Menggenjot Geowisata Melalui Industri Film

Bagi yang pernah menyaksikan film fiksi ilmiah Interstellar karya sutradara Christopher Nolan pasti terkagum-kagum dengan kecanggihan teknologi dan adegan-adegan menegangkan yang dipancarkan di layar lebar. Film yang mengisahkan perjuangan astronot mencari planet baru untuk dihuni manusia ini tergolong ambisius dengan fokus pada aspek sains yang revelan dengan hal-hal yang diketahui ilmuwan hingga saat itu tentang planet dan angkasa luar. Untuk mencapainya Nolan bersama kru berusaha sekuat tenaga meminimalkan penggunaan efek komputer atau CGI (Computer Generated Image) dan memilih menggunakan efek praktikal. Bila kebanyakan film modern menggunakan CGI untuk menyajikan visual yang rumit dan di luar nalar seperti planet asing dan pemandangan negeri nun jauh di sana, maka Nolan dan kru mencoba menemukan lokasi-lokasi nyata yang eksotis dan sesuai dengan visinya. Hasilnya, dua dari sejumlah planet asing yang muncul di film, planet yang diselimuti air dan planet es, didasarkan pada lokasi wisata populer di Islandia, sebuah negara di arah barat laut Eropa.
Islandia memiliki beragam objek wisata alami, termasuk diantaranya lapisan glasier bernama Svínafellsjökull. Situs geologi ini merupakan salah satu formasi es glasier terbesar di eropa dan populer di kalangan turis sebagai lokasi hiking dengan pemandangan indah. Situs ini bukan hanya lokasi wisata di negara viking ini yang dijadikan lokasi syuting film Hollywood. Sejumlah film dan serial TV populer turut menjadikan Islandia sebagai destinasi utama produksi mereka; sebut saja James Bond, Prometheus, Secret Life of Walter Mitty, Sense8 hingga Games of Thrones dan Star Wars.
Beralih ke ujung dunia lainnya, Lanzarote, sebuah pulau vulkanik di pantai utara benua Afrika menjadi lokasi syuting bagi serial televisi asal Inggris berjudul Doctor Who. Serial fiksi ilmiah ini menjadikan formasi batuan yang tersebar sepanjang pulau sebagai pengganti permukaan bulan dalam salah satu episodenya. Lapisan pasir dan batuan vulkanik yang ditemukan di pulau ini juga menjadi setting bagi film Hollywood yang bersetting di zaman purba dan sejarah awal manusia, seperti Clash of Titans dan One Million Years B.C.
Kedua lokasi di atas hanya sebagian kecil dari contoh objek-objek wisata yang diabadikan dalam medium film. Sepanjang 100 tahun lebih sejarah perfilman, imajinasi telah membawa manusia ke tempat-tempat yang belum dieksplorasi, masa lalu yang hampir terlupakan, atau bagian dari mimpi terliar seperti luar angkasa dan dunia fantasi. Demi memenuhi hasrat mewujudkan imajinasi tersebut insan perfilman mencari lokasi-lokasi yang dirasa cocok dengan visinya. Di berbagai negara, situs-situs geologi dengan fitur-fitur seperti struktur dan formasi batuan yang unik dan indah kerap dijadikan sebagai lokasi syuting, selain menjadi lokasi wisata. Ini selaras dengan tujuan pemerintah untuk mempromosikan dan melestarikan situs alam dan geologi di wilayahnya.
Selain mengembangkan pariwisata dengan naiknya jumlah turis yang datang setelah menyaksikan film atau acara televisi yang memakai latar objek alam tersebut, produksi film juga turut meningkatkan perekonomian penduduk lokal dan membantu pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang berpengalaman. Proses produksi sebuah film dapat memakan waktu hingga satu-dua bulan atau lebih. Umumnya, mereka bakal memperkerjakan tenaga lokal untuk membantu melancarkan proses produksi. Posisi yang ditawarkan pun beragam, mulai dari asisten produksi, tenaga konstruksi, make-up, set dekorasi, tata cahaya, hingga keamanan dan tenaga kerja paruh-waktu. Peluang usaha dan jasa seperti katering, transportasi, dan penginapan bagi kru dan pemain film turut membantu menambah pendapatan masyarakat sekitar situs geologi.
Hal ini mendorong pemerintah di berbagai negara untuk membentuk komite pariwisata yang berfokus pada pengembangan industri film di wilayahnya masing-masing. Komite-komite semacam ini memiliki tugas membantu mengarahkan produksi film, termasuk Hollywood, di objek wisata dan situs geologi, serta memotivasi film-film lokal agar turut mempromosikan kekayaan alam mereka ke dunia internasional. Situs-situs seperti glasier Svínafellsjökull dan pulau Lanzarote yang disebut di atas juga memiliki komite serupa sehingga memudahkan kru film melakukan pengambilan gambar di sana.

Lalu bagaimana di Indonesia? Wisata objek alam berupa situs-situs geologi yang dikenal dengan istilah geowisata belum mendapat perhatian penuh dan dukungan dari pemerintah pusat dan daerah. Ini terlihat dari masih banyaknya objek situs geologi yang belum terdata secara resmi sebagai lokasi wisata di Indonesia atau mendapat promosi yang signifikan. Perbaikan sistem dan manajemen geowisata Indonesia terus dilakukan namun terkesan berjalan di tempat tanpa banyak membawa perubahan berarti.
Sebagian besar kendala yang dikeluhkan oleh calon wisatawan berkutat pada infrastruktur dan fasilitas penunjang yang minim di situs-situs geologi. Hal ini tentunya dapat teratasi bila pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah pusat dan daeah fokus bekerjasama melengkapi kekurangan tersebut. Namun, pembangunan infrastruktur membutuhkan pembiayan yang signifikan. Kekhawatiran yang muncul kelak Infrastruktur dan fasilitas yang dibangun tidak sebanding dengan prospek ekonomi situs geologi sendiri. Fasilitas yang lengkap belum sepenuhnya menjamin peningkatan jumlah wisatawan ke situs geologi. Di sini peran promosi geowisata menjadi sangat penting.
Promosi geowisata sangat beragam, mulai dari iklan di media massa, penawaran paket wisata, aktivitas sosial dan program komunitas, pameran pariwisata, dan sebagainya. Paparan ekstensif menggunakan metode-metode di atas dapat membantu mengenalkan situs geologi kepada berbagai lapisan masyarakat. Salah satu metode yang kini patut dipertimbangkan agar dapat segera diaplikasikan di Indonesia adalah promosi geowisata melalui film dan serial televisi.
Film sebagai sebuah media hiburan dapat menyentuh banyak orang dari berbagai kelompok usia dan latar belakang. Sebuah film yang mendapat sambutan baik dari masyarakat mampu mendatangkan keuntungan dan prospek pariwisata, contohnya lihat saja Pulau Belitung yang diasosiasikan dengan novel dan film “Laskar Pelangi”. Film menjadi sarana yang efektif dalam memvisualisasikan keindahan alam yang mungkin belum banyak diketahui. Contoh lain ditunjukkan oleh serial TV “Game of Thrones”. Kepopuleran acara HBO ini juga berimbas pada peningkatan popularitas situs-situs geologi yang sebelumnya jarang terekspos di negara-negara seperti Islandia dan Irlandia. Kini, banyak program tur bertemakan “Game of Thrones” menawarkan paket wisata ke situs-situs yang menjadi lokasi syutingnya.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, selama proses produksi atau syuting penduduk sekitar situs geologi turut terkena imbas berupa prospek kerja dan peluang usaha baru. Kebutuhan dasar seperti makanan dan tempat tinggal menjadi sangat penting terutama pada daerah situs geologi yang jauh dari kota besar. Bisnis katering dan penginapan yang didirikan dan dikelola oleh warga lokal selain membantu kelancaran produksi film juga mendatangkan sumber penghasilan baru yang sebelumnya mungkin tidak diperkirakan.
Produksi film dewasa ini mencoba mendorong keterlibatan masyarakat sekitar lokasi syuting untuk berpartisipasi di belakang layar. Pembukaan lapangan pekerjaan yang ditargetkan kepada warga lokal seperti kru produksi, peralatan, dan lain-lain, memungkinkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) di daerah situs geologi termanfaatkan dengan baik. Selain mendapat upah, warga dapat belajar proses pembuatan sebuah film dan secara tidak langsung membantu mengelola dan mempromosikan keindahan daerahnya. Timbul kebanggaan tersendiri bagi warga ketika melihat bintang film berkunjung ke daerah mereka atau ketika menyaksikan daerah mereka muncul di layar lebar. Sedangkan bagi tim produksi, keterlibatan aktif warga lokal menandakan respon positif dan ‘restu’ dari masyarakat sekitar situs geologi.
Pengelola geowisata di Indonesia dapat mencoba menerapkan metode yang sama. Langkah awal yang dapat dilakukan adalah membentuk komite yang bertujuan mendukung dan menjembatani sineas perfilman membuat film dengan latar daerah wisata di Indonesia. Melalui pembentukan komite diharapkan banyak yang termotivasi untuk memproduksi film dan serial televisi berkualitas berkat dukungan dan bantuan pendanaan dari pihak-pihak yang berkepentingan, dalam hal ini pemerintah bersama pengelola geowisata.  

Selanjutnya, sosialiasi dan edukasi bagi masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan geowisata. Edukasi menjadi penting agar tidak timbul gesekan dan respon negatif terhadap kehadiran ‘pendatang’ ke daerah tersebut. Selain itu, melalui sosialiasai dan edukasi diharapkan menyiapkan masyarakat dengan keahlian-keahlian yang diperlukan dalam membantu melancarkan proses produksi.
Terakhir, melalui peran geowisata mendukung dunia perfilman Indonesia diharapkan turut meningkatkan jumlah film dan serial televisi yang diproduksi di Indonesia per tahunnya. Dengan semakin banyaknya film yang dirilis di bioskop atau sampai ke rumah-rumah melaui layar televisi, maka besar kemungkinan bagi situs-situs geologi yang terekspos ke masyarakat luas, baik nasional maupun internasional. Bahkan saat ini akses ke film dan serial televisi semakin mudah dengan hadirnya jaringan streaming dan perangkat seperti laptop, tablet, dan smartphone. Hal ini tentunya akan meningkatkan jumlah wisatawan potensial dan menghidupkan perekonomian masyarakat sekitar situs geologi. Ibarat peribahasa, sekali merengkuh dayung dua-tiga pulau terlampaui.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persidangan Meja Makan - Pengalaman Membuat Film Pendek

Dilema Pelukis Bernama “Kecerdasan Buatan”

PORTOFOLIO DESAIN GRAFIS