Menemukan 'Jalan ke Hollywood' Melalui Jurnalisme

https://pixabay.com/photos/entrepreneur-startup-start-up-man-593378/
Literatur dan film seringkali tak terpisahkan. Adaptasi dapat bersumber dari mana saja, mulai dari sejarah, komik, novel, panggung teater, hingga musik dan bahkan stres atau dilema nyata seorang penulis skenario dalam upayanya mengadaptasi sebuah novel tentang anggrek dapat menjadi sumber cerita (lihat "Adaptation." yang ditulis oleh Charlie Kaufman & dibintangi oleh Nicholas Cage sebagai Charlie & Donald Kaufman).

Kali ini saya ingin sedikit menelisik salah satu 'cabang' sumber adaptasi yang menarik perhatian beberapa waktu terakhir: artikel. Jurnal, blog, opini, arsip perpustakaan daerah bahkan kliping koran lokal merupakan sumber cerita yang terus muncul di perfilman hollywood dari waktu ke waktu. Jurnalisme memang selalu mendapat tempat yang unik dalam narasi film, mulai dari penggambaran investigasi skandal Watergate yang melengserkan presiden Nixon dalam "All President's Men", perjuangan wartawan asing dan lokal melarikan diri dari perang saudara kamboja yang merupakan ekstensi perang vietnam dalam "Killing Fields", investigasi 'orang dalam' industri rokok yang membocorkan info berbahaya kepada seorang wartawan dalam "The Insider", hingga upaya sekelompok wartawan mengungkap praktik pelecehan seksual anak dalam gereja melalui "Spotlight".

Namun tidak berhenti sampai di situ, terdapat pula film-film yang mencoba mengadaptasi artikel bukan dari fokus wartawan atau penulis sebagai 'orang luar atau pemerhati', melainkan dari dalam melalui kacamata subjek yang menjadi pusat ceritanya. Selain itu, tidak melulu berkutat dengan investigasi atau konspirasi tingkat tinggi, artikel-artikel kecil atau berita-berita sekilas baca di koran lokal saja dapat diadaptasi menjadi kisah yang seru. "Dog Day Afternoon" merupakan salah satu contohnya. Terinspirasi dari sebuah kliping berita perampokan bank di kota kecil di tangan Sidney Lumet dibuat menjadi cerita perampokan gagal yang berubah menjadi drama penyanderaan dan analogi pengaruh media, utamanya televisi, terhadap imej polisi dan penegak hukum, serta kuatnya publisitas atau ketenaran dan kesadaran publik yang malah bersimpati kepada perampok (diperankan secara luar biasa oleh Al Pacino). Artikel aslinya sendiri tidak memberi banyak detail tentang subjek ceritanya, namun di tangan penulis yang kompeten mampu menjelma menjadi cerita yang berstruktur baik dan kuat dalam penokohan.

Lalu, apa selanjutnya?

Beberapa waktu lalu saya kebetulan membaca salah satu berita dari kanal Vulture. Dalam artikel tersebut memuat kabar bahwa produser-produser kenamaan Hollywood berlomba-lomba membeli hak adaptasi sebuah artikel investigasi tentang "Skandal Monopoli McDonalds". Artikel itu sendiri mengangkat investigasi kasus penipuan dan pencucian uang yang dilakukan seorang mantan polisi dengan cara memanipulasi hasil sayembara/ lotere yang diselenggarakan jaringan waralaba McDonalds bekerja sama dengan permainan Monopoli. Sang mantan polisi berhasil melarikan uang hingga jutaan US dollar. Artikel yang lalu dimuat oleh kanal berita Daily Beast itu menarik perhatian banyak produser dan bintang Hollywood yang mengajukan penawaran setinggi langit untuk membeli hak ciptanya, sebut saja:
Matt Damon dan Ben Affleck (Good Will Hunting) melalui rumah produksi mereka.
Warner Bros. dengan Steve Carell (Dispecable Me)
Steven Spielberg melalui perusahaannya, Amblin Entertainment
Universal Studios dengan Kevin Hart (Jumanji 2)
Netflix, mewakili Robert Downey Jr. dan Todd Phillips (Due Date)
Martin Scorsese, dengan kemungkinan keterlibatan Leonardo diCaprio, dll.

Yang menarik dari kejadian ini adalah artikel tersebut telah 'ditanam' sebelumnya.

Vulture menjabarkan bahwa artikel "skandal monopoli McDonalds" merupakan buah tangan seorang produser yang 'ditugaskan' mencari sebuah kisah serupa dengan "Wolf of Wall Street" pada tahun 2016. Produser ini pernah sukses mengadaptasi testimoni seorang agen dalam jurnal CIA tentang upaya penyelamatan pegawai kedutaan US di Iran dengan menyamar menjadi kru film dalam film "Argo" (yang lalu dinobatkan sebagai film terbaik ajang Oscar).

Penelusurannya lalu membawanya pada sebuah kliping berita kriminal dari tahun 2001 yang kurang mendapat perhatian akibat pengaruh aksi terorisme 9/11 yang terjadi hampir bersamaan. Bekerjasama dengan seorang reporter lepas, mereka lalu melalukan investigasi selama 4 bulan, mewancarai 50 orang lebih saksi, dan membaca berkilo-kilo catatan pengadilan terhadap kasus tersebut. Hasilnya, sebuah artikel investigasi tentang konspirasi nasional, narkoba, prostitusi, dan keterlibatan mafia, dengan struktur cerita tiga babak yang serupa naskah film. kabar tentang artikel ini lalu 'disirkulasikan' ke kalangan tertentu di Hollywood untuk menarik minat sebelum akhirnya dipublikasi.

Saat ini, sulit bagi sebuah pitch/ide untuk dapat 'lolos' menjadi sebuah film. Eksekutif studio dan produser tidak mau mengambil resiko mengembangkan sebuah gagasan baru (seliar apapun idenya) menjadi cerita. Ini pula yang mendorong banyaknya remake atau reboot, sekuel hingga upaya membangun spinoff dan franchise. Bahkan novel tidak semudah itu dapat difilmkan karena seringkali narasi, struktur, dan durasinya yang berbeda (sebuah film 'hanya dibatasi' 2-3 jam). Publikasi artikel atau headline berita terbukti ampuh menarik perhatian dan minat publik dengan narasi yang singkat dan sederhana (struktur tiga babak) menjadikannya salah satu praktik yang mulai banyak diterapkan produser dan studio demi menghasilkan film-film yang lebih original dan fresh.

----------

Akhir kata, sebuah cerita film yang menarik dapat bersumber dari mana saja. Inspirasi bisa didapat kapanpun dan dimanapun, bahkan dari sebuah kliping koran. Jangan pernah menganggap remeh jurnalisme karena potensinya tidak terbatas.


(artikel ini diterbitkan dalam kolom opini Harian Tribun Sumsel tanggal 15 Mei 2019)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persidangan Meja Makan - Pengalaman Membuat Film Pendek

Dilema Pelukis Bernama “Kecerdasan Buatan”

PORTOFOLIO DESAIN GRAFIS