundang lelaki tersebut ke kost untuk... Tidak mungkin. Berhubungan intim? Harusnya itu dilarang. Kondom ini masih lumayan baru. Berarti dia baru saja melakukannya semalam? Siklus menstruasinya. Oh tidak. Oh tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak.
Tiba-tiba terdengar deritan suara engsel pagar yang bergeser pelan. Seorang keluar dari kost. Angela. Dandanannya berbeda dibandingkan biasanya. Sangat dewasa dan menor. Makeup halus dan lipstik sederhana yang biasa digunakannya kini berganti dengan makeup putih tebal dan lipstik merah merona yang menonjolkan bibirnya. Angela telah berubah. Fajar yang terkejut hampir tidak mengenali orang yang berdiri di depannya tersebut.
“Oh. Pagi mas. Permisi.”, sapa Angela.
Fajar tidak merespon. Dia hanya mengangguk kecil seraya Angela pergi meninggalkan kost. Fajar merasa terpukul. Seharian itu dia hanya menerawang jauh, pikirannya kosong.
“Hei, Fajar! Kamu dengar gak?”, Rizal menampar pundak Fajar, membangunkannya dari lamunan. Fajar telah berada di kantor. Dia tidak sadar bagaimana dirinya bisa berada di sana. Syok pagi ini benar-benar mengacaukan pikirannya.
“Ah... ya! Maaf. Lagi banyak pikiran.”, Fajar mengusap mukanya. “Ada apa?”
Rizal menghela nafas panjang. “Jadi gini, kita lagi punya ide baru untuk menggaet ‘Calon Konsumen’. Aku yakin ini akan berhasil 100 persen. Tapi masalahnya ini harus dicoba lebih dahulu. Cuma perlu nama dan nomor HP. Seperti pas kita pertama bertemu dulu. Ada saran siapa sebaiknya targetnya?”
“Kenapa gak dicoba dengan yang dulu. Masih ada kan datanya?”, jawab Fajar.
“Hah. Kamu gak paham. Dalam bisnis semacam ini kita harus hati-hati untuk tidak menggunakan target yang sama. Orang-orang ini sudah pernah atau mungkin hampir terjerumus. Tentunya mereka bakal lebih berhati-hati ketimbang sebelumnya, ya kan? Selain itu, menghubungi orang yang sama jauh lebih beresiko. Kita gak tahu apakah nantinya polisi yang bakal menggedor pintu ruko ini.”
“Benar juga sih.”
“Okelah. Kalau kamu ada saran siapa yang bisa kita manfaatkan segera kasih tahu ya. Kamu biasanya punya ‘koneksi’ yang luas. Atau suruh kawanmu itu, si Ian, untuk membantu. Barangkali kalian punya nama-nama baru dari kertas bekas seperti kemarin.”, Rizal beranjak pergi.
Fajar merenung sejenak. Sekarang sudah mau semester baru dan penghuni kost terus silih-berganti beralih. Mungkin ini saat yang tepat untuk mengumpulkan info-info baru dari resi seperti dulu.
Tunggu dulu.
Fajar masih memiliki satu nama yang belum diberikannya kepada Rizal dkk.
Sesampainya di kamar, Fajar buru-buru merogoh kaleng bekas yang telah lama disimpannya. Fajar mengeluarkan resi-resi bekas milik Angela. Selama ini dia berusaha tidak melibatkan nama yang tertera di kertas di tangannya. Namun, kini semua telah berubah. Beberapa hari kemudian Fajar dan Ian telah memberikan sejumlah nama dan nomor telpon baru kepada Rizal, termasuk di dalamnya nama Angela.
Komentar
Posting Komentar