Paprika - Sebuah Ulasan

Perkembangan industri film animasi telah menunjukkan kemajuan yang sangat pesat ketimbang 25 tahun yang lalu. Film animasi yang membanjiri pasar dewasa ini lebih banyak berfokus pada gaya penggambaran/ render 3D dan umumnya berasal dari studio yang sama, seperti Disney Animation Studios, Pixar, hinnga Dreamworks. Telah terjadi pergeseran yang signifikan terkait presepsi dan identitas animasi lepas belakangan ini. Film keluarga dengan gambar 3D dan pewarnaan yang cemerlang serta musikalisasi dan ikon/ maskot yang lucu menjadi faktor-faktor yang menjual sebuah film animasi. Meski begitu, terkadang dalam beberapa tahun sekali sebuah film akan mencoba mengubah stigma dan menggemparkan khalayak dengan menghadirkan sesuatu yang berbeda dan segar dibandingkan resep paten yang digunakan sekarang. Jepang menjadi salah satu negara yang secara konsisten terus berkembang, sebagian besar berkat gelat industri anime yang tidak pernah mati dan menjadi tulang punggung negara sakura tersebut dalam merebut perhatian pasar internasional.

Saat ini industri anime (baca: animasi Jepang) terus berkutat dengan masalah-masalah yang membelit kemajuan industri ini sejak lama. Masalah-masalah ini meliputi (dan tidak terbatas pada):
  • Komite Produksi yang menguasai seluruh proses kreatif anime. Dalam proses produksi sebuah anime, kekuasan tertinggi dan pengambilan keputusan biasanya tidak berada di tangan sutradara, melainkan kumpulan investor dan pemangku kepentingan (stasiun TV, Penerbit, Manajemen Musik, dll) yang tergabung dalam komite produksi. Komite Produksi umumnya berhak mendorong dan bahkan ‘memaksakan’ suatu aspek dimasukkan dalam anime demi menggenjot profit atau mencapai tujuan tertentu. Seringkali keputusan yang diambil komite produksi bertentangan dengan visi sutradara atau pihak kreatif lainnya. Selain itu, komite produksi seringkali membatasi investasi dari luar sehingga membatasi jumlah kucuran dana suatu proyek anime.
  • Standar kerja dan taraf hidup Animator yang sangat rendah. Bekerja sebagai animator di Jepang bukan merupakan karir yang menguntungkan dari segi finansial. Pendapatan yang diterima umumnya lebih rendah ketimbang standar gaji pegawai kantoran Jepang per tahun. Selain itu, seringkali animator dalam suatu studio diminta untuk memenuhi deadline yang sangat ketat hingga mengharuskan mereka kerja hingga hampir 24 jam per harinya. Salah satu kasus yang sempat mencuat ke permukaan dan membuat geger adalah kematian salah satu animator di studio A-1 Pictures yang diakibatkan oleh kecapekan kerja/ overworked.
  • Lisensi dan adaptasi karya Manga, Game, hingga Light Novel. Sebagian besar anime yang sukses besar di pasaran belakangan ini merupakan adaptasi dan bukan karya original. Memang salah satu cara tercepat dan paling mudah bagi studio untuk menentukan membuat proyek anime adalah mengangkat karya/ material yang telah ada sebelumnya. Sayangnya, Hal ini mengurangi kreativitas dan originalitas. Selain itu, seringkali ditemukan anime adaptasi yang tidak dipoles dengan baik hingga kualitasnya cenderung standar/biasa hingga sangat buruk. Anime semacam ini biasanya hanya ditujukan sebagai kendaraan pengeruk profit atau bentuk pengiklanan produk yang mendapat adaptasi, dan bukan ditujukan sebagai bentuk karya seni atau media hiburan yang berkesan bagi penonton.

Status quo semacam ini harus diubah oleh para pelaku dan pekerja industri ini sendiri. Jika tidak maka mimpi terburuk seperti yang pernah dikatakan sejumlah veteran dan pelopor industri anime sebelumnya bahwa “industri anime modern akan mati dengan sendirinya” akan segera terwujud.

Kabar baiknya, segelintir figur berpengaruh di industri anime terus mencoba menelurkan karya-karya orisinil tiap tahunnya. Salah satu metode yang diambil adalah membuat film anime lepas yang mengangkat tema-tema yang unik dan tidak umum. Harapannya adalah karya-karya ini akan diterima oleh khalayak umum dan mendapat rekognisasi yang positif dari dunia internasional.
Kali ini kita akan membahas salah satu film anime yang mencoba menghancurkan stigma-stigma di atas melalui proses kreatif yang menakjubkan dan menginspirasi generasi-generasi selanjutnya, khususnya sineas-sineas modern. Film ini berjudul: Paprika.

Paprika merupakan judul film anime yang rilis pada tahun 2006. Film ini ditulis dan disutradarai oleh Satoshi Kon (Perfect Blue, Tokyo Godfathers) serta dikerjakan di studio Madhouse. Paprika berkisah tentang dunia dimana mimpi atau alam bawah sadar dapat dimanipulasi melalui sains dan teknologi. Dalam cerita ini, seorang wanita muda harus membantu seorang detektif polisi menyelidiki kasus kematian yang erat kaitannya dengan sistem komputerisasi yang tengah diuji coba dapat membuat imajinasi dan mimpi seseorang menjadi nyata hingga mempengaruhi pola pikirnya secara keseluruhan.
Terdengar familiar?? Mari kita telisik lebih jauh.

Inception of Dreams
Paprika merupakan inspirasi awal sutradara Christopher Nolan untuk menghasilkan film sci-fi Inception, sebagaimana film anime Ghost in The Shell merupakan inspirasi Wachowski bersaudara membuat film The Matrix. Banyak elemen dari film Paprika yang dapat ditemui atau menjadi referensi di film Inception. Sutradara Satoshi Kon sendiri bukan merupakan figur baru dalam hal mengangkat tema ‘imajinasi vs realita’, hampir seluruh karyanya berusaha mengaburkan batas antara kedua dunia ini.
Berbeda dengan Christopher Nolan yang membatasi imaginasi dan mimpi yang disaksikannya kepada hal-hal yang umum atau wajar ditemui dan cenderung ‘membumi’, Satoshi Kon lebih unggul dalam menyampaikan interpretasinya tentang dunia mimpi dengan menghadirkan trik visual dan permainan warna yang unik, bahkan luar biasa aneh, serta cenderung berada di luar ‘imajinasi khalayak umum’. Ini tentunya didukung dengan penggunaan media animasi (khususnya gambar goresan tangan) yang dimanfaatkannya hingga 100% ketimbang animasi yang biasa hadir di TV.
Kelebihan lainnya yang tidak dimiliki film semacam Inception adalah presepsi dunia terhadap kebudayaan timur. Ketimbang kebudayaan modern Dunia barat yang selalu dapat kita temui di berbagai film Hollywood yang dirilis tiap tahunnya, nilai-nilai kebudayaan timur, terutama elemen mistik yang mengakar kuat di berbagai bagian benua Asia masih jarang dieksplor dalam media film mainstream. Banyak visualisasi yang ditunjukkan Paprika merupakan hal yang umum di negara asalnya Jepang, namun presepsi orang luar yang jarang melihat hal semacam itu membuatnya terlihat sangat unik dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Fast Edits & Fourious Cuts
Salah satu hal yang menarik saat menyaksikan Paprika, dan seringkali menjadi aspek yang dianggap menonjol oleh penonton, adalah kecepatan dan keserasian editing yang dilakukan oleh Satoshi Kon tanpa menghilangkan ritme cerita. Penonton seringkali merasa ketegangan dalam tiap adegan yang saling ‘memotong’ namun secara keseluruhan saling terhubung sebagai representasi batas yang sangat tipis antara realita dan mimpi. Penonton seringkali ‘dipaksa’ memutar otak untuk menempatkan visual yang baru mereka saksikan sebagai bagian dari realita yang logis atau sekedar tipuan mimpi.
Beberapa kritikus dan pemerhati film menjelaskan ciri khas Satoshi Kon ini sebagai bagian dari praktik ‘Matching cuts and transitions’. Transisi tiap adegan yang muncul dalam film Paprika menghadirkan berbagai metode unik untuk menghubungkan visual dan suara dengan tujuan membuat penonton ikut mengapresiasi dan memahami cerita dan pesan yang coba ditampilkan oleh Satoshi Kon dengan lebih baik.
Metode ini tidak hanya ekslusif dalam ranah animasi, tapi memang kekuatan metode semacam ini akan lebih terlihat menonjol dalam proses pembuatan suatu film animasi yang tidak dibatasi oleh frame untuk menghadirkan informasi visual yang dapat ditangkap dan dicerna penonton. Seringkali jumlah frame yang dipakai lebih sedikit ketimbang film jenis Live-action dan bahkan animasi 3D, namun informasi yang ditangkap kurang lebih sama. Tentunya akan lebih menarik jika lebih banyak animasi melakukan hal semacam ini, terutama untuk animasi 2D yang masih mengandalkan goresan tinta dan pensil.

Demikian review saya terhadap film Paprika. Meski saya menyukai karya-karyanya, sayangnya Satoshi Kon telah meninggal pada tahun 2010 akibat kanker. Sepanjang hidupnya, Kon telah menghasilkan 4 film panjang, 1 film pendek, dan 1 TV series. Karya-karyanya telah mempengaruhi banyak sineas muda, termasuk Christopher Nolan dan Darren Aronofsky.
Sebagai pelipur lara akan hilangnya salah satu figur unik dunia anime ini, Berikut rekomendasi saya terhadap beberapa film anime lepas yang memiliki premis unik dan tentunya menarik untuk disaksikan:

  • Red Turtle. Berkisah tentang seorang pria yang terdampar di pulau tak berpenghuni. Setelah berulang-kali mencoba meninggalkan pulau tersebut, sang pria menyadari bahwa Seekor penyu merah raksasa selalu menghalangi segala usahanya. Film ini merupakan bentuk kerjasama antara Studio Ghibli jepang dan Wild Bunch, dengan helm sutradara diserahkan kepada animator keturunan Belanda-Inggris, Michael Dudok de Wit. Sebagian besar isi film ini merupakan sebuah film bisu.
  • Anomalisa. Berkisah tentang seorang pakar CS (Costumer Service) yang mengalami krisis mental dan membuatnya melihat semua wajah manusia identikal. Di hotel tempatnya menginap dalam perjalanan dinas, dia bertemu dengan seorang wanita muda yang memiliki wajah berbeda. Film animasi Stop-motion ini ditulis dan disutradarai oleh Charlie Kaufman dan dibintangi David Thewlis dan Jeniffer Jason Leigh.
  • Princess Momonoke. Berkisah tentang seorang pangeran muda yang terkena kutukan aneh saat berburu di hutan. Sang Pangeran berkelana mencari cara menghilangkan kutukan dan malah terseret dalam konflik antara seorang putri dan seorang gadis liar yang dibesarkan oleh para serigala. Film ini disutradarai oleh Hayao Miyazaki bersama studio Ghibli.
  • Wolf Childern. Berkisah tentang kehidupan seorang ibu yang membesarkan kedua anaknya seorang diri setelah kematian sang suami. Berbeda dengan anak manusia lainnya, kakak-beradik dalam film ini merupakan buah hari dari hubungan antara manusia biasa dengan manusia serigala (werewolves). Sang ibu harus berjuang seorang diri membesarkan kedua buah hatinya yang ‘berbeda’ sedangkan kedua anak tersebut harus menghadapi dan bahkan mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupan manusia biasa. Film ini disutradarai oleh Mamoru Hosoda.
  • Your Name (atau dalam bahasa Jepang/ Romaji berjudul Kimi no Na Wa). Berkisah tentang seorang siswa SMA Tokyo yang suatu hari bertukar tubuh dengan siswi SMA yang tinggal di sebuah kota kecil di pinggiran Jepang. Keduanya berusaha mencari tahu penyebab kejadian aneh tersebut sekaligus berusaha menjalani kehidupan seperti biasanya. Film ini disutradarai dan ditulis oleh Makoto Shinkai melalui studio Comix Wave.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persidangan Meja Makan - Pengalaman Membuat Film Pendek

Dilema Pelukis Bernama “Kecerdasan Buatan”

PORTOFOLIO DESAIN GRAFIS