What We Do in The Shadow - Sebuah Ulasan
Mockumentary, istilah ini merupakan pengembangan salah satu jenis film yang terkadang dapat kita temui di antara jajaran film-film blockbuster yang terus membanjiri bioskop setiap tahunnya. Mockumentary merujuk pada film fiksi yang dibuat mengikuti format layaknya sebuah film dokumenter. Isi film biasanya membahas sebuah topik fiksional namun disajikan layaknya kejadian nyata lengkap dengan segmen wawancara terhadap tiap pelaku cerita hingga adanya hawa kehadiran kameramen atau kru pembuat film untuk meyakinkan penonton bahwa cerita film tersebut merupakan kejadian nyata yang tertangkap dalam kamera.
Salah satu sub-genre dari mockumentary yang akhir-akhir mulai merambah mainstream dan mengalami perkembangan signifikan adalah Found-footages. Jenis film ini umumnya mengandalkan ilusi film dimana sebagian besar kejadian-kejadian dalam film dipertunjukan melalui rekaman kamera handheld seperti video kamera, kamera ponsel atau bahkan rekaman CCTV yang kemudian disatupadukan oleh orang ketiga untuk menghasilkan sebuah kisah yang berkesinambungan. Untuk lebih meyakinkan ilusi tersebut, film biasanya direkam oleh tokoh yang terlibat dalam kisah dan ditambah efek-efek seperti shaky-cam (kamera yang terus bergetar/bergerak) atau rekaman yang tidak fokus, akting natural, dan lain-lain. Cara kerja seperti ini yang kemudian menghasilkan istilah found-footages (rekaman temuan), dimana pembuat film memunculkan indikasi bahwa seluruh bagian film tersebut diambil dari data rekaman pribadi atau arsip yang ditemukan oleh sineas pembuat film dan dipertunjukkan kepada khalayak umum dengan menekankan pada aspek ‘kejadian nyata’.
Film-film Found footages lebih banyak dipakai oleh film horror untuk memberi kesan bahwa kejadian-kejadian seram yang terdapat dalam film benar-benar terjadi sekaligus memberi efek kejutan dan mencekam yang natural – sesuatu yang sulit direalisasi oleh film horror konvensional. Contoh yang paling populer tentunya adalah The Blair Witch Project. Film horror satu ini dibuat sangat sederhana tanpa banyak menampilkan sosok karakter horror yang menjadi subjek utama cerita, namun berkat efek kejutan dan berita yang menyebar dari mulut ke mulut terkait pengalaman menonton found-footages yang ketika itu tergolong jarang film ini cepat meraih sukses. Kepopuleran ini kemudian diikuti oleh film-film horror lain seperti Paranormal Activity dan REC. namun hal ini tidak mengindikasikan bahwa found-footage dimonopoli oleh horror semata. Contoh lainnya dapat ditemukan dalam beberapa tahun ke belakang melalui film science fiction (Cloverfield) hingga superhero (Chronicle). Selain melalui media film, akhir-akhir ini banyak tipe acara serial TV yang memanfaatkan sistem Mockumentaries, yang sebagian besar bergenre komedi, dengan topik yang berbeda-beda dan unik seperti: The Office, Parks and Recreation, Modern Family, Arrested Development, hingga The Muppets.
Pertanyaannya sekarang: Bagaimana jadinya jika horror dikombinasikan dengan komedi dan disajikan dalam bentuk yang serupa dengan mockumentaries dan found-footage?? Hasilnya berupa film hit buatan Selandia Baru berjudul “What We Do in The Shadows” yang mengejutkan jagat perfilman dunia di tahun 2014 dan mengantarkan sang sutradara sekaligus bintang utama Taika Waititi duduk di kursi Sutradara film Superhero Marvel “Thor: Ragnarok” dan mendorong film terbaru Taika di tahun 2016 “The Hunt for The Wilderpeople” menjadi film terlaris sepanjang masa di Selandia Baru dan diperebutkan distributor pada festival film ternama Cannes.
What We Do in The Shadows berkisah tentang kehidupan empat sekawan yang berbagi tempat tinggal di kota Wellington, Selandia Baru. Yang membuat keempat orang ini berbeda dibanding bujangan-bujangan lain yang hidup nge-kost adalah fakta bahwa keempatnya merupakan vampir. Dengan menyewa bantuan sekelompok kru film profesional (yang sudah dibaptis dan dilindungi oleh kalung salib perak), para vampir ini mencoba mendokumentasikan kehidupan mereka selama seminggu sebelum Pesta dansa amal yang diselenggarakan tiap tahun di kota kecil tersebut.
Terdengar aneh?? Mari kita bahas film ini lebih mendalam.
Not Your Typical Horror/ Comedy
Mengkategorikan What We Do in The Shadows sebagai sebuah film Horror agaknya terlalu berlebihan karena banyaknya unsur komedi dan genre utama yang diusung berupa Mockumentaries yang notabene-nya merupakan parodi film dokumenter. Namun bukan berarti film ini dapat dikategorikan sebagai sebuah parodi horror murahan layaknya “Scary Movie”. What We Do in The Shadows sangat menekankan pada elemen cerita yang meski terdengar absurd namun mengandung unsur drama dan konflik-konflik yang terlampau menarik untuk tidak diikuti hingga akhir. Terdapat beberapa momen serius yang menonjol dan mampu berdiri sendiri tanpa dbayangi oleh momen komedi yang menjadi senjata utama film.
What We Do banyak memanfaatkan trivia-trivia umum dan stereotipe tentang vampir lalu menaruhnya dalam situasi yang mampu mengundang gelak tawa. Trivia-trivia ini juga dimanfaatkan dengan baik untuk memberi arahan plot yang terus berkembang sepanjang film sehingga tidak menjadikannya sebagai bagian dari lelucon yang numpang lewat saja. Mulai dari ciri khas vampir, efek gigitan vampir terhadap manusia, hingga perseteruan antara vampir dan werewolves, semuanya disajikan dalam kemasan yang modern dan lucu. Secara keseluruhan, film ini lebih tepat bila dikategorikan sebagai sebuah drama komedi-persahabatan antara sesama idiot yang mengeskploitasi anggapan stereotipe dalam masyarakat.
Karakter yang sangat sulit ditolak
Karakter-karakter dalam film What We Do in The Shadows tergolong gampang dicintai penonton. Selain tentunya lucu, keempat tokoh utama yang merupakan vampir dengan umur yang saling berbeda memiliki karisma sendiri dan mampu melambangkan tipe-tipe rekan se-kost yang umum ditemui. Mulai dari tokoh utama Viago, yang diperankan sendiri oleh Taika Waititi, merupakan tipe vampir gentleman yang bertingah layaknya ketua kelompok dan selalu mencoba mengatur kebersihan rekan vampir lain. Ada Vlad, vampir serupa Dracula yang memiliki sifat playboy. Ada Petyr, vampir serupa Nosferatu yang merupakan anggota tertua, serta Deacon, Vampir paling muda yang merupakan tipe pemberontak namun memilki hobi merajut dan bertingkah sok keren. Keempatnya menciptakan chemistry yang mungkin di atas kertas tidak bakalan cocok namun terbukti efektif dan terkesan sangat dalam.
Karakter-karakter lain seperti gerombolan werewolves yang selalu mengikuti pemimpin kelompok dengan patuh, remaja tanggung yang baru-baru ini digigit vampir, hingga pasangan polisi bodoh yang entah bagaimana tidak mencurigai para vampir atas kejadian-kejadian aneh dan mengerikan di Wellington menambah warna dan suasana tersendiri dalam film yang sebagian besar bersetting di malam hari dengan kehidupan malamnya tersebut. Meski cenderung sepi dan berbeda dengan kota besar, berkat adanya tokoh-tokoh ini mengurangi kelemahan latar kota Wellington untuk film se-absurd dan selucu ini.
Overall, It’s A Diamond in The Rough
Secara keseluruhan film yang dikemas secara sederhana ini menjadi oasis diantara film-film sejenis dan bahkan diantara film-film Holywood pada umumnya. Dikembangkan dari film pendek buatan sang sutradara di masa lalu, Taika Waititi berhasil mengembangkan cerita Humor tentang Vampir ini menjadi lebih luas dengan durasi panjang namun tidak menghilangkan unsur-unsur yang membuat versi pendeknya dulu diterima khalayak umum.
Dari awal hingga akhir kita diajak mengikuti gaya hidup para vampir di era modern sembari mengenali lebih dalam sifat setiap tokoh. Interaksi antara tiap tokoh pun terasa natural sehingga terkadang kita lupa cerita yang disajikan di layar sepenuhnya fiksi belaka. Konflik-konflik yang disajikan dalam format mockumentaries pun terkesan tidak dipaksakan dan cocok disajikan dalam durasi film yang hanya satu setengah jam ini. Berbeda dengan konflik-konflik dalam film vampir yang cenderung serius atau bertele-tele, What We Do cenderung menampilkan konflik yang sederhana namun relevan dengan situasi saat ini dan tetap mampu mengundang gelak tawa dari penonton.
.......................................
Demikian review saya terhadap film What We Do in The Shadows. Berikut adalah beberapa rekomendasi film lain bagi anda yang mungkin tertarik dan ingin mencoba menyelami lebih dalam film-film bertipe mockumentaries atau found-footage.
Salah satu sub-genre dari mockumentary yang akhir-akhir mulai merambah mainstream dan mengalami perkembangan signifikan adalah Found-footages. Jenis film ini umumnya mengandalkan ilusi film dimana sebagian besar kejadian-kejadian dalam film dipertunjukan melalui rekaman kamera handheld seperti video kamera, kamera ponsel atau bahkan rekaman CCTV yang kemudian disatupadukan oleh orang ketiga untuk menghasilkan sebuah kisah yang berkesinambungan. Untuk lebih meyakinkan ilusi tersebut, film biasanya direkam oleh tokoh yang terlibat dalam kisah dan ditambah efek-efek seperti shaky-cam (kamera yang terus bergetar/bergerak) atau rekaman yang tidak fokus, akting natural, dan lain-lain. Cara kerja seperti ini yang kemudian menghasilkan istilah found-footages (rekaman temuan), dimana pembuat film memunculkan indikasi bahwa seluruh bagian film tersebut diambil dari data rekaman pribadi atau arsip yang ditemukan oleh sineas pembuat film dan dipertunjukkan kepada khalayak umum dengan menekankan pada aspek ‘kejadian nyata’.
Film-film Found footages lebih banyak dipakai oleh film horror untuk memberi kesan bahwa kejadian-kejadian seram yang terdapat dalam film benar-benar terjadi sekaligus memberi efek kejutan dan mencekam yang natural – sesuatu yang sulit direalisasi oleh film horror konvensional. Contoh yang paling populer tentunya adalah The Blair Witch Project. Film horror satu ini dibuat sangat sederhana tanpa banyak menampilkan sosok karakter horror yang menjadi subjek utama cerita, namun berkat efek kejutan dan berita yang menyebar dari mulut ke mulut terkait pengalaman menonton found-footages yang ketika itu tergolong jarang film ini cepat meraih sukses. Kepopuleran ini kemudian diikuti oleh film-film horror lain seperti Paranormal Activity dan REC. namun hal ini tidak mengindikasikan bahwa found-footage dimonopoli oleh horror semata. Contoh lainnya dapat ditemukan dalam beberapa tahun ke belakang melalui film science fiction (Cloverfield) hingga superhero (Chronicle). Selain melalui media film, akhir-akhir ini banyak tipe acara serial TV yang memanfaatkan sistem Mockumentaries, yang sebagian besar bergenre komedi, dengan topik yang berbeda-beda dan unik seperti: The Office, Parks and Recreation, Modern Family, Arrested Development, hingga The Muppets.
Pertanyaannya sekarang: Bagaimana jadinya jika horror dikombinasikan dengan komedi dan disajikan dalam bentuk yang serupa dengan mockumentaries dan found-footage?? Hasilnya berupa film hit buatan Selandia Baru berjudul “What We Do in The Shadows” yang mengejutkan jagat perfilman dunia di tahun 2014 dan mengantarkan sang sutradara sekaligus bintang utama Taika Waititi duduk di kursi Sutradara film Superhero Marvel “Thor: Ragnarok” dan mendorong film terbaru Taika di tahun 2016 “The Hunt for The Wilderpeople” menjadi film terlaris sepanjang masa di Selandia Baru dan diperebutkan distributor pada festival film ternama Cannes.
What We Do in The Shadows berkisah tentang kehidupan empat sekawan yang berbagi tempat tinggal di kota Wellington, Selandia Baru. Yang membuat keempat orang ini berbeda dibanding bujangan-bujangan lain yang hidup nge-kost adalah fakta bahwa keempatnya merupakan vampir. Dengan menyewa bantuan sekelompok kru film profesional (yang sudah dibaptis dan dilindungi oleh kalung salib perak), para vampir ini mencoba mendokumentasikan kehidupan mereka selama seminggu sebelum Pesta dansa amal yang diselenggarakan tiap tahun di kota kecil tersebut.
Terdengar aneh?? Mari kita bahas film ini lebih mendalam.
Not Your Typical Horror/ Comedy
Mengkategorikan What We Do in The Shadows sebagai sebuah film Horror agaknya terlalu berlebihan karena banyaknya unsur komedi dan genre utama yang diusung berupa Mockumentaries yang notabene-nya merupakan parodi film dokumenter. Namun bukan berarti film ini dapat dikategorikan sebagai sebuah parodi horror murahan layaknya “Scary Movie”. What We Do in The Shadows sangat menekankan pada elemen cerita yang meski terdengar absurd namun mengandung unsur drama dan konflik-konflik yang terlampau menarik untuk tidak diikuti hingga akhir. Terdapat beberapa momen serius yang menonjol dan mampu berdiri sendiri tanpa dbayangi oleh momen komedi yang menjadi senjata utama film.
What We Do banyak memanfaatkan trivia-trivia umum dan stereotipe tentang vampir lalu menaruhnya dalam situasi yang mampu mengundang gelak tawa. Trivia-trivia ini juga dimanfaatkan dengan baik untuk memberi arahan plot yang terus berkembang sepanjang film sehingga tidak menjadikannya sebagai bagian dari lelucon yang numpang lewat saja. Mulai dari ciri khas vampir, efek gigitan vampir terhadap manusia, hingga perseteruan antara vampir dan werewolves, semuanya disajikan dalam kemasan yang modern dan lucu. Secara keseluruhan, film ini lebih tepat bila dikategorikan sebagai sebuah drama komedi-persahabatan antara sesama idiot yang mengeskploitasi anggapan stereotipe dalam masyarakat.
Karakter yang sangat sulit ditolak
Karakter-karakter dalam film What We Do in The Shadows tergolong gampang dicintai penonton. Selain tentunya lucu, keempat tokoh utama yang merupakan vampir dengan umur yang saling berbeda memiliki karisma sendiri dan mampu melambangkan tipe-tipe rekan se-kost yang umum ditemui. Mulai dari tokoh utama Viago, yang diperankan sendiri oleh Taika Waititi, merupakan tipe vampir gentleman yang bertingah layaknya ketua kelompok dan selalu mencoba mengatur kebersihan rekan vampir lain. Ada Vlad, vampir serupa Dracula yang memiliki sifat playboy. Ada Petyr, vampir serupa Nosferatu yang merupakan anggota tertua, serta Deacon, Vampir paling muda yang merupakan tipe pemberontak namun memilki hobi merajut dan bertingkah sok keren. Keempatnya menciptakan chemistry yang mungkin di atas kertas tidak bakalan cocok namun terbukti efektif dan terkesan sangat dalam.
Karakter-karakter lain seperti gerombolan werewolves yang selalu mengikuti pemimpin kelompok dengan patuh, remaja tanggung yang baru-baru ini digigit vampir, hingga pasangan polisi bodoh yang entah bagaimana tidak mencurigai para vampir atas kejadian-kejadian aneh dan mengerikan di Wellington menambah warna dan suasana tersendiri dalam film yang sebagian besar bersetting di malam hari dengan kehidupan malamnya tersebut. Meski cenderung sepi dan berbeda dengan kota besar, berkat adanya tokoh-tokoh ini mengurangi kelemahan latar kota Wellington untuk film se-absurd dan selucu ini.
Overall, It’s A Diamond in The Rough
Secara keseluruhan film yang dikemas secara sederhana ini menjadi oasis diantara film-film sejenis dan bahkan diantara film-film Holywood pada umumnya. Dikembangkan dari film pendek buatan sang sutradara di masa lalu, Taika Waititi berhasil mengembangkan cerita Humor tentang Vampir ini menjadi lebih luas dengan durasi panjang namun tidak menghilangkan unsur-unsur yang membuat versi pendeknya dulu diterima khalayak umum.
Dari awal hingga akhir kita diajak mengikuti gaya hidup para vampir di era modern sembari mengenali lebih dalam sifat setiap tokoh. Interaksi antara tiap tokoh pun terasa natural sehingga terkadang kita lupa cerita yang disajikan di layar sepenuhnya fiksi belaka. Konflik-konflik yang disajikan dalam format mockumentaries pun terkesan tidak dipaksakan dan cocok disajikan dalam durasi film yang hanya satu setengah jam ini. Berbeda dengan konflik-konflik dalam film vampir yang cenderung serius atau bertele-tele, What We Do cenderung menampilkan konflik yang sederhana namun relevan dengan situasi saat ini dan tetap mampu mengundang gelak tawa dari penonton.
.......................................
Demikian review saya terhadap film What We Do in The Shadows. Berikut adalah beberapa rekomendasi film lain bagi anda yang mungkin tertarik dan ingin mencoba menyelami lebih dalam film-film bertipe mockumentaries atau found-footage.
- District 9 karya Neill Blomkamp. Berkisah tentang kedatangan sebuah koloni alien di Afrika Selatan. Kedatangan alien yang memutuskan mengungsi di wilayah yang kini dikenal sebagai District 9 menimbulkan perdebatan sengit diantara manusia seluruh dunia. Sementara, salah seorang relawan manusia yang sedang berkunjung di District 9 mengalami kecelakaan dan perlahan bermutasi menjadi salah satu alien. Dibintangi oleh Sharlto Chopey dan David James.
- Chronicle karya Josh Trank. Berkisah tentang kelompok remaja yang menemukan benda misterius yang memberi mereka kekuatan layaknya superhero. Salah satu di antara mereka memiliki sifat yang labil dan perlahan mulai menggunakan kekuatannya untuk menyerang orang-orang yang tidak dia senangi dan berbuat kejahatan. Dibintangi Dane DeHaan dan Michael B. Jordan.
- Cloverfield karya Matt Reeves. Berkisah tentang sekelompok muda-mudi yang merayakan pesta perpisahan di New York namun berubah menjadi bencana ketika makhluk misterius menyerang kota. Mereka harus berusaha melarikan diri dari kota yang kini berubah menjadi medan perang. Dibintangi oleh TJ Miller dan Lizzy Caplan.
- This is Spinal Tap karya Rob Reiner. Berkisah tentang perjalanan Tur sebuah band Heavy Metal fiktif bernama Spinal Tap. Sepanjang perjalanan mereka harus menghadapi kemungkinan kegagalan penyelenggaraan konser dan tingkah anggota band yang liar. Dibintangi Michael McKean, Christopher Guest, dan Rob Reiner.
Tidak terasa kita sudah sampai pada penghujung review film bagian ketiga ini. Untuk review selanjutnya kita akan membahas tentang film lama yang tetap terlihat bagus di masa sekarang.
Selanjutnya: First Rule – You don’t talk about....
Komentar
Posting Komentar