Fargo - Sebuah Ulasan

Tidak terasa, Musim ketiga dari serial/ drama antologi TV ‘Fargo’ yang tayang di jaringan FX (anak perusahaan 20th Century FOX) telah berakhir. Acara TV kriminal yang ‘unik’ ini berhasil mematahkan berbagai stereotip terkait struktur cerita dan penyajian sebuah episode cerita berseri, khususnya melalui medium Televisi yang kini telah berkembang tidak terbatas melalui jaringan kabel di ruang keluarga. Usaha keras tim di balik layar yang dipimpin oleh penulis Noah Hawley (Marvel’s Legion) ini terbukti berhasil memikat hati penonton dan kini telah diganjar dengan berbagai penghargaan terkemuka. Berkisah tentang kehidupan penduduk di kota-kota kecil di sekitar daerah Minnesota dan North Dakota, berbagai kasus aneh dan kebetulan yang tak terduga terjadi di sekitar mereka berlatarkan kepungan salju putih abadi.
Fargo sendiri tidak muncul dan berdiri tegak begitu saja. Serial TV yang dapat kita nikmati saat ini sebenarnya diangkat dari sebuah film independen berjudul sama yang dirilis di tahun 1996. ‘Fargo’ merupakan sebuah film original yang ditulis dan disutradarai oleh kakak-beradik Joel dan Ethan Coen. Di era dimana film-film Hollywood masih didominasi oleh film bergenre Action (Speed, The Rock) dan drama epik (Titanic), Fargo mampu menghadirkan sesuatu yang baru dan menonjol ketimbang film-film serupa. Kini Fargo mendapat reputasi luas sebagai salah satu film klasik.
Pada kesempatan kali ini kita bakal membahas secara rinci film kriminal legendaris yang berhasil memenangkan penghargaan Oscar untuk Aktris Utama terbaik bagi Frances McDormand dan Naskah Original terbaik bagi Coen bersaudara.

THIS IS A TRUE STORY.
The Events depicted in this film took place in Minnesota in 1987.
At the request of the survivors, the names have been changed.
Out of respect for the dead, the rest has been told exactly as it occurred.

 A Series of Unfortunate Events & Coincides
Diawali dari shoot panjang sebuah pemandangan bersalju, dan teks di layar yang terang-terangan bertuliskan “Sebuah kisah nyata”, Fargo membuka lembaran kisah yang tidak biasa dengan rangkaian sekuen yang terbilang standar, malah cenderung monoton – Sebuah Kota kecil dengan teks pengenal “Fargo, North Dakota”, seorang pria paruh baya bertemu dengan dua orang pria berwajah seram dan berwajah lucu di sebuah bar kecil yang temaram. Setelah beberapa saat saling bertukar gertakan dan obrolan yang ngelindur, sang pria paruh baya mengutarakan tujuannya: Dia ingin kedua pria yang kita tahu telah disewanya ini untuk menculik istrinya. Dari situ, dimulailah rangkaian peristiwa yang mungkin tidak pernah terbayang dalam imaginasi terliar penonton, ditambah berbagai ‘kebetulan’ dan hal-hal insidentil lainnya yang menghiasi film berdurasi 1 setengah jam ini.
‘Kebetulan’ mungkin bukan kata yang cocok untuk menggambarkan hal-hal aneh dan ajaib yang menghambat atau bahkan membantu para tokoh dalam narasi film ini untuk berkembang. Rangkaian peristiwa yang awalnya terlihat tidak saling berkaitan dan bahkan cenderung ‘out of place’ berulang-ulang terus terjadi. Meski terlihat sembarang, namun beberapa peristiwa ini dibuat sedemikian rupa hingga menjadi penting untuk perkembangan cerita ke depannya, atau lebih baik lagi, memberi ruang bagi pengkarakterisasian sejumlah tokoh dalam cerita yang dipadati dengan orang-orang yang sama anehnya. Coen bersaudara merupakan ahli dalam hal semacam ini. Perlu diketahui bahwa Coens selalu menulis bersama naskah/ skrip film yang akan mereka sutradarai. Hal ini menjadikan sebagian besar film yang mereka buat hampir dipastikan kental dengan elemen komedi yang gelap, pesimistis atau bahkan suram.
Kekuatan film ini terletak pada naskah yang ditulis oleh keduanya. Dalam menggambarkan proses kreatif yang dilalui hingga menghasilkan sebuah film, Coen bersaudara akan menulis adegan-adegan yang dianggap paling menarik atau cocok ditampilkan dalam sebuah film tanpa memperdulikan kesinambungan cerita atau arah plot yang jelas. Ketika mereka selesai atau merasa cukup dengan jumlah adegan yang didapat barulah mereka mulai membangun cerita di sekitar sekuen-sekuen ini. Seringkali Coen bersaudara akan menemui jalan buntu atau hambatan dalam menyelesaikan sebuah kisah hingga keduanya bakal memutuskan ‘mengistirahatkan’ kisah tersebut dan memulai proyek lain. Proses ini terus terjadi berulang kali. Bagi sebagian orang hal semacam ini dapat berakhir bencana, tapi tidak bagi Coens. Penonton mungkin awalnya akan merasa bingung dengan gaya penceritaan semacam ini, tapi sebagian besar mereka ‘memaafkan’ dan melihat film semacam Fargo dari sudut pandang yang lebih luas, sebuah kisah kriminal yang unkonvesial dan bahkan lucu.
Ohh, dan bila hingga detik ini anda belum sadar juga, Fargo pada kenyataannya merupakan sebuah kisah fiktif yang sepenuhnya berasal dari otak Coen bersaudara. Film ini ‘dipasarkan’ kepada khalayak umum sebagai sebuah penceritaan ulang dari kejadian nyata. Taktik ini terbukti efektif menangkap perhatian penonton yang secara sadar ataupun tidak tidak sadar ‘terinvestasi’ ke dalam dunia Fargo. Serial TV Fargo yang telah memasuki musim ketiga tidak lantas melupakan ciri khas ini dan mengimplementasikan premis yang sama ke dalam tiap episodenya.

Suasana Kontras dengan Era
Fargo dikemas sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipandang sebagai sebuah film action atau film komedi yang seringkali menghiasi wajah dunia perfilman di era 90an. Fargo yang merupakan sebuah film independen terlihat sekilas sebagai sebuah drama keluarga yang cenderung membosankan dan klise. Namun setelah menyaksikannya anggapan tersebut bakal berubah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kekuatan film ini berasal dari ceritanya. Bila film-film lain cenderung menonjolkan aksi-aksi atau poin-poin penting yang membuatnya lebih mudah diingat penonton, maka Fargo mengambil arah yang berlawanan.
Sulit untuk menjelaskan secara gamblang bagian-bagian yang paling menonjol dari film ini. Bukan karena tidak ada hal yang menarik, melainkan karena banyak bagian-bagian yang terlampau unik dan bertentangan dengan ekspetasi penonton yang lalu mampu dikemas sedemikian rupa sehingga tiap bagian dapat berdiri sejajar di memori penonton tanpa mendiskriminasi atau terlalu menonjolkan satu bagian tertentu.
Hal ini tercapai berkat arahan dari Joel & Ethan selaku sutradara. Tidak hanya sebagai penulis, mereka juga mengarahkan tiap dialog yang diucapkan pemain di depan kamera. Tidak berhenti sampai situ, seringkali mereka juga turut ambil andil dalam mengedit hasil syuting film memakai nama samaran “Roderick Jaynes” demi menjamin pesan dan kesan yang berusaha mereka munculkan mampu mencapai penonton. Ini menjadi kekuatan tersendiri dalam film-film Coens.
Melalui Fargo, Coen bersaudara berhasil menghadirkan nuansa yang santai dan sederhana namun di saat bersamaan memiliki ciri khas tersendiri, berupa komedi dan ketegangan yang bercampur aduk menjadi satu. Dan hasilnya tidak seburuk yang diduga. Bila film-film Action dan Misteri di era 90an menonjolkan efek bombastis seperti ledakan dan kemachoan tokoh utama, maka Fargo mengambil jalan yang bersebrangan, malah bertolak belakang. Fargo kini dikenang sebagai film klasik yang memiliki plot cerita yang unik dan berhasil menginspirasi serial TV yang tak kalah unik dan dipuji penonton.



Demikian Review saya terhadap salah satu film pertama Coen bersaudara: Fargo. Kemunculan keduanya dalam dunia perfilman memberi angin tersendiri bagi segi kreativitas Hollywood. Sangat jarang 2 orang mampu bekerjasama sebagai penulis, editor, maupun sutradara dan lalu mampu menghasilkan deretan film-film klasik yang menjadi inspirasi sineas-sineas modern.
Sebagai penutup, Berikut sebagian kecil rekomendasi dari daftar filmografi Joel & Ethan Coen hingga saat ini. Daftar ini hanya memuat sebagian kecil film-film yang pernah mereka tulis dan sutradarai, tidak termasuk daftar panjang film-film dimana mereka terlibat ‘hanya’ sebagai penulis, seperti Unbroken yang disutradarai Angelina Jolie dan Bridge of Spies yang disutradarai Steven Spielberg. Referensi dari berbagai film karya Coen bersaudara ini juga muncul dalam berbagai episode Serial TV Fargo. (Untuk film seperti Big Lebowski, No Country for Old Men, dan True Grit lihat daftar rekomendasi saya lainnya yang dimasukkan dalam review-review sebelumnya).
  • Raising Arizona. Berkisah tentang mantan penipu ulung dan mantan polisi yang akhirnya memutuskan menikah. Karena tidak juga dianugerahi anak, keduanya lalu diam-diam menculik seorang bayi dan ujungnya malah dikejar oleh aparat hukum, teman, dan pemburu hadiah. Dibintangi oleh Nicholas Cage.
  • Blood Simple. Seorang detektif disewa oleh seorang pria kaya untuk menyelidiki perselingkuhan istrinya. Masalah semakin runyam ketika sang pria kaya meminta detektif tersebut membunuh sang istri dan pria selingkuhannya. Dibintangi oleh Frances McDormand.
  • Brother, Where art thou? Berkisah tentang 3 orang tahanan idiot yang melarikan diri dari penjara demi mencari harta karun tersembunyi di pedalaman sungai Mississippi. Dibintangi Oleh George Clooney dan John Goodman.
  • Miller’s Crossing. Berkisah tentang seorang penasihat sebuah keluarga mafia yang berusaha mendamaikan kedua pihak mafia yang tengah bertikai. Loyalitas sang penasihat dipertanyakan ketika dia berusaha melindungi sahabatnya yang menjadi akar masalah pertikaian. Dibintangi oleh John Turturro dan Gabriel Bryne.
  • Inside Llewyn Davis. Berkisah tentang seorang musisi muda musik Folk bernama Llewyn Davis yang sedang mencari ketenaran di Chicago. Bermodalkan sebuah gitar, Llewyn melalukan perjalanan demi mewujudkan ambisinya menjadi musisi profesional. Dibintangi Oscar Isaacs.

Selanjutnya: A graphic Novel….

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persidangan Meja Makan - Pengalaman Membuat Film Pendek

Dilema Pelukis Bernama “Kecerdasan Buatan”

PORTOFOLIO DESAIN GRAFIS