Fight Club - Sebuah Ulasan

Ratusan, mungkin ribuan atau bahkan jutaan, film dirlis tiap tahunnya di bioskop. Mulai dari film dalam negeri, film Hollywood, hingga film-film dari negara-negara dekat dan jauh (Thailand, Korea, Prancis, Australia, dll) membanjiri pasar. Genre dan format yang diusung pun beragam. Terlebih dengan semakin banyaknya film pendek dan flim indie yang mendapat perhatian dalam beberapa tahun terakhir membuktikan bahwa industri ini memiliki prospek yang cukup menguntungkan.
Namun anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Bila diibaratkan maka industri film dapat disamakan dengan berjudi. Ketika seorang ingin membuat film, dia perlu mengeluarkan pendanaan yang cukup untuk menyiapkan segala proses dan kebutuhan pembuatan, promosi, hingga distribusi sebuah film atau yang lebih dikenal sebagai budget film. Keuntungan kemudian diperoleh dari hasil penjualan tiket dan royalti hak penayangan film. Seringkali budget yang diperlukan tidak sedikit. Sayang tidak semua film berakhir sukses. Seringkali kita menemukan film dengan budget besar namun gagal memperoleh laba karena sangat sedikit khalayak yang menonton film tersebut. Ini dapat disebabkan oleh beberapa hal: mulai dari cerita/ plot film yang memang buruk sehingga tidak dapat dinikmati oleh penonton, akting para pemain film yang mengecewakan, taktik pemasaran yang salah, ataupun persaingan yang sengit dalam memperebutkan pasar.
Kali ini kita tidak bakal membahas tentang film-film yang gagal secara komersil karena hasil akhir film yang memang buruk, tapi kali ini kita bakal membahas film-film yang secara materi menuai pujian dari kritikus namun gagal menemui ekspetasi komersil saat dirilis di bioskop. Film-film jenis ini seiring waktu lebih dikenal oleh masyarakat umum melalui rilis dalam kepingan DVD/Bluray atau melalui penayangan di stasiun TV hingga akhirnya memperoleh kumpulan fans loyal dalam jumlah besar dan bahkan dianggap mencapai kedudukan setara legenda. Film-film sejenis ini dikenal sebagi Cult-Classic.
Cult-classic merupakan status yang diberikan pada film yang terus dibicarakan bahkan setelah film tersebut lama menghilang, dikarenakan adanya kumpulan fans yang loyal (cult). Sebagian besar film ini menuai pujian secara universal dan menjadi contoh-contoh klasik (classic) dari standar film yang baik. Contoh film Cult-Classic yang sangat berpengaruh adalah The Big Lebowski. Pada saat penayangannya di tahun 1998 banyak yang menganggap film ini terlalu aneh. Namun seiring waktu, film komedi karya Coen Brothers ini meraih fans yang terus berkembang jumlahnya dan bahkan menghasilkan festival tahunan berskala besar, Meme hingga aliran kultus gereja kristen (aliran agama sungguhan).

Mengusung topik Cult-Classic, pada kesempatan ini kita bakal membahas salah satu film yang juga memiliki pengaruh besar seperti The Big Lebowski dan mengusung tema yang tidak biasa namun relevan terhadap bahasan kita tentang komersialisasi, pasar, dan konsumerisme: The Fight Club karya David Fincher.

The Fight Club merupakan film Cult-Classic yang diangkat dari novel berjudul sama karya Chuck Palahniuk. Film ini berkisah tentang seorang pegawai kantoran dan seorang sales sabun keliling yang menjalin persahabatan aneh dan mendirikan sebuah perkumpulan petarung bernama Fight Club sebagai wadah pelarian bagi orang-orang yang bosan dengan hidup mereka yang monoton atau terkekang oleh pergaulan masyarakat. Perkumpulan ini kemudian berkembang menjadi sebuah organisasi pemberontakan/ terorisme yang berniat meruntuhkan rezim kapitalis perusahaan-perusahaan besar dan menyadarkan masyarakat dari perilaku konsumerisme.
Meski mengusung premis yang unik, film yang dibintangi oleh Brad Pitt (Mr. & Mrs. Smith, Big Short) dan Edward Norton (Incredible Hulk, American History X) serta disturadarai langsung oleh David Fincher (Gone Girl, Se7en, Zodiac, Social Network) ini gagal menembus pasar saat penayangannya dan mendapat respon yang beragam bahkan kontroversial. Tapi sebagai gantinya, kini film The Fight Club dianggap sebagai salah satu film terbaik yang pernah dirilis dengan fans yang luar biasa banyak mengutip film ini hampir tiap harinya.

Apa yang membuat film ini meraih status legendaris lama setelah penayangnnya di Bioskop?? Mari kita bedah lebih dalam.

Konsumerisme vs Kekerasan
Fight Club bukan berkisah tentang rutinitas jagoan action yang penuh aksi pukul-memukul, Fight Club berkisah tentang kemuakan seseorang terhadap dunia yang semakin korup dan kapitalis yang kemudian dilampiaskannya melalui kekerasan dan aksi-aksi gila. Setidaknya pesan itulah yang saya dapat setelah menontonnya untuk pertama kali. Bila ditelisik lebih jauh, sepanjang durasi film kita disajikan dengan refleksi dari sistem masyarakat yang terjadi saat ini. Seorang individu dapat terus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya kemudian berkembang memenuhi keinginan atau nafsu tertentu dan lalu berkembang menjadi membeli setiap kali memiliki uang. Hal ini yang kemudian dikenal sebagai konsumerisme. Film ini secara gamblang dan terbuka menggambarkan sikap tersebut sebagai hal yang telah menggerogoti masyarakat modern. Tokoh utama sekaligus narator film menemani perjalanan kita mengungkap, menyindir, sampai melawan sikap konsumerisme dan semua hal yang berbau glamor. Kita melihat seiring berjalannya waktu, narator mengungkap semakin banyak keburukan dan hal ini juga mempengaruhi tubuhnya yang diwakili dengan semakin kurusnya tubuh narator hingga ke penghujung film.
Film ini juga secara tepat menggambarkan bagaimana terorisme di era modern berjalan. Bila dulu terorisme merupakan aksi untuk menebar rasa takut dan trauma ke musuh, perlahan hal itu berubah. Sekarang kita melihat aksi-aksi teror terus bermunculkan dengan maksud dan tujuan yang beragam. Tidak lagi terbatas pada kepercayaan atau agama tertentu saja, dengan sedikit hasutan kecil seorang dapat terpengaruh untuk melakukan aksi teror. Entah itu karena muak dengan pola hidup tertentu, terpengaruh oleh video game dan tontonan harian, iri dengan orang lain, hingga karena menganggap perbedaan dalam masyarakat merupakan hal yang salah dan harus diluruskan. Yang lebih parah sekarang lebih banyak orang meneror karena telah menjadi sifat alaminya dan menjadikan doktrin tertentu sebagai alasan pembenaran. Fight Club yang didirikan oleh kedua tokoh utama merupakan katalis dari tren serupa, berawal dari perkumpulan kecil yang senang melihat kekerasan hingga akhirnya menjadi sebuah pergerakan massa yang menganggap perusahaan-perusahaan dan kemajuan dunia modern yang individualis sebagai keburukan yang harus dibasmi. Pada akhirnya siapa yang menjadi perwujudan keburukan dunia? Masyarakat modern dan kapitalis atau sekelompok geng yang berbuat onar mengatasnamakan kebebasan??

Taylor Durden
Dari prespektif karakterisasi tiap tokoh film, Fight Club merupakan contoh yang baik tentang tipe-tipe manusia yang dapat kita temui tiap harinya. Mulai dari narator/ tokoh utama yang merupakan representasi tipe pegawai kantoran yang tertekan dan tidak bahagia, Heroine utama yang tampil serba hitam dan menyedihkan - merefleksikan wanita apatis, anggota fight club yang merupakan gabungan dari tipe-tipe masyarakat pemberontak hingga pecundang, dan tentunya Taylor Durden, Berandalan tak kenal aturan yang selalu tampil keren. Karakter terakhir merupakan alasan yang membuat banyak orang betah menonton film ini hingga akhir.
Taylor Durden merupakan tipe manusia yang ideal. Tidak hanya karena dia tampan dan diperankan oleh Brad Pitt, namun juga karena kehadirannya sepanjang durasi film memberi banyak inspirasi dan hiburan tersendiri bagi penonton. Dari luar, pria necis yang berjualan sabun batang buatannya sendiri ini mungkin terlihat sebagai preman atau berandalan biasa. Namun setelah mengenalnya kita mulai menyadari bahwa petarung jalanan satu ini memiliki pemikiran yang radikal dan tidak segan menghalalkan segala cara demi menggapai impiannya. Layaknya Che Guevara, Taylor merupakan tipe pemimpin yang karismatik dan seru untuk diajak bersama. Kombinasi antara Taylor yang idealistis dengan narator yang menyedihkan menghasilkan sebuah chemistry karakter yang sangat dinamis di layar perak. Kita dapat menyaksikan hal-hal yang dilakukan Taylor mengubah narator secara perlahan. Berbeda dengan karakter yang hanya hadir untuk menambah ramai suasana, Taylor juga menjadi sosok yang mengembangkan plot film menjadi lebih menarik dan bahkan, berbelok ke arah yang tidak terduga...

Plot Twist you should have seen coming
Berbicara tentang plot, Fight Club merupakan salah satu film yang menghadirkan perkembangan cerita yang tak terduga. Seringkali disebut sebagai Plot Twist, Fight Club menghadirkan untaian cerita yang bakal mengejutkan banyak pihak di akhir film tapi di saat bersamaan membuat penonton ingin menyaksikan film ini lagi dari sudut pandang yang berbeda. Saya tidak ingin membocorkan banyak hal terkait perkembangan cerita tersebut, namun semuanya berkaitan dengan salah satu tokoh utama: Taylor Durden.
David Fincher secara cerdas dan diam-diam memasukan sejumlah referensi dan petunjuk terkait perkembangan cerita ini ke dalam filmnya. Sebagian penonton mungkin bakal mulai mencurigai atau menduga-duga ketika melihat petunjuk-petunjuk tersebut, namun tetap saja banyak yang bakal merasa terkejut dan di saat bersamaan terpuaskan dengan pengungkapan rahasia besar film ini. Fincher merupakan orang yang tepat untuk mengarahkan film semacam ini. Mulai dari tone film yang dibangun gelap dan tak bersahabat oleh sutradara, hingga ke pemilihan soundtrack yang dingin dan sudut pengambilan gambar kamera yang sangat mulus seolah-olah digerakkan oleh robot memberi efek yang profesional dan stylish sekaligus sesuai dengan tema film yang juga gelap dan modern. Hasilnya, ketika kita menonton film ini mungkin kita tidak bakal menyadari bahwa film ini telah berumur lebih dari 15 tahun karena style film yang sangat modern (Fight Club pertama kali dirilis tahun 1999).
.......................

Akhir kata, The Fight Club merupakan sebuah film yang layak disebut sebgai pengalaman menonton yang menguras otak. Seperti halnya konsumerisme yang telah menggerogoti otak, Kita bakal memaafkan film ini, dan bahkan mungkin merayakannya, karena telah membuat kita banyak berpikir melalui pemilihan karakter, dialog, pengambilan gambar, dan soundtrack yang terbilang unik dan mengasyikan. Film Fight Club merupakan film yang cocok ditonton tanpa mengetahui apa-apa. Bila anda mencoba mencari rahasia film ini terlebih dahulu di internet, atau yang lebih suka saya sebut sebagai SPOILER, maka hal itu mungkin bakal mengurangi kenikmatan menonton film semacam ini. Namun tetap saja, menyaksikan film aneh ini berulang kali memberi gambaran dan pengalaman baru tiap kali kita melaluinya.

Berikut adalah daftar sejumlah film yang menuai kegagalan dalam dari segi komersil, terutama selama waktu penayangannya di bioskop, namun mendapat pujian dari kritikus dan berhasil memperoleh status Cult-Classic setelah perilisan dalam bentuk fisik (CD/ DVD) dan digital atau melalui penayangan di TV.

  • The Big Lebowski karya Joel & Ethan Coen. Berkisah tentang seorang kehidupan pengangguran yang dikenal sebagai “The Dude”. Hari-hari The Dude yang biasanya hanya diisi dengan bermain bowling mendadak berubah ketika dia terlibat dalam kasus penculikan yang secara kebetulan berkaitan dengan seorang bernama sama dengan dirinya, Mr. Lebowski. Dibintangi oleh John Goodman dan Jeff Bridges.
  • Shawshank Redemption karya Frank Darabont. Diangkat dari novel penulis terkenal Stephen King, Film ini mengisahkan tentang seorang bankir yang menjadi tahanan penjara karena kasus pembunuhan. Di penjara tersebut dia berteman dengan sesama tahanan lainnya dan perlahan mempelajari bahwa tidak semua tahanan penjara memiliki sifat yang buruk. Dibintangi Tim Robbins dan Morgan Freeman.
  • Scott Pilgrim vs The World karya Edgar Wright. Diangkat dari komik berjudul sama, berkisah tentang Scott Pilgrim – seorang pemain band yang jatuh cinta dengan gadis misterius bernama Romana. Demi mendapatkan hati sang pujaan, Scott harus menghadapi 7 mantan pacar Romana dalam duel hidup dan mati. Dibintangi Michael Cera dan Chris Evans.
  • Donnie Darko karya Richard Kelly. Berkisah tentang seorang remaja bernama Donnie Darko yang terlibat dalam kecelakaan aneh. Kecelakaan itu memberinya kekuatan untuk mengendalikan waktu dan mengubah takdir orang. Sembari mencari maksud di balik kekuatan barunya, Donnie terus diikuti oleh seorang berkostum kelinci yang sangat mengerikan. Dibintangi oleh Jake Gyllenhaal.
  • Iron Giant karya Brad Bird. Film animasi dari studio Warner Brothers. Berkisah tentang seorang bocah di masa perang dingin yang menemukan robot raksasa dari luar angkasa dan berteman dengan sang robot. Sementara itu, pemerintah mulai mencurigai keberadaan robot tersebut dan berussaha menghancurkannya. Dibintangi oleh Vin Diesel.

Untuk Review selanjutnya kita bakal membahas salah satu film yang meninggalkan kesan sangat mendalam bagi saya hingga saat ini. Film ini berasal dari salah satu genre populer yang sangat saya cintai: Gangster.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persidangan Meja Makan - Pengalaman Membuat Film Pendek

Dilema Pelukis Bernama “Kecerdasan Buatan”

PORTOFOLIO DESAIN GRAFIS