Road to Perdition - Sebuah Ulasan

Istilah komik dewasa ini telah identik dengan adaptasi film-film bergenre Superhero (khususnya yang berasal dari Hollywood). Bila sebelumnya komik lebih banyak dikaitkan dengan dunia animasi sebagai medium yang dianggap serupa (goresan kuas, tinta, dan kanvas putih), maka identitas komik kini lebih banyak diasosiasikan dengan Booming franchise film-film Superhero, dengan DC dan Marvel Comics sebagai pemain utamanya (Sementara itu, Disney dan Warner Bros yang telah lama berkecimpung di animasi menjadi pendukung loyal kedua fraksi di belakang layar).
Ironis memang, tapi tidak dapat dipungkiri tren film superhero turut memberi dampak positif bagi pamor komik belakangan. Bila sebelumnya komik selalu dipandang sebelah mata sebagai bacaan orang-orang kuper/kutu buku atau sekedar hiburan sesaat, kini pengaruh komik dapat disejajarkan dengan budaya pop modern lain seperti musik dan film. Mengenal dan ‘menginvestasikan’ waktu demi komik dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan gaul. Orang-orang yang memiliki wawasan luas tentang perkomikan atau bahkan memiliki keahlian menghasilkan karya komik tidak lagi dikenal sebagai orang aneh atau terkucilkan. Mulai muncul istilah/julukan luas seperti ‘Geeks’ dan ‘Nerds’ yang kini memiliki arti & makna positif ketimbang pemanfaatannya dahulu.
Tapi apakah tren ini hanya terbatas pada komik superhero? Apakah hanya komik-komik yang berfokus pada orang-orang berkekuatan super dan pembasmi kejahatan yang mendapat tempat khusus di kebudayaan modern? Apakah tidak ada komik dari genre lain yang bisa menembus ‘dinding pemisah’ yang telah lama berdiri? Apakah anggapan ‘komik tidak terbatas pada komunitas tertentu’ hanya ilusi semata? Kenyataannya tidak. Telah sejak lama komik dari berbagai genre dan asal memberi pengaruh luas dalam budaya modern, khususnya dunia perfilman. Akan ada kalanya ketika sebuah film drama yang dirilis dan memiliki cerita yang menyentuh sesungguhnya berasal dari plot sebuah komik, dan bukan melulu tentang superhero.
Menelisik sejarah komik yang luas, maka mungkin akan ada saatnya seseorang mendengar atau mengetahui istilah “Graphic Novel”. Istilah ini lebih banyak dipakai di dunia barat. Secara harfiah, Graphic Novel dapat diartikan sebagai Novel grafis atau Novel bergambar. Bila berbicara tentang novel bergambar maka jelas pikiran kita tertuju ke komik. Pada dasarnya Graphic Novel juga merupakan komik. Istilah ini banyak dipakai oleh khalayak atau pihak-pihak yang ‘belum dapat’ menerima bahwa karya-karya tersebut secara lateral merupakan bagian dari komik. Lantas apa yang membuatnya berbeda dengan komik pada umumnya?

Graphic Novel lebih banyak diasosiasikan dengan jenis komik yang memiliki tema dan tone lebih serius dan rumit. Tema yang diangkat beragam, dapat berupa kriminalitas, politik, kritik sosial, romantika, fantasi, dan lain-lain. Perbedaan lainnya yang lebih terasa adalah format yang diusung. Bila komik banyak diterbitkan secara berkala atau berseri dengan alur cerita panjang yang bersambung di tiap babak, maka Graphic Novel sebaliknya. Banyak cerita yang diusung memiliki alur yang lebih padat dan personal. Ada beberapa Graphic Novel yang juga diterbitkan berseri, namun biasanya jumlah seri mereka lebih sedikit ketimbang komik umum. Ini dilakukan untuk memberi ruang bagi penjabaran plot dan pengkarakterisasian yang lebih luas namun tetap padat. Dari aspek ini maka Graphic Novel memenuhi kriteria sebagai sebuah bentuk novella modern.
Ciri khas semacam ini tentunya memberi kesempatan dan peluang bagi studio film untuk mengadaptasi Graphic Novel yang lebih serius. Layaknya mengadaptasi sebuah novel, studio tidak perlu khawatir dengan stigma dan kontroversi yang umumnya lekat dengan adaptasi komik (Superhero). Seringkali penonton amatir tidak mengetahui film semacam ini sebagai bentuk interpretasi karya cetak berupa komik, sehingga lebih menguntungkan bagi studio yang berniat ‘memasarkannya’ sebagai sebuah ‘karya original’.

Pada kesempatan kali ini saya akan membahas tentang salah satu film adaptasi Graphic Novel yang rilis belasan tahun silam. Tema dan latar yang diusung film tergolong serius dan lebih ditujukan kepada demografi penonton yang lebih dewasa. “Road to Perdition” merupakan film yang diadaptasi dari Graphic Novel berjudul sama karya Max Allan Collins. Film ini berfokus pada hubungan ayah dan anak di tengah kemeluk dunia hitam Amerika pada awal era Great Depression (1930-an). Sang ayah, Michael Sullivan, yang merupakan pembunuh bayaran bagi Mafia harus menerima ganjalan keteledorannya saat berada dalam misi yang berujung pada tewasnya istri dan salah satu anaknya. Michael dan anaknya yang masih hidup berkelana melintasi Amerika untuk membunuh atasannya yang telah menghabisi nyawa keluarga Sullivan.
Road to Perdition dibintangi oleh Tom Hanks sebagai Michael Sullivan, bersama dengan Paul Newman dan Daniel Craig. Film ini disutradarai oleh sineas asal Inggris, Sam Mendes (Skyfall, American Beauty).
Lantas apa yang membuat film ini lebih menarik ketimbang film lain yang serupa?? Mari kita bahas satu-persatu.

Bukan kisah Mafia tipikal
Film Road to Perdition jelas-jelas berkutat sekitar kehidupan Mafia yang sempat berkuasa di Amerika Serikat. Kerajaan bisnis Mafia Amerika sangat luas, membentang dari New York hingga Chicago. Namun film ini lebih memilih fokus kepada beberapa individu kunci saja. Kita menyaksikan kehidupan Michael Sullivan, seorang ‘prajurit’ mafia yang telah berkeluarga dan bahkan memiliki dua anak laki-laki. Meski telah menginjak usia senja, Sullivan tetap dapat diandalkan untuk ‘mengurus bisnis’ bagi para Mafia New York. Sayangnya hubungannya dengan anak-anaknya, terutama anak tertua, sangat rapuh dan terkesan jauh. Ketika kemalangan menimpa keluarganya, Sullivan harus melarikan diri bersama anak tertuanya melintasi jalanan Amerika Serikat.
Selain Sullivan dan keluarganya, tidak banyak karakter yang diperkenalkan sepanjang film. Sutradara Sam Mendes lebih memilih menempatkan cerita khas “balas dendam” dalam ruang lingkup yang lebih kecil dan intim ketimbang film Mafia yang biasanya identik dengan suasana megah dan glamor. Pola pikir semacam ini dapat memberi anggapan bahwa film ini cenderung membosankan atau terlalu dangkal. Beruntung Road to Perdition didukung oleh jajaran tokoh dan karakter yang memiliki ciri khas dan pendalaman karakter yang baik. Contohnya tokoh Bos Mafia yang merupakan atasan Sullivan dan figur ‘ayah’ bagi Sullivan, serta anak bos Mafia yang digambarkan sebagai pemuda ambisius dan pewaris utama bisnis keluarga Mafia. Terdapat aura persaingan dan tensi kasat mata antara Sullivan dan anak bos mafia yang berujung pada tragedi yang menimpa keluarga Sullivan. Kemudian figur ‘ayah’ yang selama ini dipertunjukkan sang Bos Mafia kepada Sullivan ternyara kalah dengan rasa sayangnya kepada darah dagingnya sendiri, meski ‘darah daging’ tersebut terus-menerus mengkhianatinya. Performa dari aktor-aktor berkelas seperti Tom Hanks, Paul Newman, Daniel Craig, dan Jude Law membuat tokoh-tokoh tadi terkesan sangat nyata dan terlampau menarik.

Melihat dan Bukan Mendengar
Salah satu keunikan film ini adalah minimnya dialog yang digunakan untuk menggambarkan suasana. Bukan berarti film ini bisu atau tidak memiliki dialog sama sekali, tapi merujuk pada keheningan yang seringkali dipertunjukkan oleh sutradara Sam mendes dalam adegan-adegan kunci atau penting. Film ini tetap memanfaatkan penggunaan dialog sebanyak mungkin untuk memberi arahan plot cerita atau memperdalam karakterisasi tokohnya, namun di sela-sela adegan dialog semacam ini turut diselipkan adegan hening yang umumnya terasa lebih kuat.
Tiap kali sebuah adegan yang minim dialog muncul di layar biasanya bakal diikuti dengan momen dimana tokoh utama tengah meratapi nasibnya atau membuat keputusan penting yang mengubah jalan hidupnya. Contohnya, sepanjang film Michael membongkar dan memasang Tommy Gun rahasia miliknya yang nantinya dipakai membunuh mantan bosnya.
Adegan-adegan semacam ini memiliki kekuatan emosional yang lebih besar ketimbang adegan biasa namun di saat bersamaan bakal membuat penonton bosan bila dipergunakan terlalu sering atau terlalu panjang. Demi mengimbangi hal ini Mendes memfokuskan diri pada pemanfaatan sinematografi dan ‘bahasa gambar’ demi menghasilkan adegan yang dramatis meski tanpa dialog. Hasilnya? Film ini berhasil memberi nuansa drama aksi yang menegangkan namun di saat bersamaan terlihat indah dan menawan.


Demikian review saya terhadap film Road to Perdition. Meski tergolong muram dan gelap, Road to Perdition berhasil menemukan secercah harapan dan optimisme melalui hubungan ayah dan anak yang berkembang dari adegan pembuka hingga ke akhir film.
Seperti biasa, berikut rekomendasi beberapa film yang diangkat dari Graphic novel dan tidak melulu tentang Superhero seperti kebanyakan komik lainnya:
  • Kingsman: The Secret Service. Diangkat dari Kingsman karya Mark Millar dan Dave Gibbons. Berkisah tentang seorang pemuda yang direkrut oleh sebuah organisasi mata-mata independen dalam misi menghentikan penjahat mengambil alih kekuasaan dunia. Bermula sebagai parodi dan kritik bagi film dan buku bergenre espionase yang dipopulerkan mata-mata semacam James Bond dan Jason Bourne, Kingsman menjelma sebagai salah satu film action paling stylish di tangan sutradara Matthew Vaughn. Dibintangi Taron Edgerton, Colin Firth, dan Samuel L. Jackson.
  • Scott Pilgrim Vs The World. Diangkat dari karya berjudul sama karangan Bryan Lee O’malley. Berikisah tentang seorang pemain band bernama Scott Pilgrim yang jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gadis cantik misterius bernama Romana. Demi mencuri hati Romana, Scott harus berhadapan dengan 7 mantan pacar Romana dalam pertarungan hidup-mati. Film stylish yang disutradari Edgar Wright ini dibintangi oleh Michael Cera, Mary Elizabeth Wiinstead, dan Chris Evans.
  • Snowpiercer. Diangkat dari Novel grafik asal Perancis berjudul Le Transperceneige oleh Jacques Lob, Benjamin Legrand dan Jean-Marc Rochette. Mengangkat kisah kiamat dimana dunia di masa depan telah kembali ke zaman es dan manusia harus tinggal di dalam kereta raksasa yang terus bergerak mengililingi dunia. Gerbong kereta ini dibagi berdasarkan kasta dan kedudukan orang-orang yang tinggal di dalamnya, dimana gerbong depan diisi oleh orang-orang kaya dan berkuasa sedangkan gerbong belakang diisi oleh rakyat biasa. Setelah berpuluh-puluh tahun tinggal dalam kondisi hidup yang tidak layak dan mengerikan di gerbong belakang, sekelompok pemuda memutuskan melakukan pemberontakan dan perlahan merangsek ke gerbong depan dengan harapan dapat ‘menguasai’ mesin kereta. Film Science-fiction thriller ini merupakan film berbahasa inggris pertama dari sutradara korea Bong Joon-Ho dan dibintangi oleh aktor-aktor ternama seperti Chris Evans, Tilda Swinton, John Hurt, dan Ed Harris.
  • Ghost World. Diangkat dari karya Daniel Clowes. Berkisah tentang dua orang gadis remaja yang telah bersahabat sejak kecil dan tinggal di sebuah kota kecil di Amerika. Setelah mencoba menjahili seorang pria penyendiri, perlahan kehidupan keduanya berputar 180 derajat ke arah yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Dipasarkan sebagai Sebuah komedi remaja, Film karya Terry Zwigoff ini pada kenyataannya merupakan sebuah Drama psikologis tentang hubungan sosial dan kedewasaan. Dibintangi oleh Thora Birch, Scarlett Johannson, dan Steven Buschemi.
  • A History of Violence. Diangkat dari karya berjudul sama buatan John Wagner dan Vince Locke. A history of violence berkutat pada sebuah kota kecil yang terusik oleh kejadian tak terduga: sebuah perampokan bersenjata yang berhasil digagalkan pemilik restoran kecil. Setelah namanya mencuat akibat aksi heroik tersebut, masa lalu sang pemilik restoran yang gelap perlahan terangkat kembali ke permukaan dan mengancam kehidupannya dan keluarganya. Film karya sutradara David Cronenberg ini dibintangi oleh Viggo Mortensen, Ed Harris, dan William Hurt.

Selanjutnya: Bloody Mary…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persidangan Meja Makan - Pengalaman Membuat Film Pendek

Dilema Pelukis Bernama “Kecerdasan Buatan”

PORTOFOLIO DESAIN GRAFIS